Sosial Budaya
Permasalahan Bangsa di Mata Gadis 14 Tahun
Kalau pembaca sudah mengikuti Whathefan cukup lama, pasti tahu yang namanya Ayu. Gadis berusia 14 tahun itu sering menjadi teman diskusi penulis di berbagai bidang dan beberapa kali diskusi tersebut penulis jadikan bahan tulisan.
Diskusi kok sama anak SMP? Coba baca contoh tulisan yang terinspirasi dari diskusi tersebut: Severn Cullis-Suzuki: The Girl Who Silenced the World for 5 Minutes dan Bagaimana Tuhan Diciptakan?
Mungkin bagi anak humaniora atau filsafat, topik tersebut termasuk hal yang paling dasar untuk didiskusikan. Tapi bagi penulis, generasi milenial yang memikirkan hal tersebut adalah prestasi tersendiri.
Terakhir, ia menjabarkan permasalahan bangsa ini dari matanya sebagai gadis berusia 14 tahun.
Permasalahan Bangsa di Mata Ayu
Diskusi berawal ketika kami membahas tentang beasiswa ke luar negeri. Ia menjelaskan bahwa salah satu motivasinya ingin kuliah di luar negeri adalah karena merasa muak dengan kondisi masyarakat kita.
Muak karena apa? Di sini Ayu menjelaskan secara panjang dan lengkap, yang akan penulis salin di bawah ini tanpa ada pengurangan atau penambahan kata (kecuali ada kata yang typo):
Tapi mas, bukannya ayu benci sama indonesia, ayu hanya muak dengan masyarakatnya, ayu sama way terkadang berunding tentang berbagai masalah di indonesia, dan kita juga punya tujuan sama untuk lepas dari indo :v
Ayu cinta dengan negrinya ayu, ayu bangga terlahir di indonesia, tetapi semakin tumbuhnya ayu, semakin berkembangnya globalisasi, semakin hilang nilai moral di indonesia, berbagai budaya sudah banyak yang terlupakan, dimana mereka tidak peduli dengan masalah kecil yang bisa berdampak besar, dimana masyarakat umumnya selalu menyalahkan orang lain, atas kesalahan mereka sendiri, ayu jijik?
Nilai moral di indonesia mulai menghilang, dimana banyaknya generasi muda yang terlibat pergaulan bebas, merasa semuanya gampang, dimana mereka dengan gampangnya melakukan hubungan ‘sex’ yang bahkan mereka belum memiliki ikatan, ayu jijik dengan banyaknya manusia yang membuang sampah sembarangan, walaupun kecil tetap ayu kesal, ayu merasa untuk apa mereka pernah bersekolah, tetapi membuang sampah pun gatau dimana tempatnya
Disisi lain ayu gak ingin ninggalin indonesia, ayu bangga dengan perjuangan para pahlawan yang susah susah memperjuangkan kemerdekaan indonesia, tetapi ayu merasa sedih membayangkan para pahlawan menilat generasi penerusnya yang gagal, tapi mungkin bakal sangat bahagia melihat para penerusnya yang berusaha mati matian untuk indonesia .z.
Sebagai tambahan, ia juga mengungkapkan pandangannya tentang perayaan kemerdekaan di Indonesia.
Kita kehilangan semangat kemerdekaan, kita sangat santai akan hal yang terjadi sekarang, kita hanya bergantung pada tokoh tokoh masyarakat, karna yakin mereka bisa melindungi indonesia, tapi bukankah ituh semua gak berguna, untuk mencapai kemerdekaan berabad-abad kita memerlukan perjuangan, tapi apakah sekarang banyak orang yang ingin berjuang, mungkin beberapa tetap berusaha berjuang, tapi pada umumnya, jawabannya adalah tidak, untuk menjaga bangsa inih, diperlukan semangat dan perjuangan masyarakatnya, tidak hanya bergantung pada tokoh tokoh masyarakat
Terakhir, penulis melontarkan pertanyaan apakah keluar dari Indonesia menjadi satu-satunya cara menghadapi permasalahan ini. Ia menjawab:
Jika tambah parah jawabannya iya, tapi bagaimana solusi untuk semuanya ? Sangat susah untuk benerinnya, ayu bukanlah orang yang bisa mendorong orang lain untuk melakukan sesuatu, dan semua orang tidak mungkin bisa diajak bekerja sama bukan ? Dan dari dulu ayu pingin selalu traveling, menetap di berbagai negara, berteman dengan orang orang yang berbeda, mencari suasana baru :v
Tanggapan Penulis
Di sini, Ayu meresahkan masyarakatnya yang membuat kita menjadi tidak nyaman tinggal di sini. Poin utama yang disampaikan olehnya adalah semakin memudarnya nilai moral yang dimiliki masyarakat, terutama generasi mudanya.
Selain itu, kesadaran terhadap lingkungan juga menjadi perhatiannya, alasan mengapa Ayu sangat mengagumi sosok Severn Suzuki-Cullis. Terkait masalah ini penulis sudah pernah menjabarkannya di tulisan sebelumnya.
Perayaan kemerdekaan yang selalu meriah seolah tak memberikan dampak apapun untuk permasalahan ini. Merasa tak bisa membawa perubahan apa-apalah yang membuat Ayu ingin pindah ke luar negeri.
Sewaktu penulis seusia Ayu, sempat terlintas pikiran untuk tinggal di luar negeri juga karena merasa sumpek di sini. Bahkan, penulis membeli sebuah buku berjudul “Tinggal dan Bekerja di Kanada”.
Akan tetapi, dengan seiring bertambahnya usia, penulis menyadari bahwa kita tidak bisa membenci bangsa ini. Sebobrok apapun masyarakatnya, inilah tempat kita lahir dan dibesarkan.
Kalaupun pada akhirnya kita tinggal di luar negeri dengan berbagai alasan, kita akan selalu merindukan untuk pulang karena Indonesia adalah rumah kita bersama.
Penulis tidak menganggap keinginan Ayu untuk tinggal di luar negeri adalah hal yang salah. Alasannya cukup rasional dan penulis menghargai hal tersebut.
Penulis juga bukan tipe orang yang pandai menggerakkan orang banyak untuk berbuat hal baik. Penulis tidak akan sanggup jika disuruh untuk mengubah bangsa ini menjadi lebih baik (bahkan, penulis ragu calon presiden pun mampu mengubah bangsa ini secara total).
Akan tetapi, setidaknya penulis bisa mulai dari diri sendiri. Terkadang, memulai dari diri sendiri pun sudah cukup susah apabila tidak diiringi dengan tekad yang kuat.
Penulis berusaha mengatasinya dengan mengajak orang lain berbuat baik juga, salah satunya ya lewat blog ini. Dengan mengajak orang lain, penulis merasa bertanggungjawab untuk melakukan apa yang penulis tulis.
Penulis yakin semua orang memiliki caranya masing-masing untuk mengubah negara ini menjadi lebih baik, entah melakukan hal sepele ataupun membuat gebrakan-gebrakan yang mampu menggerakkan orang banyak.
Memiliki kesadaran seperti yang dimiliki Ayu pun juga merupakan nilai tambah, karena tidak semua orang memiliki tingkat kesadaran yang sama, bahkan yang lebih tua dari dia.
Kebayoran Lama, 17 Maret 2019, terinspirasi dari diskusi dengan Ayu pada suatu malam
Foto: George Dolgikh