Sosial Budaya

Polemik Mengucapkan Selamat Natal

Published

on

Kemarin sekitar jam 7 malam, salah seorang teman dari Karang Taruna bertanya kepada penulis secara sopan. Seperti yang sudah bisa ditebak, pertanyaannya adalah benarkah Islam melarang umatnya mengucapkan selamat natal.

Penulis pun berusaha menjawabnya sesuai dengan kemampuannya dan ia pun bisa menerimanya dengan baik. Diskusi lintas agama pun terjadi dengan hangat setelah itu.

Kejadian kecil tersebut memantik rasa penasaran penulis. Mengapa setiap tahun polemik mengucapkan selamat natal selalu menjadi biang keributan di masyarakat kita?

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Penulis tidak pernah belajar agama secara mendalam di sebuah pesantren ataupun mengikuti pengajian secara rutin. Paling banter jadi jamaah di YouTube.

Ketika ada sebuah pertanyaan yang membuat penulis penasaran, biasanya penulis akan mencari jawabannya melaui video-video di YouTube ataupun bertanya kepada teman yang ilmunya lebih tinggi dari penulis.

Salah satunya termasuk hukum mengucapkan selamat natal. Menulis mencoba untuk mendengarkan beberapa pendapat dari ustaz yang berbeda-beda.

Hasilnya? Secara garis besar pendapat memang terbagi dua, yang melarang dan membolehkan. Masing-masing memberikan dalil dari Alquran ataupun Hadis.

Bagi yang melarang, dalilnya adalah ketika kita mengucapkan selamat natal artinya umat Islam mengakui bahwa Yesus (atau Isa di Islam) lahir pada tanggal tersebut. Ini sudah masuk ke ranah aqidah sehingga tidak boleh diucapkan.

Bagi yang membolehkan, dalilnya adalah kewajiban kita untuk berbuat baik kepada seluruh manusia termasuk yang berbeda keyakinan. Kalau mau pakai logika, tidak mungkin kita mengucapkan selamat natal lantas kita menjadi kafir.

Dengan adanya dua pendapat yang berbeda, masyarakat harusnya diperkenankan untuk memilih mana yang paling mereka yakini benar. Hal ini juga sering terjadi misalnya pada penentuan hari raya Idul Fitri ataupun qunut saat sholat Shubuh.

Masalahnya, polemik ini seolah terus diulang di masyarakat tiap tahunnya tanpa bisa memetik pelajaran.

Polemik Mengucapkan Selamat Natal

Dalam menentukan sebuah hukum, para ustaz maupun ulama pasti memiliki dasar hukum yang berasal dari Alquran, Hadis, ataupun sumber-sumber lainnya.

Beliau-beliau ini tidak asal-asalan menentukan hukum, bukan juga karena sensi dengan agama lain. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita menghormati mereka meskipun kita tidak sepakat dengan pendapatnya.

Sayangnya, yang penulis lihat justru sebaliknya. Contoh, ketika menonton video-video yang menjelaskan dasar hukum mengucapkan selamat natal, isi komentarnya justru menghujat yang sampai menyinggung ranah pribadi.

Mereka membalas argumen tersebut dengan menggunakan logika atau dasar kemanusiaan. Penulis ini ilmu agamanya masih rendah, tapi paham kalau yang namanya agama juga harus berdasarkan dalil, bukan logika manusia semata.

Sebaliknya pun seperti itu, sama saja. Tokoh-tokoh agama yang membolehkan pengucapan selamat natal ramai-ramai didoakan agar segera tobat. Emang, yang menyuruh tobat ini udah sesuci apa, sih?

Inilah yang penulis anggap menjadi penyebab mengapa polemik mengucapkan selamat natal selalu berulang setiap tahun: tidak adanya rasa saling menghargai satu sama lain.

Perang Status di Dunia Maya

Di dalam Islam, kita memang dianjurkan untuk menyiarkan Islam walaupun hanya satu ayat. Mungkin ini yang menjadi motivasi orang-orang gemar membuat status dengan ayat Alquran yang menjadi dasar pelarangan pengucapan selamat natal.

Hanya saja, menurut penulis hal tersebut kurang elok jika dilakukan di media sosial. Kalau di dalam internal Islam mungkin masih bisa diterima, tapi kan pengguna media sosial terdiri dari berbagai macam orang.

Bisa jadi, ada teman-teman kita yang Nasrani atau Katolik merasa tersinggung dengan status tersebut dan akibatnya terjadi perselisihan yang kurang mengenakan.

Kalau semacam MUI ataupun tokoh agama, tugas mereka memang meyiarkan ajaran agama Islam sehingga wajar jika mereka memberi tahu apa dasar hukum untuk suatu masalah tertentu.

Toh, kita nanti akan dimintai pertangungjawaban masing-masing mengenai pilihan yang kita yakini benar.

Intoleran?

Bagi yang meyakini boleh hukumnya mengucapkan selamat natal, juga jangan nge-judge orang Islam yang tidak berkenan mengucapkannya dengan sebutan tidak toleran. Mereka juga punya landasan hukum sendiri untuk tidak melakukannya.

Islam sendiri sangat toleran mengenai ibadah umat agama lain. Kita dilarang untuk mengganggu proses ibadah mereka. Kita diharamkan menghalang-halangi mereka untuk menjalankan keyakinannya.

Kita diwajibkan untuk menghargai mereka menjalani kegiatan-kegiatan keagamaan mereka. Kita juga dilarang memaksa kaum minoritas untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh kaum mayoritas. Ini adalah toleransi.

Memang pada kenyataannya, di Indonesia masih banyak kejadian intoleran di mana umat agama lain dihalang-halangi untuk melakukan ibadahnya. Ini menjadi PR untuk kita semua.

Penutup

Penulis sendiri sampai saat ini belum pernah mengucapkan selamat natal. Bukan karena tidak punya teman non-muslim, tapi memang lebih meyakini pendapat yang melarang.

Walaupun begitu, penulis menghargai mereka yang mengucapkan selamat natal. Penulis tidak akan mengafirkan orang lain seenak udelnya sendiri. Teman-teman penulis pun bisa memahami hal ini.

Intinya, yang merasa berat ya enggak usah mengucapkan. Yang merasa boleh-boleh saja ya silakan. Kalau kita bisa saling menghargai satu sama lain, niscaya negeri ini akan damai…

 

 

NB: Video ceramah para ustaz bisa ditonton melalui link yang ada di bawah ini

Melarang: Buya Yahya, Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Adi Hidayat, Felix Siauw, Abdul Somad

Membolehkan: Habib Ali Al-Jufri, Quraish Shihab, Gus Miftah

 

Kebayoran Lama, 25 Desember 2019, terinspirasi setelah salah seorang teman di Karang Taruna bertanya kepada penulis tentang hukum mengucapkan selamat Natal di Islam.

Foto: Cris DiNoto

Fanandi's Choice

Exit mobile version