Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 62 Sekolah Gisel
Semua yang kita rencanakan tidak selalu berjalan mulus seperti yang dibayangkan. Aku yang kemarin lusa telah bertekad untuk berbicara dengan Rika mendadak bungkam ketika hari Senin telah tiba. Salah satu alasannya adalah karena Rika sama sekali tidak membalas SMS-ku meskipun aku sudah mengirim beberapa pesan. Mencoba untuk menghubunginya via telepon pun tidak diangkat. Ketika aku masuk ke dalam kelas, Rika telah duduk di bangkunya. Tidak seperti biasanya, ia terlihat murung sehingga aku mengurungkan niat untuk menyapanya. Apalagi, ia seolah-olah sedang memasang tameng transparan agar tidak ada yang menganggunya.
Teman-teman yang lain pun nampaknya sudah membuat semacam perjanjian untuk tidak dekat-dekat dengan kami berdua sementara waktu. Mungkin, muncul sedikit rasa bersalah pada mereka karena telah menggoda kami berdua secara berlebihan. Aku paham mereka sama sekali tidak berniat untuk berbuat jahat. Apa yang mereka lakukan hanyalah sebuah spontanitas karena mendengar sebuah kabar yang bagi mereka luar biasa. Mereka tentu tidak menduga bahwa dampak yang dihasilkan dari godaan mereka sedemikian besar, setidaknya bagiku dan Rika.
Tentu saja pengecualian untuk Kenji. Ia tetap berlaku seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa. Di saat istirahat, ia tetap menghampiri bangkuku dan membawa beberapa topik pembicaraan. Di sisi lain, Rika keluar kelas tanpa sedikit pun melirik ke arahku, walaupun ia sempat membalas sapaan Kenji dengan singkat. Hingga kelas hari ini berakhir, aku belum berhasil mengajak bicara Rika.
***
Sepulang sekolah, Gisel menyambutku dengan sangat ceria. Ia datang dan langsung memeluk tubuhku dengan erat hingga aku sedikit terhuyung. Kenji hari ini tidak ikut ke rumahku karena katanya ada sedikit urusan yang harus diselesaikan. Aku yang sedang dipusingkan dengan masalah Rika pun dibuat penasaran dengannya.
“Ada apa Gisel? Kok mukanya seneng banget?” tanyaku setelah ia melepas pelukannya.
“Gisel punya kabar baik buat kakak. Mana kak Kenji?”
“Kenji pulang duluan, ada urusan katanya. Apa kabar baiknya? Kamu dapat rekomendasi naik ke kelas dua?”
“Hihihi, lebih dari itu kak!”
“Hmmm, apa dong kalau gitu?”
“Gisel direkomendasikan naik ke kelas enam langsung!”
Aku tak kuasa menahan kebahagianku mendengar kabar ini. Tak ada kata yang bisa kuucapkan untuk menjelaskan apa yang kurasakan. Aku menutup mulutku dengan tangan kananku, lantas air mataku tumpah begitu saja. Gisel yang melihatku menangis tiba-tiba jadi ikut menangis. Butuh beberapa menit untuk membuat kami bisa meredakan tangis kami. Untunglah Kenji tidak ada di sini. Aku bisa malu setengah mati apabila ada orang lain yang melihatku menangis karena terlalu bahagia.
“Kenapa Gisel ikut menangis?” tanyaku sembari mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya.
“Habis kakak nangis sih, Gisel kan jadi kebawa suasana.” jawab Gisel dengan sedikit terbata-bata.
“Hehe, maaf ya, kakak kelewat bahagia denger kabar ini. Selamat ya Gisel, kamu pantas mendapatkannya.” sudah agak lama aku terbiasa memanggil Gisel dengan kamu, walaupun masih sering menggunakan kata kau ketika berbicara dengan teman kelas.
“Iya kak, terima kasih buat kakak yang sudah sabar ngajarin Gisel selama ini. Sayang enggak ada kak Kenji di sini.”
“Besok pasti dia ke sini, tenang aja. Gimana kata gurunya?”
“Jadi, kata bu kepala sekolah yang baik hati itu, Gisel kemampuan otaknya sudah setara sama anak kelas enam. Ketika dikasih soal-soal kelas enam, Gisel bisa mengerjakannya dengan mudah. Bahkan, katanya Gisel juga akan diikutkan olimpiade. Guru kelasnya Gisel juga sepakat, ya udah Gisel akan jadi murid kelas enam mulai besok!”
“Selamat ya Gisel. Terus teman-temanmu gimana?”
Nampaknya aku salah melontarkan pertanyaan karena raut wajah Gisel langsung berubah. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya ia mulai bercerita dengan nada yang kembali ceria.
“Sejak awal Gisel enggak dekat-dekat amat dengan teman kelas kok, jadi enggak masalah juga kalau harus berpisah. Apalagi mereka semua juga umurnya di bawah Gisel, jadi enggak bakal bisa jadi temen deket. Moga aja di kelas yang baru ini Gisel bisa punya temen!”
Aku sedikit merasa sedih mendengar penuturan jujurnya. Rasa bersalah muncul karena aku termasuk salah satu orang yang membuat Gisel harus menjalani kehidupan tidak normal seperti ini. Memikirkan hal tersebut, membuatku menumpahkan air mataku lagi. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, namun aku bisa merasakan tangan Gisel memegangi lenganku. Tanpa diucapkan, Gisel seolah paham yang ada di pikiranku.
“Kakak pasti merasa bersalah, kan? Tenang kak, Gisel enggak pernah menyalahkan kakak atau siapapun kok. Gisel menerima hidup Gisel yang seperti ini karena yakin pasti semua ada alasannya. Jadi, kakak enggak perlu merasa sedih ya, Gisel enggak apa-apa kok.”
Aku mengangkat wajahku dan memandang Gisel dengan penuh kasih sayang. Kuusap air mata yang membasahi pipiku, lantas memeluk Gisel dengan erat. Apapun yang terjadi, aku berjanji akan melindungi adikku ini dengan sekuat tenaga. Semua kesalahan yang kuperbuat di masa lalu akan kutebus dengan cara apapun, berapapun harganya. Aku ingin Gisel menjalani hidup normal seperti anak-anak pada umumnya.
***
Ketika waktu makan malam tiba, aku dan Gisel duduk di meja makan untuk menikmati hidangan yang telah tersaji. Kami berdua baru saja masak bersama dengan berbagai menu lezat sebagai perayaan kecil-kecilan atas kenaikan kelas Gisel. Momen berharga ini benar-benar kami nikmati bersama.
“Makanannya enak kak, bikinnya pakai cinta sih.” seloroh Gisel dengan mulut yang penuh makanan.
“Kalau ngomong, makanannya ditelan dulu. Nanti kesedak, loh.”
Mulutku belum tertutup ketika Gisel tiba-tiba terbatuk. Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu. Dengan sigap aku mengambil segelas air putih untuknya.
“Benar kan kata kakak?”
“Iya iya, enggak akan Gisel ulangin lagi.”
“Gisel, kakak mau ngomong sesuatu.”
Gisel langsung memandang ke arahku dengan serius. Ia tahu, gaya bicaraku menandakan ada hal penting yang ingin aku bicarakan. Setelah kejadian tadi sore, aku banyak berpikir tentang masa depan Gisel. Mungkin ia tidak akan suka dengan ide ini, tapi tetap harus aku beritahukan kepadanya.
“Nanti waktu masuk ke SMP, Gisel tinggal sama paman aja, ya.”
“Hah? Kenapa kak? Enggak mau, Gisel maunya tinggal sama kakak.”
“Dengarkan kakak dulu. Di SD, kamu merasa susah dapat teman karena mereka tahu kamu dianggap berbeda dari mereka, bukan? Kalau kamu pindah ke tempat paman, teman-teman sekolahmu enggak akan tahu kalau kamu mendapatkan perlakuan khusus. Mereka akan menganggapmu sama dengan teman-teman yang lain, sehingga kamu bisa menjalani masa sekolah dengan normal. Kakak akan bicara sama paman nanti kalau beliau ke sini.”
“Enggak mau, pokoknya Gisel enggak mau. Gisel enggak mau pindah!”
“Tapi Gisel…”
“Sekali enggak tetap enggak!”
Setelah berteriak cukup kencang, Gisel bangkit dari kursinya dan setengah berlari ke kamarnya. Aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi, tapi kewajiban seorang kakak yang menginginkan hal terbaik untuk adiknya mendorongku untuk tetap melakukannya. Dalam bayanganku jika Gisel tetap bersekolah di sekitar sini, ia akan susah menjalani kehidupan sekolah dengan normal. Ia akan bertemu dengan teman-teman yang satu SD dengannya, lantas teman-temannya tersebut akan menyebarkan informasi terkait lompatan kelas ke teman-teman lainnya. Pasti banyak yang mencibir, bagaimana bisa ada seorang anak yang melewati lima kelas sekaligus. Aku juga yakin, ada yang akan berpikir keluarga Gisel telah menyogok pihak sekolahan agar anaknya bisa diperlakukan istimewa. Hal tersebut tentu akan membuat Gisel menanggung beban yang tidak ringan. Melihat penolakan Gisel yang seperti itu membuatku memikirkan ulang keputusan tersebut.
Aku menghampiri Gisel ke kamarnya, lantas menyalakan lampu kamarnya. Ia sedang berada di atas kasur sembari mendekap gulingnya dengan erat. Suara isak tangis terdengar lirih, namun cukup lantang untuk terdengar di malam yang sunyi ini. Aku tidak langsung mengajaknya berbicara. Aku hanya duduk di pinggir tempat tidur adikku dengan posisi membelakanginya. Biarlah aku menanti dengan sabar hingga Gisel mampu menguasai dirinya.
“Pokoknya, Gisel maunya tinggal sama kakak, Gisel enggak mau tinggal sama paman.” kata Gisel setelah sepuluh menit aku menantinya berbicara.
“Kalau kamu inginnya seperti itu, kakak tidak bisa memaksa Gisel. Kakak cuma minta kamu memikirkannya lagi demi masa depanmu sendiri. Mungkin memang ini terlalu berat untuk anak seusiamu, tapi kakak yakin kamu sudah mampu berpikir dengan matang.” jawabku tanpa menoleh ke arah adikku.
“Gisel juga takut sama Kak Bondan di sana, pasti Gisel di-bully lagi kayak dulu.”
Ah iya, aku melupakan sepupuku yang laknat itu. Tinggal bersama paman berarti tinggal satu atap dengannya. Beberapa tahun lalu, ketika Gisel masih berusia lima tahun dan ibu masih hidup, Bondan pernah berbuat jahil kepada Gisel dengan cara yang sangat keterlaluan. Paman terlalu sabar menghadapi bocah yang seumuranku itu. Ia tak pernah memarahinya sekalipun, senakal apapun perbuatannya. Mengalami perbuatan tidak menyenangkan tentu akan menimbulkan trauma bagi anak sekecil Gisel.
Tapi bukankah aku juga sudah sering memperlakukan Gisel dengan buruk?
“Gisel, bukankah kakak juga sering berbuat kasar ke kamu? Kenapa kamu enggak takut sama kakak?” tanyaku dengan membalikkan badan ke arah adikku sehingga terlihat wajahnya yang kusam karena terlalu banyak menangis.
“Karena kakak satu-satunya keluarga kandung yang Gisel miliki sekarang. Mau sejahat apapun kakak ke Gisel, kakak tetap keluarga Gisel. Dari dulu Gisel juga yakin kalau pada akhirnya kakak akan sayang ke Gisel, dan itu terbukti sekarang.”
Entah sudah berapa kali aku menangis hari ini. Rasanya belum pernah aku meneteskan air mata sesering ini. Kantong mata yang biasanya tak pernah memproduksi seolah telah berubah menjadi pabrik yang terus menerus menghasilkan air dan memaksanya keluar melalui mata. Gisel yang perasaannya memang halus pun jadi kembali ikut menangis.
“Kakak sebenarnya juga ingin Gisel terus di sini buat nemenin kakak. Gisel satu-satunya keluarga kandung yang kakak miliki. Berpisah dengan Gisel tentu sangat berat buat kakak. Kakak cuma ingin yang terbaik buat Gisel buat menebus semua kesalahan kakak. Kalau kamu memang ingin tetap bersekolah di sini, kakak akan menyetujuinya.”
“Gisel sayang kakak.” kata Gisel sambil merangkak ke arahku dan memelukku dengan hangat. Aku mengusap rambutnya secara perlahan dengan penuh kasih sayang. Aku tidak bisa mengingat sejak kapan aku bisa sangat menyayangi adikku yang satu ini. Sejak bertemu Kenji mungkin? Yang jelas, aku sangat bersyukur dengan kehadiran Gisel. Dengan ibu yang memutuskan untuk bunuh diri dan ayah yang pergi entah ke mana, kehadirannya benar-benar aku butuhkan. Dalam hati aku bersumpah, apapun akan aku lakukan demi kebahagiaan Gisel. Siapapun yang berani melukai hatinya, akan berurusan denganku. Aku bersumpah.