Pengalaman

Dilarang Baper di Jakarta

Published

on

Sebagai orang Jawa tulen, pada dasarnya penulis adalah orang yang sensitif alias mudah baper. Mendengar perkataan yang sedikit nyelekit saja bisa dimasukkan di dalam hati.

Penulis menyadari kekurangan ini dan berusaha untuk, setidaknya, menguranginya. Apalagi, sekarang penulis hidup di Jakarta, sebuah kota yang memiliki banyak perbedaan dengan tempat tinggal penulis.

Karakteristik (Sebagian) Orang Jakarta

Orang Jakarta (Info Car Free Day)

Penulis memiliki saudara yang lama tinggal di Jakarta. Biasanya, kami hanya bertemu pada lebaran atau acara keluarga yang lain. Pada pertemuan singkat tersebut, penulis sedikit mengetahui bagaimana karakteristik orang Jakarta.

Yang paling penulis catat di dalam hati adalah bagaimana mereka berbicara. Saudara penulis cenderung berbicara apa adanya dengan intonasi yang cukup tinggi. Mungkin, istilahnya adalah asal nyeblak.

Ini berbanding terbalik dengan orang Jawa yang cenderung halus dan jarang mengungkapkan isi hati. Stereotip orang Jawa memang terkenal lebih suka memendam sesuatu.

Ketika penulis magang di Tangerang, lingkungan kantor semakin memperkuat hal tersebut. Mereka cenderung berbicara tanpa rem dan terkadang terselip kata-kata yang nyelekit.

Penulis pun membuat asumsi, kita tidak akan betah tinggal di Jakarta jika masih baperan. Kita harus menguatkan mental agar tidak mudah stres ketika mendengar perkataan orang.

Memang tidak semua orang Jakarta seperti ini, sehingga tidak ada maksud untuk melakukan generalisir. Contoh di atas hanya menunjukkan bagaimana penulis menyiapkan mental ketika memutuskan untuk merantau ke Jakarta.

Setelah di Jakarta

Pada akhirnya, takdir memutuskan untuk membawa penulis ke Jakarta. Berawal dari ajang Asian Games, penulis akhirnya mendapatkan pekerjaan di Jakarta sehingga harus menentap di sini.

Berbekal pengalaman interaksi dengan orang Jakarta, penulis meyakinkan diri untuk tidak mudah baper. Penulis beranggapan bahwa hidup di sini sama dengan memperkuat mental kita.

Oleh karena itu, penulis merasa sudah tidak se-baper ketika dulu masih sekolah ataupun kuliah. Jikapun ada perkataan yang menyakitkan, penulis tidak akan terlalu ambil pusing. Toh, penulis yakin mereka tidak bermaksud buruk. Hanya bercanda. Mungkin.

Ketika Medok Diledek

Desy JKT48 (Ultimagz)

Salah satu bahan yang sering dijadikan bahan bercanda dari penulis adalah aksen Jawanya yang cukup kental. Maklum, seumur hidup penulis tinggal di Jawa.

Penulis baru menyadari bahwa dirinya medok ketika Asian Games. Teman perempuan satu tim dengan blak-blakan mengatakan cara bicara penulis medok. Dialah yang pertama kali memberi tahu hal ini.

Mungkin ketika awal-awal berada di Jakarta, penulis masih merasa risih ketika logat penulis ditertawakan. Akan tetapi, sekarang penulis merasa baik-baik saja. Bahkan, terkadang justru dimedok-medokkan lebih parah lagi.

Penulis terinspirasi oleh Maria Genoveva Natalia Desy Purnamasari Gunawan alias Desy JKT48. Ia memiliki paras yang cantik dan senyum menawan. Yang istimewa, ia sama sekali tidak malu ketika berbicara menggunakan bahasa ngapak.

Desy berasal dari Cilacap, sehingga aksen bicaranya seperti itu. Katanya, ora ngapak ora kepenak atau dalam bahasa Indonesia berarti tidak ngapak tidak enak.

Ketika membaca kolom komentar di kanal YouTube-nya, penulis merasa sedih. Ada yang berkomentar padahal cantik, tapi ngomongnya bikin ilfeel.

Hanya karena berbeda dengan kita, lantas apakah kita harus merendahkan orang lain seperti itu? Seharusnya, kita bisa menghargai perbedaan mulai dari yang terkecil seperti ini.

Enggak, penulis enggak lagi curhat kok. Teman-teman penulis di Jakarta baik-baik dan sama sekali tidak berniat buruk ketika bercanda tentang logat penulis. Mungkin.

Penutup

Selama satu tahun lebih hidup di Jakarta, penulis telah belajar banyak sekali hal yang mungkin tak akan pernah penulis dapatkan jika tetap tinggal di Malang.

Salah satunya adalah bagaimana cara mengendalikan sifat mudah baper yang penulis miliki. Penulis merasa mental penulis makin terasah selama di sini.

Karena sudah tidak mudah baper, maka penulis tidak boleh mudah tersinggung jika ada teman yang sedang mengajak bercanda. Mau dibilang hitam sekalipun tidak boleh dimasukkan di dalam hati.

Dengan begitu, penulis pun bisa hidup lebih woles dan tidak gampang stres.

 

 

Kebayoran Lama, 3 Oktober 2019, terinspirasi dari pengalaman pribadi, judul terinspirasi dari buku karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Dilarang Nyanyi di Kamar Mandi

Photo by Zun Zun from Pexels

Fanandi's Choice

Exit mobile version