Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 38 Semua Sudah Tahu
Aku hanya bisa memberi tatapan kosong ketika Kenji memintaku untuk menemaninya menjenguk Sica. Ia kebingungan melihat responku, namun kurang dari semenit ia memberi tatapan “ah, aku mengerti apa yang telah terjadi”. Karena itu ia menambahkan, kemungkinan semua teman sekelas akan ikut menjenguk, jadi tidak usah takut suasananya menjadi awkward. Aku hanya mengangguk-angguk dengan tatapan yang sama.
***
Di jam istirahat pertama, Kenji dan Bejo mengumumkan bahwa sepulang sekolah nanti, kami semua akan menjenguk Sica yang sudah sadar kembali. Sebenarnya kami bisa mengunjunginya kemarin, hanya saja kami terlalu heboh dengan kembalinya Kenji dan Sarah. Omong-omong soal Sarah, ia masih terlihat takut-takut dengan kami, sehingga membuatnya diam tak bersuara sepanjang hari ini. Untunglah, beberapa teman seperti Rena dan Ve berusaha untuk membuat Sarah nyaman dengan mengajaknya bicara.
Aku jadi teringat tentang pertanyaanku kemarin ke Sica, mengapa ia tidak memiliki teman perempuan dekat di kelas. Untuk menghilangkan rasa penasaran tersebut, aku menanyakannya kepada Gita.
“Kenapa kamu bertanya itu Le?” tanya Gita balik, mungkin merasa pertanyaanku itu tidak perlu ditanyakan olehku.
“Hanya penasaran Gita, kenapa anak sebaik Sica justru tidak memilki teman dekat.” aku berusaha menjelaskan inti dari pertanyaanku.
Gita memandangku dengan tatapan memelas. Aku tidak paham apa yang perlu dikasihani dengan pertanyaanku? Atau justru tatapannya itu ditujukan kepada Sica?
“Kamu tahu Le, bagi kami kaum wanita, Sica itu terlihat terlalu sempurna. Ia pintar, cantik, baik hati, supel, hingga seolah-olah ia adalah makhluk yang sempurna. Mungkin itulah Le alasannya, ia terlalu tinggi untuk digapai oleh kami yang biasa-biasa saja.”
Aku sedikit terlonjak mendengar jawaban Gita. Terlalu sempurna? Benarkah kesempurnaan membuat kita menjadi susah memiliki kawan? Jika dipikir-pikir, mungkin ada benarnya. Dulu aku merasa begitu sempurna, sehingga tidak memiliki kawan satu pun. Akan tetapi tentu hal tersebut tidak bisa dibandingkan dengan Sica, karena kesempurnaan milikku adalah bentuk keangkuhan, sedangkan Sica adalah murni miliknya, walaupun aku percaya tidak ada manusia yang sempurna.
“Kamu beneran suka sama Sica ya Le?” tanya Gita menarikku kembali dari alam pikirku.
“Eh…itu…enggak kok. Aku hanya penasaran.” jawabku tergagap karena tidak menduga Gita akan bertanya sefrontal ini.
Gita hanya tersenyum masam, lalu membalikkan tubuhnya. Apakah aku salah karena menanyakan pertanyaan ini, pertanyaan yang jawabannya mungkin dirasakan oleh teman perempuan satu kelas? Belum kutemukan jawabannya, bel tanda masuk sudah berdering.
***
Jam istirahat kedua, teman-teman melakukan berbagai aktivitas. Sudarwono bersaudara selalu menjadi yang pertama keluar kelas. Kenji biasanya menghampiri aku untuk mengajak ke kantin, namun lebih sering aku tolak karena memang aku tidak suka membelanjakan uangku untuk membeli makanan. Toh aku sangat jarang merasa lapar, walaupun otak digunakan seharian untuk berpikir.
Karena sudah menemukan metode untuk berbicara dengan Juna, maka aku mencoba untuk mengajaknya berbicara.
“Juna, aku mengganggu?”
Ia menoleh dan melihat kelima jariku, terkekeh dengan geli.
“Tentu tidak Le, terima kasih sudah memberitahukan metode tersebut kepada teman-teman yang lain.”
“Mengapa kau bisa begitu berbeda di antara jeda dua detik?”
“Entahlah, sejak kecil aku begitu lambat dalam memberikan respon. Butuh lima detik agar otakku dapat memprosesi informasi yang masuk.”
“Lalu, mengapa biasanya kau respon dalam tiga detik?”
“Itu karena aku sering dimarahi oleh orang-orang yang mengajakku berbicara, sehingga aku menjawabnya lebih cepat dengan mengulang pertanyaannya, memberikan jeda untuk otakku menyerap informasi.”
“Tapi kau termasuk pintar Juna, bahkan di kelas ini, bagaimana bisa?”
“Otakku memang lambat menerima informasi yang berupa audio, akan tetapi di sisi lain sangat cepat menyerap informasi visual. Berikan aku buku telepon, beri beberapa menit, maka aku akan hafal halaman pertamanya.”
“Benarkah? Susah dipercaya.”
“Mau bukti? Coba tuliskan sesuatu secara acak rangkaian angka, huruf maupun simbol. Beri aku waktu beberapa detik untuk membacanya.”
Kulakukan apa yang ia minta, mencoba membuatnya sesulit mungkin. Begitu selesai, kuberikan kepadanya. Ia membaca kertas tersebut, membaca sepintas, lalu mengembalikannya kepadaku. Lantas, ia sebutkan semua yang tertera di kertas tersebut, lengkap dengan kesalahan-kesalahan penulisannya.
“Wah, luar biasa, tak kusangka kau memiliki kemampuan seperti itu.”
“Anggap saja ditukar dengan kemampuan otakku yang lambat menangkap informasi berupa audio. Kamu tahu mengapa aku sering sibuk menulis sewaktu istirahat?”
Aku menggelengkan kepala.
“Aku mencatat semua informasi yang aku dapatkan, baik pelajaran maupun tindak tanduk kalian. Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul karena keterbatasanku ini, tetapi aku ingin bisa membaur dengan kalian. Oleh karena itu aku banyak mencatat tentang hal tersebut, sehingga ketika kalian mengajakku berbicara, aku bisa nyambung.”
“Aku paham.”
Aku berpikir sejenak, lalu bertanya kepada Juna.
“Kau juga mencatat pertanyaan Gita sewaktu istirahat pertama?”
“Tentu saja, banyak catatanku yang berisi perasaanmu kepada Sica, baik yang berasal darimu maupun orang lain. Aku rasa semua teman-teman satu kelas sudah tahu Le.” katanya sambil tersenyum.
Aku segera membalikkan badanku, mengakhiri percakapan.
***
Setelah berkutat dengan kimia, akhirnya kami bisa bernafas lega karena waktu untuk pulang telah tiba. Masuk ke kelas akselerasi berarti kami harus siap belajar satu setengah kali lebih cepat dibandingkan kelas regular. Di saat kelas lain masih bersantai, kami sudah akan naik tingkat ke kelas sebelas. Ketika kelas regular naik kelas, kami sudah separuh jalan menuju kelas dua belas. Inilah resikonya menjadi anak akselerasi, namun aku sama sekali tidak menyesali kondisi ini. Aku adalah penyuka tantangan, apalagi jika terkait dengan pelajaran. Aku akan berusaha mengalahkan semua teman-temanku di sini, termasuk Kenji.
Sesuai kesepakatan, kami semua akan mengunjungi Sica sepulang sekolah. Setelah mampir ke toko kelontong untuk membeli roti dan susu (lagi), kami berempatbelas mencegat angkot bersama-sama. Aku sengaja tidak pulang terlebih dahulu untuk mengajak Gisel, karena takut bocah itu akan membuka semua apa yang terjadi kemarin lusa. Mau ditaruh mana muka ini jika teman-teman sampai tahu.
Ketika kami sudah sampai di rumah sakit dan hendak masuk ke dalam ruangan, aku melihat keraguan dalam wajah Sarah. Kenji berusaha untuk menyemangatinya, namun ia tetap ragu untuk masuk ke dalam ruangan itu. Beberapa sudah masuk ke dalam kamar inap, tidak menyadari ketakutan Sarah untuk bertemu dengan Sica. Karena Kenji terlihat susah untuk meyakinkan Sarah, aku maju untuk membantunya.
“Aku sudah bertemu Sica kemarin, dan ia khawatir kau akan merasa bersalah karena telah membuatnya masuk rumah sakit. Meskipun aku tidak setuju dengan pendapatnya, kau perlu tahu bahwa Sica tidak marah kepadamu. Ia sama sekali tidak menyalahkanmu.”
Sarah hanya terdiam mendengar perkataanku, namun memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan. Untunglah, nampaknya hari ini tidak ada pasien lain yang berada di kamar lain, sehingga kedatangan kami yang beramai-ramai ini tidak terlalu mengganggu.
Teman-teman yang lain langsung menyingkir ketika melihat Sarah berjalan perlahan memasuki ruangan. Mereka nampaknya tahu, ada sesuatu yang ingin diutarakan oleh Sarah. Aku dan Kenji mengikutinya dari belakang. Untunglah fokus teman-teman ada di Sarah, bukan ke diriku yang sedang meredam getaran-getaran yang entah darimana datangnya.
Sunyi sesaat ketika Sarah dan Sica saling bertatap muka. Mungkin itu bukan istilah yang tepat, karena Sarah tidak berani menatap wajah Sica secara langsung, walaupun Sica memasang wajah yang bersahabat. Betapa hebat wanita yang satu ini, sama sekali tidak mengukir dendam di hatinya.
Karena mereka hanya saling berdiam diri dalam waktu yang cukup lama, Sica memutuskan untuk mengambil inisiatif.
“Aku minta maaf ya Sarah.”
Satu kalimat, dan tumpahlah air mata Sarah. Ia menutupi mukanya, berusaha menahan suara agar tidak terlalu keras isaknya terdengar. Teman-teman perempuan yang lain berusaha untuk menenangkan Sarah, dan menggiringnya agar duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang Sica. Rupanya mama Sica sedang tidak ada di tempat.
Selang beberapa saat, ketika sudah berhasil menguasai emosinya, Sarah mulai mengeluarkan permohonan maafnya yang tulus. Sica pun hanya bisa menjawab bahwa ia sudah memaafkan Sarah, dan berharap setelah ini mereka bisa menjadi teman yang baik. Beberapa teman nampak terharu melihat adegan. Aku? Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin kejadian seperti ini bisa melelehkan hatiku yang terbuat dari besi?
Sekitar 45 menit kami berada di rumah sakit. Mereka semua silih berganti mengajak bicara Sica, menanyakan ini dan itu. Nampaknya belum ada yang menyadari bahwa telah terjadi sesuatu kemarin lusa antara aku dan Sica. Terang saja, karena aku belum sekalipun mengeluarkan suara semenjak memasuki ruangan ini. Aku hanya menyimak baik-baik percakapan mereka, perbincangan antar teman kelas. Setelah itu, kami pun satu per satu berpamitan dengan Sica, dimulai dengan Sarah hingga aku yang terakhir.
Ketika aku hendak berpamitan dengan Sica, teman-teman sudah keluar dari ruangan, menyisakan kami berdua. Berat rasanya untuk berpamitan dengan dirinya karena aku masih merasa canggung, apalagi jika teringat kalimat terakhir yang keluar dari bibirku.
Hingga akhirnya, Sica lah yang berbicara terlebih dahulu dengan diiringi senyumannya.
“Le, tolong temani aku sebentar di sini.”
You must be logged in to post a comment Login