Distopia Bagi Kia
Bagian 4 Kia dan Orangtuanya
Kia sebenarnya sangat ingin tidak pulang untuk saat ini, ketika pulang sekolah. Ia ingin menghindari pertemuan dengan orangtuanya yang sekarang pasti sudah di rumah. Keengganan tersebut membuatnya tertahan di kelas untuk beberapa lama, sampai menyisakan dirinya seorang. Rasanya ingin melarikan diri menuju tempat terpencil. Kia tidak ingin kabur dari rumah, ia hanya ingin sembunyi sampai orangtuanya kembali sibuk ke urusan pekerjaannya.
Logikanya, jarangnya waktu pertemuan akan membuat seorang anak rindu kepada orangtuanya. Namun hukum tersebut tidak berlaku untuk Kia. Ia telah nyaman dengan kesendiriannya, dengan dunianya sendiri yang minim interaksi dengan orang lain. Kehadiran papa dan mamanya hanya akan merusak tatanan tersebut. Mama hanya sering bertanya basa-basi tanpa pernah benar-benar peduli. Papanya justru lebih sering menginterogasi dirinya, seperti perlakuan polisi kepada tahanannya.
Akan tetapi, Kia sadar bahwa ia tidak punya pilihan. Pak Tejo pasti akan selalu stand by di depan gerbang dengan mata yang senantiasa awas. Jika dirinya tidak segera memunculkan diri, beliau pasti akan minta tolong kepada pihak keamanan untuk mencari dirinya. Tidak ada cukup ruang sembunyi di sekolah ini, meskipun memiliki banyak bangunan besar. Sama sekali tidak ada ruang yang ditelantarkan sebagai tempat untuk bersembunyi. Kia tahu itu karena ia pernah mencobanya beberapa kali. Hasilnya, ia selalu berhasil ditemukan.
Setelah bergumul dengan pikirannya sendiri, Kia memutuskan untuk menyerah dan melangkahkan kaki ke gerbang sekolah. Ia pasrahkan dirinya untuk menghadapi kedua orangtuanya. Entah apa yang akan mereka bicarakan pada dirinya hari ini. Mungkin mama akan bertanya bagaimana sekolahnya, yang akan ia jawab baik-baik saja. Papanya mungkin langsung memberi ancaman, seperti awas kalau sampai nilaimu turun atau awas kalau sampai tidak bisa memainkan piano dengan benar. Kia sudah hafal. Skenario tersebut seperti diulang terus menerus pada setiap pertemuan mereka. Skenario yang ingin Kia akhiri.
Pak Tejo dengan tersenyum lebar menyambut kedatangan Kia. Ketika membukakan pintu, seperti biasa beliau menanyakan bagaimana sekolah hari ini. Meskipun sudah ribuan kali direspon dengan jawaban yang sama, Pak Tejo nampak tidak pernah lelah untuk bertanya pertanyaan yang sama pula. Mungkin orangtua Kia yang memintanya bertindak seperti itu setiap hari. Kia pun tidak pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang lebih bervariasi.
“Nona, mapa sama mama sudah menunggu di rumah.” ujar pak Tejo sewaktu mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
“Iya.” jawab Kia yang sedang termenung menatap jalan yang mereka lewati.
“Saya lewat jalan yang lain ya non, kalau lewat jalan kemarin takutnya macet parah kayak kemarin.”
“Iya.”
“Papa sama mama bawa hadiah buat nona lho, pasti nona suka.”
Aku tidak pernah merasa senang atau sedih menerima hadiah dari mereka, kata Kia dalam hati. Ia memang sering mendapatkan hadiah ketika orangtuanya pulang ke rumah. Baju, sepatu, peralatan kosmetik, hingga pajangan. Semua barang tersebut tentu berdasarkan selera orangtua Kia, bukan seleranya. Kia tidak pernah protes, sehingga orangtuanya pun menganggap Kia menyukai pilhan mereka. Buruknya komunikasi antara mereka inilah yang menyebabkan Kia seperti sekarang, dan kedua belah pihak tidak ada yang pernah menyadarinya.
***
Langkah kaki Kia terasa begitu berat untuk melangkah ke dalam rumah, seolah ada energi yang menahan kakinya untuk bergerak. Beberapa pelayan sudah menyapanya dan menanyakan pertanyaan yang sama: enggak masuk non? Andai ia bisa menjawab tidak dan lari dari rumahnya sendiri. Andai ia bisa terbang dan melarikan diri ke tempat terpencil di mana ia bisa hidup dengan bahagia. Andai ia memiliki kemampuan untuk menghilang sehingga tidak terlihat. Semua pengandaian tersebut Kia sadari sebagai hal yang mustahil. Ia pada akhirnya memilih untuk memasuki rumahnya.
Dari suaranya, Kia menebak orangtuanya sedang berada di ruang tengah yang berada di lantai pertama. Ruang tersebut dimaksudkan sebagai ruang untuk berkumpul, yang sayangnya tidak pernah berfungsi dengan baik karena hampir tidak pernah digunakan jika tuan dan nyonya Labdajaya tidak ada di rumah. Kia tidak menemukan alasan mengapa ia harus menghabiskan waktu di ruang tersebut, meskipun memiliki sebuah televisi raksasa dengan sofa yang maha empuk. Kamarnya sendiri sudah cukup untuk dirinya, sehingga ia tidak membutuhkan ruangan lain. Ya, mungkin ia juga butuh teater mini dan perpustakaan.
Kia melangkah dengan suara sepelan mungkin, hampir seperti mengendap-endap agar keberadaannya tidak diketahui. Ia ingin mengulur selama mungkin waktu pertemuannya, walau Kia sadar hasilnya akan sama saja. Pada akhirnya, petemuan mereka tidak bisa dihindari. Kia harus menghadapi kenyataan tersebut. Ia sudah tidak bisa lagi lari dari hal yang seharusnya membahagiakan tersebut.
Nampak terlihat sang papa sedang sibuk dengan ponselnya, menjawab berbagai surel yang masuk. Sedangkan mamanya tengah mengganti-ganti saluran televisi, mungkin untuk menghilangkan kejenuhan. Bagi orang sibuk seperti mereka, menonton televisi merupakan hal yang istimewa untuk melepas penat sejenak. Mereka berdua tidak ada yang menyadari kehadiran Kia, dan Kia juga tidak ingin berinisiatif menyapa terlebih dahulu.
Sekitar 10 menit Kia berdiri dalam diam, hingga tuan besar Labdajaya tanpa sengaja mengangkat kepalanya untuk mengingat sesuatu. Dengan senyum lebar yang terlihat seperti seringai serigala, ia memanggil anaknya dengan suara yang kencang. Bagi orang lain, panggilan tersebut terdengar begitu antusias dan bersemangat, menunjukkan bahwa yang mengeluarkan suara senang bertemu dengannya. Namun bagi Kia, panggilan dari papanya itu sama dengan sebuah alarm kebakaran, memberi peringatan kepadanya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Sang mama ikut menoleh ke arah Kia dan melemparkan senyum yang manis. Ia langsung berdiri dan menghampiri anaknya untuk memeluknya. Kia menerima pelukan tersebut dengan hambar. Ia tak merasakan adanya kasih sayang dari pelukan yang mereka lakukan. Pelukan tersebut hanya sebagai formalitas semata, bagaikan kewajiban yang harus dilakukan ketika seorang anak bertemu dengan ibunya.
“Kamu apa kabar sayang? Gimana sekolahnya?” tanya mama Kia setelah mereka selesai berpelukan.
“Baik.” Kia merasa satu jawaban tersebut sudah menjawab dua pertanyaan yang diajukan kepada dirinya.
“Ayo sini duduk, mama kangen berat sama kamu.”
Bohong, ujar Kia dalam hati yang urung ia ucapkan secara langsung. Mau sebenci apapun ia kepada orangtuanya, tetap saja pada dasarnya Kia adalah anak yang baik. Ia tahu hal tersebut akan menyakiti perasaan mamanya, dan ia tidak mau hal tersebut terjadi. Kia memutuskan diam dan menurut ketika tangannya ditarik mamanya agar ia duduk di dekatnya. Papanya melanjutkan kesibukannya dengan gawainya sebelum memberi pertanyaan kepada Kia.
“Gimana latihan pianonya? Ingat, dua bulan lagi kamu tampil lo. Jangan sampai malu-maluin papa.”
“Lancar pa.” jawab Kia tanpa berani memandang papanya.
“Bagus, latihan terus yang giat.” kata pak Labdajaya singkat, lalu kembali sibuk dengan gawai yang ada di genggamannya.
“Papa dan mama di sini sampai besok siang. Kami mau ke Kalimantan, melihat perkembangan bisnis properti di sana. Jadi, hari ini kita habiskan waktu bersama ya.” ujar mamanya sambil menggenggam tangan Kia.
“Iya ma.”
Kia tahu bahwa yang dimaksud dengan menghabiskan waktu bersama adalah berkumpulnya mereka bertiga di satu ruangan dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Kia yakin sebentar lagi mamanya akan mulai membuka laptopnya untuk mengecek berbagai laporan yang ia terima. Tidak seperti suaminya, bu Labdajaya lebih suka bekerja menggunakan laptop karena tidak senang dengan layar kecil yang dimiliki oleh ponsel.
Dengan menghela nafas panjang, Kia pamit kepada kedua orangtuanya untuk ganti baju dan mandi di kamarnya terlebih dahulu. Ia berharap, setelah mandi, ia akan tertidur tanpa sengaja sehingga waktu yang dihabiskan dengan orangtuanya pun lebih sedikit. Urusan pekerjaan rumah bisa dikerjakan nanti tengah malam atau besok pagi, toh tadi di sekolah ia sudah menyicil beberapa soal. Yang Kia inginkan sekarang adalah kesendirian untuk sesaat, untuk menghindari orangtuanya sementara waktu.
***
Harapan Kia terkabul. Ia tertidur hingga waktu makan malam tiba. Tidak ada satu orang pun yang membangunkan dirinya. Mungkin orangtuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga mereka lupa untuk menghabiskan waktu dengan dirinya. Kia justru merasa senang dengan hal tersebut, meskipun menimbulkan tanda tanya pada benaknya. Ia duduk sejenak di pinggir tempat tidurnya sebelum melangkahkan kaki keluar kamar, memeriksa situasi terkini rumahnya.
Baru beberapa langkah, salah seorang pelayan yang bertanggungjawab membersihkan lantai tiga memanggil Kia.
“Non, kebetulan, orangtua nona mau berangkat malam ini. Saya lupa alasannya, tapi mereka sudah siap-siap di depan non. Ini tadi saya mau bangunin nona.”
Tanpa memberikan respon apa-apa, Kia berjalan menuju beranda rumahnya. Bukan untuk melepas kepergian orangtuanya, hanya untuk menjalani formalitas sebagai anak dari tuan besar. Tentu papanya tidak ingin anaknya terlihat tidak menghormati dirinya, meskipun hanya di depan para asisten rumah tangga. Daripada ia kena semprot lagi, Kia memutuskan untuk menjalani prosedur ini tanpa banyak tanya.
Benar saja, papa dan mamanya terlihat sudah membawa dua koper yang sedang dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Kia yang sedang berdiri di depan pintu masuk yang ukurannya tiga kali tinggi manusia normal hanya memandang bisu mereka berdua. Sama seperti tadi siang, Kia sama sekali tidak berinisiatif untuk memanggil orangtuanya terlebih dahulu sebelum mereka sadar sendiri. Papa Kia tanpa sengaja melihat anaknya sedang berdiri memandangi dirinya. Ia berjalan mendekati Kia dan mengatakan sesuatu kepadanya.
“Ingat ya Kia, dalam dua bulan kamu akan membawa nama baik keluarga Labdajaya melalui pertunjukkan pianomu. Papa sudah bilang ke Thomas, selain lagu Beethoven yang papa lupa judulnya, kamu juga akan memainkan lagu-lagu gubahan Mozart dan Bach. Papa enggak ada yang inget namanya, tapi Thomas udah paham. Dengan kemampuanmu, papa yakin kamu bisa menguasai lagu-lagu tersebut.”
Seperti biasa, nada papanya terdengar tegas tanpa kompromi. Sama sekali tidak ada jeda bagi Kia untuk menyela, sekedar mengajukan protes kecil. Bagi papanya, martabat keluarga jauh lebih penting daripada kebahagiaan keluarganya, begitu yang Kia pikirkan. Karena tidak bisa berbicara apa-apa, Kia hanya menggerakkan kepalanya sebagai tanda akan melaksanakan perintah papanya, kata tiap kata.
Setelah papanya selesai dan segera memasuki mobil, kini mama Kia yang menghampiri putri semata wayangnya. Tanpa didahului berbicara, ia memeluk Kia yang disambut dengan canggung. Kia tidak bisa memahami apa makna pelukan tersebut.
“Maaf ya sayang, jadwalnya mendadak berubah. Tadi mama ke kamarmu, kamu lagi bobok, enggak tega mau bangunin.” ujar mamanya, yang seandainya Kia lebih peka, akan terasa penyesalan yang dalam.
“Iya ma.” jawab Kia dingin tanpa memandang mamanya. Matanya menatap lurus ke pagar, meskipun pikirannya tengah mengembara entah ke mana.
“Mama sayang kamu.” kata mamanya sembari memeluk Kia kembali. Seusai perpisahan tersebut, mamanya balik badan dan masuk ke dalam mobil. Kia memandangi mobil tersebut hingga keluar rumah dan pagar kembali ditutup. Kehidupan normalnya kini telah kembali. Meskipun daritadi ia merasa ingin segera berpisah dari orangtuanya, entah mengapa Kia merasa sedikit sedih dengan perpisahan kali ini. Namun Kia tidak memikirkannya terlalu jauh. Ia masuk ke dalam rumahnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan.
Saat membuka pintu kamarnya, Kia mendadak sentimentil. Ia berusaha mengingat-ingat, kapan pelukan mamanya terasa begitu hangat seperti tadi. Ia korek memorinya, kapan terakhir ia menghabiskan waktu berkualitas bersama papa dan mamanya. Ia berpikir keras, apakah dirinya pernah mengungkapkan rasa sayangnya ke orangtuanya. Ataukah memang tidak pernah? Apakah hal-hal normal seperti itu memang hanya mimpi bagi kehidupan Kia?
Kia menutup pintu dan terduduk di lantai. Ia sandarkan punggungnya di pintu. Ia peluk lututnya sedemikian erat. Ia tenggelamkan wajahnya di dalam dekapannya sendiri. Kia tidak menangis. Ia hanya merasa sangat kesepian. Kehadiran orangtuanya yang sesaat bukannya mengobati kesepian tersebut, justru makin memperlebar luka. Untuk apa ada pertemuan jika ujungnya hanya perpisahan yang lebih lama?
Kisah Kia dan orangtuanya merupakan cerita yang menyedihkan bagi siapapun yang mengetahuinya. Tidak ada yang benar-benar memahami satu sama lain di antara mereka. Andai saja mereka lebih terbuka dalam mengungkapkan perasaan mereka, kesepian yang dirasakan oleh Kia tidak akan membuat ia semenderita ini. Andai saja mereka mengetahui apa yang ada di dalam hati masing-masing, Kia tidak perlu menjalani hidup yang begitu menyakitkan seperti ini.
You must be logged in to post a comment Login