Connect with us

Buku

Motivasi Anti-Mainstream Pada Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Published

on

Sewaktu melihat judul buku ini dan membaca beberapa judul bab di daftar isinya, penulis merasa ragu untuk membelinya. Alasannya, isi buku ini nampaknya bertentangan dengan buku-buku self-improvement yang sudah penulis baca. Dan ternyata, memang benar.

Ya, memang bukan bertentangan sepenuhnya sih, hanya beberapa poin saja. Yang jelas, buku ini akan memotivasi kita dengan cara yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan kata-kata motivator pada umumnya. Kalo kata teman penulis, mengajak kita berpikir positif dengan cara yang berbeda.

Apa Isi Buku Ini?

Buku ini terdiri dari 9 bab yang berbeda. Perlu diketahui, buku ini merupakan kumpulan tulisan Mark Manson di blognya, sehingga bahasa penulisannya seperti penulisan blog pada umumnya yang terkesan santai. Dan tentu, banyak kalimat-kalimat yang kurang senonoh sebagai bahan candaan atau sarkastik.

Jika dilihat dari judulnya, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (atau The Subtle Art of Not Giving F*ck pada versi aslinya), buku ini pada intinya akan mengajak kita untuk memilih mana yang patut diprioritaskan, mana hal-hal tidak penting yang harus disingkirkan.

I don’t like my mind right now
Stacking up problems that are so unnecessary

Linkin Park- Heavy

Pada salah satu bagian awal di buku ini tertulis hukum keterbalikan, yang kurang lebih menyatakan bahwa:

Hasrat untuk mengejar semakin banyak pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah pengalaman negatif. Sebaliknya, secara paradoksal, penerimaan seseorang terhadap pengalaman negatif justru merupakan sebuah pengalaman positif.

Bagaimana maksudnya? Yang penulis tangkap, terkadang hal-hal positif harus diraih dengan pengorbanan mengalami pengalaman negatif. Jika ingin meraih badan yang bagus, maka kita harus berkorban dengan makan-makanan sehat dan rutin berolahraga. Kegiatan-kegiatan tersebut jelas membutuhkan effort lebih, inilah yang dimaksud pengalaman negatif di sini.

Bagian yang cukup membuat penulis berpikir keras terdapat pada bab 3 yang berjudul Anda Tidak Istimewa. Bukankah motivator selalu meyakinkan kita bahwa kita harus menjadi orang yang luar biasa dan jangan pernah menjadi orang rata-rata.

Masalahnya, jika semua orang luar biasa, maka tidak ada orang yang luar biasa bukan? Jika semua orang menjadi luar biasa, maka tidak ada lagi orang yang luar biasa karena telah menjadi biasa. Kalimat ini benar-benar membuat penulis butuh beberapa menit untuk menenangkan diri karena penulis selalu tidak ingin menjadi orang rata-rata.

Selain itu, buku ini juga mengajak kita untuk menyederhanakan pola pikir kita. Nikmati hal-hal sederhana seperti kebersamaan keluarga, waktu yang dihabiskan dengan teman-teman, dan lain sebagainya.

Sayangnya, bab-bab menimbulkan pergolakan batin hanya ada di bagian awal buku ini. Bab-bab selanjutnya kurang lebih sama dengan buku-buku motivasi lainnya, tentu dengan gaya penulisan Manson sebagai seorang blogger.

Mungkin karena lima bab terakhir mengajak kita untuk mengubah penderitaan, kegagalan menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk hidup kita. Terutama pada bab terakhir, buku ini mengajak untuk merenungi kematian dan mengonversinya menjadi sesuatu yang positif.

Kesimpulan

Penulis merekomendasikan buku ini untuk penggemar buku self-improvement yang sudah dewasa. Buku ini memotivasi dengan cara yang berbeda dari motivator mainstream. Ketebalan buku ini juga tipis, tidak setebal buku-buku Anthony Robbins maupun Stephen R. Corey, membuatnya nyaman untuk dijadikan teman perjalanan.

Buku ini penting untuk menyeimbangkan pola pikir kita. Menjadi terlalu positif, seperti yang tertulis di buku ini, tidak baik untuk kita. Terkadang, kita memaksakan diri berpikir positif untuk menutup-nutupi kenyataan yang terjadi. Mengapa tidak kita hadapi saja kenyataan tersebut?

Nilainya 4.0/5.0

 

 

Jelambar, 27 September 2018, terinspirasi setelah menamatkan buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat tulisan Mark Manson

Buku

[REVIEW] Setelah Membaca Dona Dona

Published

on

By

Setelah membaca dua buku Funiculi Funicula yang sudah pernah Penulis ulas sebelumnya, tak pernah terbesit di pikiran kalau buku ini akan memiliki buku ketiganya. Maka dari itu, ketika pertama kali melihat buku berjudul Dona Dona di rak toko buku, Penulis benar-benar terkejut.

Awalnya, Penulis tak mengira kalau buku ini merupakan sekuel dari Funiculi Funicula karena judulnya yang benar-benar berbeda. Yang membuat Penulis sadar kalau buku ini merupakan buku ketiga dari seri tersebut adalah desain cover-nya, yang masih “gaya” yang sama dengan dua buku sebelumnya.

Ternyata, siapa sangka, kalau kafe Funiculi Funicula di Tokyo memiliki cabang di Hokaido, dengan keluarga pemilik yang sama pula. Kafe ini pun sama ajaibnya, karena mampu membawa pengunjungnya untuk pergi ke masa lalu maupun masa depan, dengan segudang peraturan.

Detail Buku

  • Judul: Dona Dona
  • Penulis: Toshikazu Kawaguchi
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: Agustus 2023
  • Tebal: 264 halaman
  • ISBN: 9786020671710

Sinopsis Buku Dona Dona

Di sebuah lereng indah tak bernama di Hakodate, Hokkaido, berdiri Kafe Dona Dona yang menawarkan layanan istimewa kepada pengunjungnya: perjalananan melintasi waktu. Seperti di Funiculi Funicula yang ada di Tokyo, hal tersebut hanya dapat dilakukan jika berbagai peraturan yang merepotkan dipenuhi dan dengan secangkir kopi yang dituangkan oleh perempuan di keluarga Tokita.

Mereka yang ingin memutar waktu adalah seorang wanita muda yang menyimpan dendam kepada orangtua yang menjadikannya yatim piatu kesepian, seorang komedian yang kehilangan tujuan hidup setelah berhasil mewujudkan impian mendiang istrinya, seorang adik yang khawatir kakaknya takkan bisa tersenyum lagi setelah kepergiannya, dan seorang pemuda yang tak mampu mengungkapkan cinta terpendam kepada sahabatnya.

Mungkin perjalanan mereka hanya akan menyisakan kenangan. Namun, kehangatannya akan membekas dan barangkali, pada akhirnya, menumbuhkan tekad baru untuk menjalani hidup…

Isi Buku Dona Dona

Nagare Tokita, pemilik kafe Funiculi Funicula, harus pergi ke Hakodate, Hokaido, untuk menjaga kafe Dona Dona yang selama ini dikelola oleh ibunya, Yukita. Alasannya, Yukita tiba-tiba pergi ke Amerika untuk menolong seseorang.

Untuk sementara waktu, Funiculi Funicula di-handle oleh anak Nagare, Miki, karena Kazu Tokita juga ikut ke Hokaido. Menariknya, kita akan berkenalan dengan Sachi, anak dari Kazu yang secara resmi menjadi penuang kopi yang akan membawa peminumnya pergi ke masa lalu atau masa depan.

Karakter Sachi bisa dibilang sebagai pencuri perhatian terbesar di buku ini. Kemampuannya membaca buku-buku berat (mulai karya Shakespears hingga fisika kuantum) di usianya yang baru 7 tahun menandakan kecerdasan ibunya menurun padanya.

Di antara banyaknya buku yang ia baca, Seratus Pertanyaan: Bagaimana Jika Hari Esok Kiamat menjadi fokus utama dari buku ini karena hampir selalu disebutkan di masing-masing bab, dan releven untuk masing-masing kisah yang diceritakan.

Tidak hanya Yukita (yang belum terlihat sosoknya) dan Sachi, ada beberapa karakter baru yang dihadirkan oleh novel ini, seperti Reiji (pekerja paruh waktu di Dona Dona), Nanako (teman masa kecil Reiji), hingga Saki (pengunjung tetap Dona Dona, seorang psikiater).

Sama seperti dua pendahulunya, buku ini juga memiliki empat cerita dengan keunikannya masing-masing. Keempat cerita tersebut adalah:

  1. Kisah Anak Perempuan yang Tidak Bisa Mengatakan “Dasar Menyebalkan”: Tentang seorang wanita muda yang menyimpan dendam kepada orangtua yang menjadikannya yatim piatu kesepian
  2. Kisah Komedian yang Tidak Bisa Bertanya “Apa Kau Bahagia?”: Tentang seorang komedian yang kehilangan tujuan hidup setelah berhasil mewujudkan impian mendiang istrinya
  3. Kisah Seorang Adik yang Tidak Bisa Mengatakan “Maaf”: Tentang seorang adik yang khawatir kakaknya takkan bisa tersenyum lagi setelah kepergiannya
  4. Kisah Pemuda yang Tidak Bisa Mengatakan “Aku Suka Padamu”: Tentang seorang pemuda yang tak mampu mengungkapkan cinta terpendam kepada sahabatnya

Tidak hanya lokasi kafe yang berubah, sosok hantu yang menduduki kursi ajaib di kafe Dona Dona juga berbeda. Jika di Funiculi Funicula sosoknya adalah ibu Kazu, maka di Dona Dona ada sosok pria tua yang masih misterius.

Meskipun hanya sekilas, buku ini juga menjadi penjelas mengapa ketika Rei Nagare melakukan time traveling di buku pertama, Nagare dan Kazu justru berada di Hokaido. Untungnya, Miki masih ada di Tokyo dan akhirnya bisa bertemu dengan ibu kandungnya.

Setelah Membaca Buku Dona Dona

Secara formula, sebenarnya Dona Dona memiliki formula yang mirip-mirip dengan Funiculi Funicula, di mana pengunjung yang memiliki “masalah” di masa lalu (maupun masa depan) ingin melakukan perjalanan waktu.

Walaupun menggunakan formula yang sama, Penulis sama sekali tidak mempermasalahkannya karena menganggap hal tersebut sebagai konsistensi. Apalagi, cerita-cerita yang disajikan juga sangat heartwarming dan menyentuh hati.

Dengan lokasinya yang berpindah ke Hokaido juga berhasil memberikan efek penyegaran, yang ditambah dengan adanya beberapa karakter baru (yang tentu juga membutuhkan waktu untuk mengingatnya, mengingat betapa sulitnya nama-nama Jepang).

Jika dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, Dona Dona lebih sering membahas tema tentang kematian dan perasaan kehilangan. Bahkan, ada cerita yang di mana tokohnya ingin stay di masa lalu (untuk mati), seperti yang pernah terjadi di buku pertama.

Menurut Penulis (dan rasanya akan ada banyak pembaca buku ini yang setuju), salah satu quote kunci dari buku ini adalah ucapan dari Yukita di akhir buku yang berbunyi:

“Menurutku, kematian tidak seharusnya menjadi alasan seseorang untuk tidak bahagia. Sebab, tak ada orang yang tak akan mati. Jika kematian adalah penyebab ketidakbahagiaan, berarti semua orang dilahirkan untuk tidak bahagia. Hal itu tidak benar. Setiap orang tentu dilahirkan demi kebahagiaan.”

Hal. 263

Salah satu alasan unik yang membuat buku ini akan membuat penasaran para pembacanya adalah adanya halaman yang berwarna hitam pekat. Ternyata, alasan halaman tersebut dibuat berwarna hitam adalah karena mati lampu! Tentu alasan lainnya adalah menimbulkan efek dramatisir yang menarik.

Meskipun ada banyak karakter baru, Kazu tetap menjadi karakter favorit Penulis di sini berkat pembawaannya yang dewasa dan tenang. Kemampuan analisis dan kecerdikannya juga cukup terlihat di sini, walau mungkin ada yang berpendapat hal tersebut kalah jika dibandingkan buku keduanya.

Masih banyak misteri yang belum terungkap di buku ketiga ini, seperti sosok Yukita yang masih keluar negeri maupun cerita di balik sosok pria tua yang menjadi hantu penunggu kursi di Dona Dona.

Setelah melakukan riset kecil-kecilan, ternyata buku ini juga akan memiliki buku keempat dan kelimanya, sehingga tinggal menunggu waktu saja untuk membeli buku-buku tersebut ketika sudah dirilis di Indonesia untuk menjawab misteri yang tersisa.

Skor: 9/10


Lawang, 17 Maret 2024, terinspirasi setelah membaca buku Dona Dona

Continue Reading

Non-Fiksi

Setelah Membaca Stoik: Apa dan Bagaimana

Published

on

By

Tahun depan Penulis sudah akan menginjak kepala tiga. Namun, Penulis merasa ada bagian dirinya yang masih sangat perlu dibenahi. Salah satunya adalah memahami apa yang bisa dikendalikan dan apa yang tidak.

Stoikisme atau stoik adalah salah satu cabang filsafat dari Yunani Kuno yang Penulis anggap mampu menjadi antidote untuk mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, Penulis jadi lebih banyak membaca buku-buku seputar filosofi tersebut.

Suatu hari ketika sedang jalan-jalan di toko buku, Penulis menemukan sebuah buku berjudul Stoik: Apa dan Bagaimana karya Massimo Pigliucci. Merasa buku ini akan menjabarkan stoik lebih dalam dari Filosofi Teras, Penulis pun memutuskan untuk membelinya.

Detail Buku Stoik: Apa dan Bagaimana

  • Judul: Stoik: Apa dan Bagaimana
  • Penulis: Massimo Pigiucci
  • Penerbit: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: April 2023
  • Tebal: 277 halaman
  • ISBN: 978-602-06-5868-1

Sinopsis Buku Stoik: Apa dan Bagaimana

Bagaimana ajaran kuno Stoik bisa membantu kita bertumbuh pada masa modern?

Setiap kali merasa khawatir tentang apa yang akan kita makan, bagaimana kita bisa mencintai seseorang, atau bagaimana cara mencapai kebahagiaan, sebenarnya kita sedang memikirkan cara menjalani hidup yang baik.

Stoikisme bisa jadi adalah jawabannya, karena membuat kita memusatkan perhatian pada apa yang mungkin dan memberikan perspektif tentang apa yang tidak penting.

Dengan memahami Stoikisme, kita bisa belajar menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seperti: Perlukah kita tetap mempertahankan hubungan atau berpisah? Bagaimana sebaiknya kita mengelola uang di dunia yang nyaris hancur karena krisis keuangan? Bagaimana kita bisa bertahan setelah mengalami tragedi pribadi?

Stoikisme mengajari kita pentingnya karakter, integritas, dan belas kasih dalam diri seseorang. Buku ini, yang merupakan panduan penting untuk memahaminya, dilengkapi dengan tips praktis dan latihan serta meditasi dan kesadaran akan saat ini dan di sini, memberi gambaran tentang betapa relevannya Stoikisme dalam setiap segi kehidupan kita saat ini.

Isi Buku Stoik: Apa dan Bagaimana

Buku Stoik: Apa dan Bagaimana diawali dengan dua bagian pembukaan yang menjabarkan secara umum mengenai apa itu stoik. Setelah itu, buku ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yakni:

  1. “Disiplin dalam Hal Hasrat: Apa yang Patut Diinginkan atau Tidak Patut Diinginkan”
  2. “Disiplin dalam Tindakan: Bagaimana Berperilaku di Dunia”
  3. “Disiplin dalam Niat: Bagaimana Menanggapi Situasi”

Sebagai informasi, ketiga bagian tersebut merupakan prinsip “Tiga Disiplin Stoa”, mengenai desire (keinginan), action (tindakan), dan assent (persetujuan). Masing-masing bagian tersebut akan dipecah lagi menjadi beberapa bab.

Buku ini juga mengeksplorasi “Empat Kebajikan Stoa”, yakni wisdom (kebijaksanaan), courage (keberanian), justice (keadilan), temperance (toleransi). Di setiap pembahasannya, sang penulis buku ini menarasikannya dengan gaya dialog dengan salah satu toko stoik, Epictetus.

Sebagai buku yang mengangkat tema stoik, tentu saja banyak penjelasan yang menekankan tentang dikotomi kendali, alias mengetahui mana yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak.

Seperti yang dijelaskan di buku stoik lain, pada akhirnya yang benar-benar bisa kita kendalikan adalah diri kita sendiri. Hasil ataupun perasaan orang lain itu ada di luar kendali kita, yang bisa kita kendalikan adalah respons atas hal tersebut.

Di bagian akhir buku, penulis buku memberikan Latihan-Latihan Praktis Spiritual untuk membantu kita menerapkan filsafat stoik dalam kehidupan sehari-hari. Total ada 12 poin, yakni:

  1. Memeriksa kesan yang dirasakan
  2. Mengingatkan diri bahwa sesuatu tidak permanen
  3. Klausul cadangan
  4. Bagaimana saya dapat menggunakan kebajikan di sini dan saat ini?
  5. Berhenti sejenak untuk menarik napas dalam
  6. Membayangkan berada di posisi orang lain
  7. Bicara sedikit tapi bagus
  8. Memilih teman Anda dengan baik
  9. Menanggapi penghinaan dengan humor
  10. Jangan bicara terlalu banyak tentang diri sendiri
  11. Bicara tanpa menghakimi
  12. Merenungkan pengalaman Anda hari ini

Setelah Membaca Buku Stoik: Apa dan Bagaimana

Meskipun dari luar terlihat berat untuk dicerna, sebenarnya buku Stoik: Apa dan Bagaimana relatif mudah untuk dicerna bahkan oleh orang yang belum pernah bersentuhan dengan filsafat stoik sekalipun.

Secara garis besar, buku ini merupakan a great overview untuk Pembaca yang ingin belajar filsafat stoik. Memang tidak semua bagian yang bisa dipahami dengan sekali baca, tapi mayoritas isinya mudah dipahami.

Di sisi lain, buku ini juga tetap menarik bagi yang sudah pernah membaca buku stoik seperti Filsafat Teras. Tetap ada insight-insight baru yang akan menambah wawasan mengenai filsafat stoik.

Salah satu hal yang membuat buku ini mudah dipahami adalah karena Pigliucci sebagai penulis menyisipkan banyak kisah pribadinya atau pihak lain agar mudah kita bayangkan. Ini membuat apa yang ia tuturkan di dalam buku cukup aplikatif.

Sisi negatifnya, hal tersebut membuat buku ini agak terasa sebagai perjalanan Pigliucci sebelum dan sesudah mengenal filsafat stoik. Oleh karena itu, buku ini mungkin akan terasa dangkal dan kurang dalam untuk Pembaca yang sudah mengetahui tentang dunia filsafat.

Selain itu, kekurangan lain dari buku ini adalah narasi dialog dengan Epictetus yang terkadang terkesan kurang natural dan agak dipaksakan. Penulis bahkan sempat merasa bingung kenapa tiba-tiba ada adegan dialog dengan Epictetus.

Terlepas dari kekurangannya, buku ini layak untuk dibaca bagi yang sedang mencari kedamaian hidup. Stoik mungkin bukan cabang filsafat yang terbaik, tapi Penulis merasa kalau stoik sangat cocok untuk diterapkan ke kehidupan Penulis.

SKOR: 8/10


Lawang, 7 November 2023, terinspirasi setelah membaca buku Stoik: Apa dan Bagaimana karya Massimo Pigliucci

Continue Reading

Non-Fiksi

Setelah Membaca Menikmati Kepergianmu

Published

on

By

Melepaskan seseorang dari kehidupan kita bisa menjadi hal yang berat, entah karena kematian, pertengkaran, jarak, dan alasan lainnya. Keterikatan, banyaknya momen yang tercipta, adanya kebutuhan, menjadi beberapa alasan mengapa melepaskan menjadi berat

Penulis pun merasakannya, sehingga secara iseng mencoba membeli buku karya Alfiaghazi berjudul Menikmati Kepergianmu yang satu ini. Padahal, biasanya tipe-tipe buku seperti ini adalah yang paling jarang dibeli.

Namun, dengan tujuan “riset” dan merasa topik yang dibahas selaras dengan stoik (kepergian orang lain berada di luar kendali kita), maka Penulis mencoba untuk membacanya dengan harapan lebih bisa mengendalikan dirinya ketika ada yang meninggalkan dirinya.

Detail Buku Menikmati Kepergianmu

  • Judul: Menikmati Kepergianmu
  • Penulis: Alfiaghazi
  • Penerbit: Penerbit Sahima
  • Cetakan: Ketiga
  • Tanggal Terbit: 2022
  • Tebal: 194 halaman
  • ISBN: 978-602-6744-57-9

Sinopsis Menikmati Kepergianmu

Aku pernah takut menghadapi kepergian sebab cintaku sudah menancap terlalu dalam.

Namun sebanyak apa pun aku berkorban, sekuat apa pun aku mencoba bertahan, kepergian tetap tak pernah bisa terhindarkan.

Maka, bila sudah begitu, apalagi yang bisa aku lakukan selain menikmatinya? Sederas-derasnya hujan, kelak pasti akan reda juga.

Kepergianmu memang menyisakan luka, tapi yang membawaku kepada kebahagiaan yang sesungguhnya.

Sebab bagi orang yang terlalu mencintai sepertiku, patah hati adalah anugerah.

Darinya, aku mengerti ternyata sesakit itu berharap kepada sesuatu yang semu; manusia.

Yang terbaik, pilihan Allah.

Isi Buku Menikmati Kepergianmu

Menikmati Kepergianmu berisikan tentang tulisan-tulisan pendek yang menurut Penulis tidak terlalu memiliki kesinambungan antara satu dengan yang lainnya. Artinya, Pembaca bisa membuka halaman secara acak tanpa perlu membaca halaman-halaman sebelumnya.

Topik yang dihadirkan pun seputar permasalahan percintaan, terutama tentang kegalauan penulis buku ini tentang melepaskan seseorang yang sangat dicintai. Kita akan dibuat merasakan betapa beratnya melakukan hal tersebut.

Tak jarang isi buku ini juga terasa seperti curahan hati sang penulis buku dengan menyelipkan kisah-kisah yang terasa benar-benar terjadi di kehidupannya. Yang jelas, Penulis merasa kalau buku ini lebih banyak menimbulkan perasaan pedih daripada motivasi untuk bangkit.

Di antara tulisan-tulisan pendek, ada banyak quote yang bisa jadi akan related dengan apa yang sedang dialami oleh pembacanya. Ada satu quote yang paling Penulis sukai dari buku ini, yakni:

“Tidak ada cara pergi yang baik, semua selalu menyakitkan.”

Mengingat jumlah halamannya yang sedikit dan terkadang tulisannya ada yang tidak sampai satu halaman, maka buku ini bisa diselesaikan dengan cepat. Apalagi, bahasa yang digunakan bukan bahasa puitis yang ambigu dan susah untuk dipahami.

Setelah Membaca Menikmati Kepergianmu

Meskipun akan terasa related bagi sebagian pembacanya, Penulis justru merasakan kalau esensi yang ditawarkan pada bagian sinopsis tidak terlalu ditonjolkan, yakni tentang bagaimana kita seharusnya hanya berharap kepada Tuhan.

Penulis juga berharap kalau buku ini akan bisa membuat Penulis bisa menikmati kepergian orang-orang penting dalam hidupnya. Seperti yang sudah disinggung di atas, Penulis tidak bisa mengendalikan siapa-siapa yang mau stay di kehidupan Penulis.

Alih-alih, buku ini lebih terasa kepada curhatan penulis buku yang ingin “mengomersialkan” kisahnya. Meskipun di belakang buku tertulis genre buku ini “Motivasi”, kenyataannya tidak banyak motivasi yang Penulis dapatkan.

Jika menengok kebiasaan manusia yang justru akan mendengarkan musik galau ketika sedang galau, maka buku galau ini pun bisa menjadi teman yang pas untuk bergalau ria. Namun, jika niat membaca ingin uplifting, jangan berharap terlalu banyak dari buku ini.

Jadi, jika Pembaca sedang galau dan memang sedang mencari bacaan galau, mungkin buku ini akan menjadi pilihan yang menarik. Apalagi, ada banyak quote yang bisa dijadikan sebagai aesthetic story.

Skor: 5/10


Lawang, 24 Oktober 2023, terinspirasi setelah membaca Menikmati Kepergianmu karya Alfiaghazi

Continue Reading

Facebook

Tag

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan