Pengalaman

Mereka Bilang Saya Banci

Published

on

Gara-gara sebuah mimpi, penulis jadi teringat masa-masa SD-nya. Sayang, yang teringat justru hal-hal buruk seperti ejekan yang tersemat pada penulis.

Selama ini, penulis menganggapnya sebagai aib dan berusaha menguburnya dalam-dalam. Akan tetapi, penulis sadar bahwa sampai kapan pun kita tidak akan bisa melupakannya.

Banci, Bencong, dan Perawan

Waktu SD dulu, penulis merupakan tipe murid yang kuper dan susah bergaul. Bisa dibilang, penulis tidak memiliki teman dekat ketika SD. Penulis juga tipe murid yang dengan mudah namanya akan dilupakan oleh guru-guru.

Oleh beberapa teman SD, penulis sering dipanggil dengan sebutan banci, bencong, perawan, dan lain sebagainya. Penulis benar-benar membenci sebutan tersebut, karena mana ada anak laki-laki yang senang dipanggil demikian?

Selain panggilan tersebut, penulis juga kerap dipanggil becak atau versi bahasa Inggrisnya, pedicap. Untuk yang dua ini, penulis tidak terlalu memasukkannya ke dalam hati dan menganggapnya sebagai bahan canda.

Penulis sendiri sampai sekarang tidak memahami dari mana ejekan-ejekan tersebut muncul. Mungkin, karena penulis termasuk anak yang lelet dan klemak-klemek. Apakah penulis dulu kemayu? Rasanya tidak, tapi entah jika yang lain melihatnya seperti itu.

Alasan lain yang mungkin adalah karena dulu penulis sangat penakut dan pengecut. Apalagi, penulis juga termasuk lemah dan super payah di bidang olahraga.

Mungkin juga karena penulis termasuk murid yang pelit dalam memberikan contekan. Penulis sangat idealis waktu itu, hingga lulus pun tak pernah melakukannya karena menganggap hal tersebut adalah tindakan yang buruk.

Hingga sekarang, jika penulis tanpa sengaja bertemu dengan teman-teman SD yang dulu kerap memanggil dengan ejekan-ejekan tersebut, penulis akan langsung menundukkan kepala dan pura-pura tidak melihat.

Entah kenapa, rasa trauma dan takut itu susah dihilangkan, bahkan ketika sudah dewasa. Pengalaman tersebut bisa menjadi alasan mengapa penulis kesusahan membina hubungan dengan orang baru.

Berdamai dengan Masa Lalu

Karena sudah berusia 25 tahun, penulis sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya sendiri. Penulis terus mencari alasan-alasan apa yang membuat penulis berada di titik yang sekarang.

Jika pembaca memperhatikan, tulisan di Whathefan akhir-akhir ini banyak berhubungan dengan diri penulis. Hal itu terjadi karena penulis sering melakukan kontemplasi untuk menemukan jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul.

Terkadang, penulis ingin mencaci maki dirinya sendiri di masa lalu yang berbuat bodoh dan sudah membuang waktu-waktunya. Jika dibuat menjadi buku, mungkin ada lebih dari 100 lembar penyesalan yang akan tertulis di sana.

Terkadang, penulis juga menyalahkan keadaan yang sudah ataupun yang sedang dihadapi. Padahal, semua yang terjadi dalam hidup ini sejatinya sudah ditakdirkan dan pasti memiliki alasan mengapa harus terjadi.

Terkadang, penulis juga menyalahkan keterbatasan yang penulis miliki. Padahal, banyak orang dengan keterbatasan yang lebih banyak bisa lebih baik dari penulis. Kita saja yang ingin mencari kambing hitam.

Sekarang penulis sadar bahwa kita selalu memiliki pilihan. Mau terus terjerat masa lalu atau perlahan melangkahkan kaki ke depan?

Penulis belum bisa mencintai dirinya sendiri. Akan tetapi, penulis ingin melakukannya. Bertahap. Hal pertama yang bisa penulis lakukan adalah menerima dirinya sendiri. Salah satu caranya adalah berdamai dengan masa lalu.

Salah satu luka masa lalu yang paling dalam adalah ejekan-ejekan yang sudah penulis sebutkan di atas. Penulis sangat malu dengan ejekan tersebut sehingga menjadi pribadi yang cenderung penutup dan minder.

Oleh karena itu, penulis berusaha untuk menerimanya sebagai kenyataan bahwa kejadian-kejadian di atas memang pernah terjadi dan pasti membawa sebuah hikmah untuk penulis.

Dengan demikian, penulis bisa selangkah demi selangkah melangkahkan kaki ke masa depan tanpa terbebani masa lalu.

Penutup

Ada sebuah istilah psikologi hyper sensitive person HSP. Secara sederhana, istilah tersebut menggambarkan kondisi seseorang yang lebih sensitif, baik indra maupun perasaannya.

Ketika mencoba tes di situs resminya, dikatakan bahwa orang yang HSP akan mendapatkan nilai minimal 14. Mau tahu berapa nilai penulis? 24! Tentu harus dibuktikan dengan pergi ke psikiater, tapi ini bisa menjadi patokan kalau penulis termasuk orang yang sensitif.

Mungkin bagi sebagian anak, bentuk bully secara verbal akan mudah dilupakan dan dijadikan bahan bercanda ketika sudah dewasa. Mental penulis tidak setangguh itu. Penulis sangat terpengaruh dengan kata-kata itu.

Untungnya, apa yang diucapkan teman-teman waktu SD tidak terjadi ketika penulis beranjak dewasa. Penulis tidak menjadi banci ataupun bencong, walaupun memang masih perawan (baca: perjaka).

Biarlah luka tersebut menjadi kenangan dan bagian dari perjalanan kehidupan penulis. Penulis sudah menerimanya sebagai kenyataan, bukan lagi aib yang harus ditutup-tutupi.

Semoga artikel ini bisa menginspirasi pembaca yang memiliki pengalaman serupa 🙂

 

 

Kebayoran Lama, 27 Oktober 2019, terinspirasi setelah bermimpi teman-teman sekolah semasa SD

Foto: Kat J

Fanandi's Choice

Exit mobile version