Sosial Budaya

Apa yang Salah dengan Privilege?

Published

on

Ketika melihat kesuksesan orang lain, akan muncul komentar beragam. Ada yang menjadi terinspirasi, ada yang mengagumi perjuangannya, tak sedikit yang mencibirnya.

Akan tetapi ketika ternyata kesuksesan tersebut dikarenakan karena yang bersangkutan memiliki privilege atau keistimewaan, kebanyakan komentar bernada sama: oalah pantes aja sukses, la dia gini gini gini.

Salahkah memiliki privilege?

Manusia dan Privilege yang Dimiliki

Maudy Ayunda (Indonesia Inside)

Penulis menyadari bahwa tidak semua orang memiliki privilege seperti yang didapatkan oleh orang lain. Namun, hal tersebut tidak bisa menjadi dasar kita julid ke orang yang memiliki privilege.

Tidak usah mengambil contoh rektor termuda di kampus di mana ayahnya menjadi pemegang saham terbesar, penulis akan mengambil contoh Maudy Ayunda.

Ketika ia mengalami dilema kelas tinggi, ada saja yang berpendapat ia bisa seperti itu karena berbagai privilege yang dimiliki. Ia lahir dari keluarga kaya, punya orangtua yang mendukungnya, hingga punya jenjang karir di dunia hiburan yang terbilang mulus.

Maudy memang memiliki banyak privilege. Lantas, salahnya di mana? Karena ia memamerkan kesuksesannya sehingga menimbulkan kecemburuan bagi yang tidak memiliki privilege? Penulis rasa tidak.

Apa yang Salah dengan Privilege?

Kesuksesan para pemegang privilege ini menurut penulis menjadi bukti bahwa mereka bisa memanfaatkan keistimewaan yang mereka dapatkan.

Banyak yang memiliki privilege, namun justru terjerumus ke jalan yang salah dan terlena dengan kefanaan yang dimiliki. Ada banyak contohnya, penulis tidak perlu menyebutkannya secara detail.

Tidak ada yang salah dengan privilege. Mencemburuinya pun tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan kita, apalagi kalau kita sampai mencaci-maki orang-orang yang memiliki privilege.

Yang penulis khawatirkan, orang-orang sering menggunakan privilege orang lain sebagai pembenaran dirinya. Mereka merasa tidak akan bisa sesukses mereka yang memiliki privilege dan menyalahkan keadaan.

Padahal ada banyak contoh kesuksesan yang bisa diraih tanpa privilege sekalipun. Lantas, mengapa hanya mengambil contoh dari mereka yang punya privilege?

Dari yang penulis amati, kalau ada kesuksesan yang diraih oleh orang tanpa banyak privilege, komentar tidak akan terlalu ramai. Tapi jika ada yang sukses karena bantuan privilege, everybody loses their mind!

Lagipula, kita tidak pernah benar-benar tahu bagaimana kehidupan orang lain yang hanya kita kenal melalui media. Lantas, mengapa kita jadi sotil dan memberikan justifikasi seenak udel?

Pasti ada pertolongan dari sana sini, tapi semuanya tergantung kepada diri kita sendiri. Banyak faktor eksternal yang akan mempengaruhi kehidupan kita, tapi semuanya akan kembali ke diri kita sendiri.

Kalau memang memiliki privilege, ya disyukuri. Buktikan kalau kita tidak sekadar menumpang privilege tersebut, tapi memang bisa memanfaatkan privilege tersebut sebaik mungkin.

Yang salah itu jika kita sudah memanfaatkan privilege, lantas mengklaim kesuksesan karena kerja keras kita semata. Kalau seperti itu tentu saja membuat orang yang melihatnya jengkel.

Apalagi, kalau mereka berusaha menjadi motivator dan menutupi privilege yang selama ini mereka dapatkan. Bertambahlah kejengkelan tersebut. Sutradara “yang tembus Hollywood” menjadi buktinya.

Penutup

Penulis merasa dirinya sebagai orang yang diberi banyak privilege. Penulis lahir dengan fisik yang sempurna, dibesarkan oleh keluarga yang luar biasa, memiliki lingkungan pergaulan yang baik, sampai bisa mengambil ilmu di sekolah negeri hingga jenjang universitas.

Penulis juga lahir dalam kondisi ekonomi yang cukup, meskipun ketika SMP hanya mendapatkan uang saku bulanan Rp60 ribu dan naik menjadi Rp165 ribu ketika SMA. Itu sudah termasuk uang bensin dan pulsa.

Penulis berkempatan untuk belajar di Kampung Inggris, berkesempatan untuk menjadi volunteer Asian Games, memiliki keluarga yang bersedia menampung di Jakarta hingga mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan.

Hal tersebut membuat penulis merasa bertanggung jawab atas segala privilege yang telah diberikan tersebut. Penulis merasa berkewajiban untuk bisa memanfaatkannya sebaik mungkin, baik untuk diri sendiri ataupun orang lain.

Pantas aja nulis gini, mong dirinya sendiri dapat privilege!

Mungkin ada pembaca yang berpendapat seperti itu, tidak apa-apa. Toh, ketika lahir kita tidak bisa memilih akan dilahirkan sebagai anak orang kaya, memiliki orangtua yang lengkap, lahir dengan agama apa, dan lain sebagainya.

Daripada mencari-cari privilege kesuksesan orang sehingga kita bisa beralasan tidak bisa seperti mereka, kenapa tidak kita ambil saja yang bisa kita pelajari? Kalau misalnya tidak ada, ya sudah abaikan saja.

Seandainya bisa, kita akan memilih untuk memiliki privilege bukan?

 

 

Kebayoran Lama, 15 November 2019, terinspirasi dari banyaknya orang yang mencibir privilege yang dimiliki oleh orang lain

Foto:

Fanandi's Choice

Exit mobile version