Politik & Negara
Andai Partai Politik Dibiayai Oleh Negara
Dalam banyak kesempatan, Penulis sering melihat Rizal Ramli di acara Indonesia Lawyers Club (ILC). Penulis menyukai gaya bicaranya yang ceplas-ceplos dan to the point, meskipun kesannya sangat mengkritik pemerintahan yang sekarang.
Jika Penulis amati, ada satu poin yang sering ia singgung, termasuk ketika ILC edisi ulang tahun TV One minggu kemarin. Poin tersebut adalah mengenai pembiayaan partai politik oleh negara.
Akar Korupsi
Menurut beliau, salah satu akar dari korupsi di Indonesia adalah budaya money politic yang seolah tak ada obatnya. Mau nyaleg atau apapun, pasti butuh keluar duit milyaran rupiah.
Hal ini membuat biaya politik kita sangat tinggi. Ujung-ujungnya, yang terpilih akan memikirkan cara agar uang yang telah dikeluarkan bisa kembali, kalau bisa lebih ya tambah bagus. Ini menjadi lingkaran setan yang tak terputus.
Salah satu cara mengumpulkan dana itu, kata Rizal, ya dengan metode colong anggaran. Estimasi beliau menyebutkan uang negara yang disalahgunakan mencapai 50 triliun setiap tahunnya.
Meskipun tidak disinggung oleh Rizal, Penulis menangkap ada pesan tersirat bahwa partai membutuhkan dana untuk biaya operasional harian. Tidak mungkin mereka hanya bergantung dari iuran anggota semata.
Hal ini membuat mereka membuka tangan bagi pengusaha-pengusaha untuk menjadi donatur mereka. Timbal baliknya, para pengusaha ini akan mendapatkan berbagai “kemudahan” jika partai yang didukung menang. Penulis kira sudah banyak contohnya.
Apalagi, sekarang partai politik juga dilarang memiliki badan usaha sebagai sumber pemasukan dana. Alhasil, KKN pun semakin merajarela dan tak terbendung.
Dibiayai Oleh Negara
Di beberapa negara seperti Belanda, partai politik dibiayai oleh negara sehingga para calon bisa fokus menjual ide mereka. Estimasi Rizal menyebutkan kita hanya perlu menganggarkan 6 triliun setiap tahunnya.
Secara teori, ada banyak manfaat lain dengan adanya pembiayaan dari negara ini. Contohnya, pengawasan anggaran atau sistem audit yang lebih mudah, mengurangi gap antara partai besar dan kecil, dan lain sebagainya.
KPK pun mendukung usulan ini, mengingat uang adalah sumber masalah di dunia perpolitikan. Partai politik juga tak perlu pusing mencari dana untuk mengasapi dapurnya.
Dari beberapa sumber yang Penulis baca, partai-partai banyak yang mendukung konsep ini, walaupun ada beberapa partai yang juga meragukannya.
Hanya saja, nampaknya realisasinya masih sangat jauh mengingat akan sulit jika benar-benar hanya mengandalkan APBN semata. Entah bagaimana formula yang paling pas untuk masalah ini.
Apakah dengan pembiayaan partai politik otomatis jumlah KKN akan berkurang? Belum tentu, karena selain tingginya money politic, KKN terjadi karena adanya niat dan kesempatan.
Penutup
Penulis mengakui bahwa dirinya adalah orang yang awam terhadap politik. Walaupun begitu, Penulis memutuskan untuk tidak apatis dan mengikuti perkembangan yang ada.
Caranya adalah dengan membaca berita dan menonton tayangan-tayangan seperti ILC jika topiknya menarik. Menulis artikel ini juga menjadi salah satu sarana kepedulian Penulis terhadap perkembangan dunia politk kita, meskipun dampaknya sangat teramat kecil.
Terkait masalah pembiayaan partai politik oleh negara, tidak banyak komentar yang bisa Penulis berikan. Pasti dibutuhkan banyak kajian dan penelitian sebelum membuat keputusan seperti itu.
Setidaknya, usulan dari Rizal Ramli tersebut bisa dicatat. Siapa tahu, jika diimplementasikan akan membawa dampak positif untuk negara kita tercinta.
Kebayoran Lama, 17 Februari 2020, terinspirasi dari pidato Rizal Ramli di acara Indonesia Lawyers Club
Foto: Stars Insider