Sosial Budaya
Menyelamatkan Selera Musik
Beberapa waktu lalu, Penulis melihat story Instagram teman yang isinya cukup menggelitik. Ceritanya, teman Penulis ini sedang memberi tahu 3 daftar penyanyi atau grup musik terbaik versinya.
Pada daftar tersebut, teman Penulis meletakkan seorang penyanyi Indie yang namanya dirahasiakan di urutan nomor dua. Ternyata, urutan tersebut menimbulkan protes dari salah seorang follower-nya.
Ia mengeluarkan beberapa argumen yang intinya mengharuskan penyanyi Indie tersebut berada di nomor satu. Teman Penulis berusaha membalasnya dengan santai.
Ujung-ujungnya, follower tersebut mengatakan bahwa dirinya hanya ingin menyelamatkan selera musik teman Penulis. Lah, sejak kapan selera musik kita bisa diatur oleh orang lain? Hal ini menimbulkan kesan tersendiri bagi Penulis.
Penulis kira kejadian tersebut adalah kejadian langka yang jarang terjadi. Penulis yakin kalau penikmat musik Indie tidak banyak yang seperti itu.
Tapi kemarin, di postingan Instagram Si Juki, sang author juga membuat sketsa komik dengan tema yang serupa! Bahkan kalimatnya sama: menyelamatkan selera musik!
Penulis jadi teringat sebuah tweet yang sudah agak lama, di mana ada warga Twitter yang “menyombongkan” penyanyi Indie favorit mereka sembari merendahkan orang-orang yang enggan mendengarkannya.
Kalau sudah seperti ini, berarti memang ada sesuatu yang salah.
Selera Musik Hak Setiap Individu
Sepengertian Penulis, yang namanya selera itu tergantung dari masing individu. Bisa karena pengaruh lingkungan, mendapatkan “hidayah”, bahkan kerap tanpa alasan yang pasti.
Begitu pun dengan musik. Apalagi, musik memiliki diversitas genre yang banyak sekali. Ada musik rock, pop, dangdut, keroncong, reggae, jazz, classic, K-Pop, EDM, dan lain sebagainya.
Penulis sendiri termasuk orang yang mendengarkan berbagai jenis musik. Di iTunes Penulis, ada Linkin Park, Girls’ Generation, Chrisye, Michael Buble, Eminem, Queen, Steve Aoki, Justin Bieber, Mozart, sampai soundtrack anime.
Penulis tidak pernah mempermasalahkan pilihan musik orang, walaupun dulu masih suka nge-judge beberapa penyanyi atau grup band yang tidak disukai. Selera adalah hak dari setiap individu.
Nah, oleh karena itu Penulis merasa heran kalau ada orang-orang yang sampai menganggap selera musiknya paling tinggi sembari merendahkan orang lain.
Tak cukup di situ, tak jarang mereka juga memaksakan selera mereka ke orang lain dengan membeberkan sederet alasan mengapa kita harus mendengarkan lagu mereka.
Manusia itu kan diciptakan berbeda-beda. Kembar identik aja pasti memiliki perbedaan. Selera musik pun pasti akan berbeda tiap individunya, kenapa harus dipermasalahkan?
Jujur saja, kita yang bukan penggemar musik Indie ini tidak merasa sedang butuh diselamatkan. Kita merasa enjoy-enjoy aja dengan selera musik yang kita dengarkan.
Kalau pun mereka menganggap selera musik kita sampah, ya biar saja. Toh, kita mendengarkan dengan telinga kita sendiri, bukan telinga mereka. Kenapa harus pusing mikirin hidup orang lain, sih?
Penutup
Untuk saat ini, Penulis memang belum bisa menjadi penggemar musik Indie karena pada dasarnya menyukai musik yang keras. Apalagi, Penulis tipe orang yang menikmati dentuman musiknya, bukan syahdu liriknya.
Walaupun begitu, Penulis memiliki banyak teman yang menjadi penikmat musik Indie. Terkadang, Penulis juga mendengarkan musik-musik yang mereka mainkan melalui speaker dan bisa ikut menikmatinya.
Teman-teman Penulis tersebut juga tidak pernah merasa selera musik mereka adalah yang terbaik, sehingga Penulis yakin hanya oknum-oknum tertentu yang terlalu berlebihan dalam menyukai musik Indie.
Menghargai perbedaan itu dimulai yang terkecil. Kalau kita tidak bisa menghargai selera musik orang lain, bagaimana bisa berharap kita akan menghargai untuk sesuatu yang lebih besar?
Kebayoran Lama, 2 Maret 2020, terinspirasi dari anak Indie yang merasa selera musik mereka adalah yang terbaik
Foto: Spencer Imbrock