Sosial Budaya
Secangkir Toleransi
Beberapa tahun terakhir, bisa dibilang kata yang paling sering diributkan adalah toleransi. Seringnya, keributan terjadi di akhir tahun. Pemicunya? Apalagi kalau bukan hukum umat muslim mengucapkan selamat natal ke umat nasrani.
Penulis juga merasa heran, kenapa permasalahan ini muncul terus. Apa enggak capek bertengkar untuk hal yang sama setiap tahun?
Tapi kali ini Penulis tidak akan membahas tentang hukum mengucapkan selamat natal. Penulis ingin berfokus pada kata toleransi.
Makna Toleransi
Apa itu toleransi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleransi memiliki makna sifat atau sikap toleran. Lantas, makna dari kata toleran adalah:
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri
Atau dalam bahasa sederhananya adalah dapat menghargai perbedaan, apapun bentuknya. Kita tidak menghakimi perbedaan yang diyakini atau dilakukan oleh orang lain.
Dalam konteks mengucapkan selamat natal, menurut Penulis toleransi bukan berarti semua umat muslim harus mengucapkannya. Toleransi lebih dari sekadar ucapan selamat.
Tidak perlu jauh-jauh, kita tilik dari sesama umat muslim terlebih dahulu. Ada ulama yang mengatakan tidak boleh mengucapkan selamat natal, ada yang membolehkan. Masing-masing memiliki dalilnya masing-masing.
Jika kita memang memiliki sikap toleran, kita akan saling menghargai pendapat masing-masing. Yang membolehkan tidak menghina yang melarang, begitu pula sebaliknya.
Yang sering meributkan masalah ini sebenarnya umat muslim sendiri. Mong orang nasraninya sebenarnya pada woles mau dikasih selamat atau tidak.
Analogi Secangkir Minuman
Analogi toleransi yang paling mudah adalah pilihan minuman di sebuah kafe. Penulis menyukai secangkir teh, sedangkan teman Penulis menyukai secangkir kopi. Penulis tidak menyukai pahitnya kopi, sedangkan teman Penulis masih bisa menikmati hangatnya teh.
Toleransi itu, teman Penulis bisa menghargai Penulis yang hanya bisa minum teh. Teman Penulis tidak akan memaksa Penulis untuk meminum kopi yang bisa membuat Penulis sakit perut.
Sebaliknya pun seperti itu. Meskipun Penulis tidak menyukai kopi, Penulis tidak akan menghina-hina kopi sebagai minuman yang tidak enak. Penulis akan menghargai teman Penulis yang bisa menikmati kopi.
Bahkan sesama penikmat teh pun harus bisa saling menghargai pilihannya masing-masing. Yang suka Earl Grey Tea harus bisa menghargai orang yang suka English Breakfast Tea.
Begitu lah toleransi, bisa menghargai pilihan masing-masing tanpa berusaha menjatuhkan dan memaksakan pilihan kita ke orang lain.
Toleransi itu bukan mencampuradukkan teh dan kopi dan satu gelas. Rasanya tentu akan jadi tidak karuan, apalagi kalau mencampurnya dengan sembarangan.
Penutup
Entah sampai kapan polemik toleransi ini akan terus dipermasalahkan. Penulis berharap kita akan segera memiliki kesadaran kalau kita tidak bisa seperti ini terus.
Jika kita bisa hidup dengan saling menghargai pilihan masing-masing, toh kehidupan bernegara pun akan menjadi lebih damai dan tenang, kan?
Toleransi memang memiliki batasan-batasan tertentu, bisa berupa undang-undang, hukum agama, maupun adat istiadat.
Jika tiba-tiba ada agama baru yang tiba-tiba menjadikan idol Korea sebagai Tuhannya, tentu kita tidak bisa tinggal diam melihat kesesatan tersebut. Justru jika tidak mengingatkan kesalahan tersebut, kita bisa dianggap salah karena membiarkan sesuatu yang buruk terjadi.
Sebenarnya, negara kita ini sudah lama hidup berdampingan penuh toleransi, walau diakui masih banyak kasus-kasus yang tidak mencerminkan hal tersebut.
Entah mengapa akhir-akhir ini berubah menjadi seperti ini…
Lawang, 28 Desember 2020, terinspirasi karena kata toleransi kerap ramai dibicarakan menjelang akhir tahun
Foto: Nathan Dumlao
You must be logged in to post a comment Login