Renungan

Bagaimana Kalau Semua Ini Tak Akan Berakhir?

Published

on

Kita semua tentu berharap kalau pandemi Corona ini akan segera berakhir secepatnya. Kita sudah merindukan kehidupan normal seperti dulu lagi.

Yang memiliki usaha ingin bisnisnya berputar lagi. Yang terpisah dari keluarga bisa berkumpul kembali. Yang telah lama libur sekolah ingin beraktivitas normal seperti dulu.

Tak ada yang tahu kapan Corona ini akan benar-benar lenyap dari muka bumi. Hanya Tuhan yang tahu. Para ahli hanya bisa membuat perkiraan-perkiraan berdasarkan bukti empiris.

Pertanyaannya, bagaimana seandainya semua ini tak akan berakhir?

***

Apa yang mengerikan dari Corona ini adalah penyebarannya yang begitu mudah. Jika kita memiliki imunitas tubuh yang kuat, kemungkinan besar kita bisa sembuh sendiri.

Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai pemerintah dunia adalah lockdown atau kalau di Indonesia disebut sebagai PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Intinya, interaksi fiksi manusia harus benar-benar dibatasi. Social distancing. Kita harus jaga jarak satu sama lain untuk meminimalisir potensi menularkan dan ketularan virus.

Ketika angka Corona tiap hari makin bertambah secara signifikan, kesadaran untuk tinggal di rumah menjadi begitu tinggi. Setidaknya, itu yang terlihat di negara kita.

Hanya saja dari yang Penulis amati, makin ke sini angka-angka yang tiap sore diumumkan oleh pemerintah hanya tinggal statistik semata. Masyarakat sudah mulai berani beraktivitas seperti biasa, meskipun masih menggunakan masker dan lain sebagainya.

Fakta inilah yang membuat Penulis khawatir kalau Corona tidak akan berakhir, setidaknya dalam waktu dekat.

***

Dari beberapa berita yang Penulis baca, kurva penderita mulai melandai. Jumlah yang terinfeksi tiap harinya, setidaknya di Jakarta, mulai berkurang secara bertahap.

Di satu sisi, ini merupakan berita baik. Strategi yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi terbukti efektif. Kita bisa menekan penularan dengam pembatasan ketat.

Di sisi lain, ini juga bisa menjadi berita buruk. Kita bisa saja jadi meremehkan penyebaran Corona dan mulai pergi ke tempat yang ramai.

Penulis khawatir, kurva yang sudah landai ini akan kembali memuncak jika kita tidak bisa sabar dan menahan diri. Usaha yang telah kita lakukan selama ini akan menjadi sia-sia.

Masalah ini semakin diperparah dengan berbagai kebijakan blunder dari pemerintah yang meresahkan masyarakat. Sudah tidak mendapatkan kepastian, dibuat bingung pula.

“Kekompakan” antara pemerintah dan masyarakatnya ini sangat berpotensi memperpanjang masa edar pandemi Corona di Indonesia.

***

Jika membandingkan diri sendiri dengan orang lain, Penulis merasa bersyukur dengan keadaan yang sekarang meskipun tidak bisa pulang dan tidak tahu kapan bisa pulang.

Setidaknya, Penulis masih memiliki pekerjaan dengan gaji tetap tanpa pemotongan. Penulis masih ditemani adik sehingga stres bisa tereduksi. Penulis masih memiliki berbagai sarana hiburan untuk membunuh waktu.

Merasa lelah dan tertekan itu pasti. Manusiawi. Penulis biasa mengusirnya dengan mengingat orang lain yang keadaannya lebih susah, entah ini etis atau tidak.

Contohnya adalah teman Penulis yang sama-sama tidak bisa pulang, namun hanya sendirian di kos. Penulis juga mengingat banyaknya perusahaan yang harus merumahkan karyawannya sehingga banyak yang kehilangan sumber pendapatan.

Banyak orang yang ujiannya jauh lebih berat dari yang Penulis terima. jauh jauh lebih berat. Penulis tidak boleh terlalu banyak mengeluh.

Memperbanyak rasa syukur dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak stres wajib Penulis lakukan di masa-masa seperti ini. Terus menjalani kontak dengan orang melalui smartphone menjadi cara lainnya.

Hanya saja, mau sampai kapan seperti ini?

***

Penulis sudah melakukan refund tiket pesawat mudik karena yakin tidak akan bisa pulang ketika lebaran nanti. Untuk pertama kali, Penulis merayakan Hari Raya Idul Fitri tanpa berkumpul dengan keluarga secara lengkap.

Penulis sejak beberapa minggu yang lalu sudah menyiapkan mental untuk menghadapi hal tersebut. Tidak apa-apa, pasti ada kesempatan lain untuk berkumpul kembali.

Tapi kapan?

Berdasarkan prediksi dan feeling Penulis, paling cepat bulan Agustus. Itupun kalau pemerintah dan masyarakat kita kompak mendisiplinkan diri agar Corona tidak semakin menyebar.

Jika tidak, bisa saja sampai akhir tahun Penulis harus bertahan di kos bersama adik. Belum dua bulan saja sudah begini rasanya, entah bagaimana jika harus hidup seperti ini hingga akhir tahun.

Kalau akhirnya Penulis bisa pulang, apakah Penulis bisa berkumpul dengan keluarga dan teman-teman seperti biasa? Ataukah Penulis harus melakukan isolasi mandiri terlebih dahulu?

Banyak ketidakpastian yang akan dihadapi selama beberapa bulan mendatang, menjadikannya tantangan tersendiri untuk kita semua.

***

Bagaimana seandainya Corona tidak akan benar-benar lenyap untuk selamanya? Jelas tidak ada yang menginginkan hal tersebut. Kekacauan bisa terjadi di mana-mana.

Kehidupan tidak normal kita selama pandemi akan menjadi hal normal yang baru. Perputaran roda ekonomi akan mengalami pergeseran yang drastis dan masih banyak hal lain yang akan berubah.

Bisakah kita hidup berdampingan dengan Corona seperti kita hidup berdampingan dengan flu? Entahlah, Penulis bukan orang medis, tidak bisa berpendapat.

Penulis tidak bisa membayangkan lebih banyak lagi. Pertanyaan yang menjadi judul terlalu mengerikan untuk menjadi kenyataan.

Semoga saja, kita semua bisa melewati badai ujian yang teramat besar ini.

 

 

 

Kebayoran Lama, 9 Mei 2020, terinspirasi dari pemikiran Penulis seperti biasanya, overthinking

Foto: The Globe and Mail

Fanandi's Choice

Exit mobile version