Buku
Anak-Anak Muara Pada Si Anak Badai
Salah satu author buku favorit penulis adalah Tere Liye. Novelnya (super) ringan, namun memiliki kandungan pesan-pesan moral yang lumayan menggigit.
Sayangnya, entah mengapa novel-novel terbaru buatannya terasa ada yang kurang. Berbeda dengan novel-novelnya yang lama seperti Rindu. Novel tersebut berhasil membuat penulis tertegun dan takjub.
Termasuk salah satu novel terbarunya yang penulis selesaikan beberapa waktu lalu, Si Anak Badai.
Apa Isi Buku Ini?
Pada awalnya, penulis sama sekali tidak menyadari kehadiran novel terbaru dari Tere Liye ini. Alasannya, buku ini terbit bersamaan dengan serial Anak-Anak Mamak yang berubah judul.
Sewaktu menghitung, penulis merasa heran kenapa jumlahnya ada enam. Padahal, serial Anak-Anak Mamak hanya terdiri dari empat buku, yakni Amelia, Burlian, Eliana, dan Pukat.
Di sana lah penulis menyadari bahwa ada dua buku baru yang belum penulis baca. Setelah meneliti satu per satu, penulis membeli novel Si Anak Badai dan Si Anak Cahaya.
Novel ini berpusat pada kehidupan anak-anak yang tinggal di kampung Muara Manowa. Tokoh utamanya adalah Zaenal bersama tiga kawan karibnya, yakni Awam, Malim, dan Ode.
Mereka gemar bermain di pelabuhan demi menanti kedatangan kapal-kapal yang kerap melempari mereka uang koin. Para penumpang kapal pun sudah hafal dengan kebiasaan ini.
Zaenal tinggal bersama kedua orangtuanya dan kedua adiknya. Bapaknya merupakan seorang petugas kelurahan, sedangkanya mamaknya seorang penjahit.
Konflik mulai muncul pada kehidupan meraka yang damai ketika ada rencana pembuatan pelabuhan di muara tersebut. Masyarakat yang tinggal di sana akan digusur dan dipindahkan ke tempat lain.
Tentu saja mereka semua menolak karena merasa tanah tersebut adalah milik mereka secara turun-temurun. Mereka tidak akan mau dipindah dengan imbalan apapun.
Penolakan ini membuat pihak yang ingin membangun pelabuhan berang dan melakukan apapun yang bisa membungkam masyarakat Muara Manowa.
Seperti kisah superhero pada umumnya, Zaenal dan kawan-kawan (yang masih kelas 6 SD) berhasil menemukan cara agar pembangunan pelabuhan tersebut dapat dihentikan (sigh).
Pendapat Penulis Tentang Buku Ini
Biasanya, penulis menyukai novel-novel Tere Liye yang membahas permasalahan sosial. Bahkan, penulis pernah menyebutkan bahwa sebaiknya Tere Liye lebih banyak membuat novel dengan tema ini.
Sayangnya, penulis merasa kurang puas dengan novel ini. Penulis merasa novel ini bukan standar dari Tere Liye. Alurnya berjalan lambat dengan adanya adegan yang kurang penting seperti keinginan Malim untuk berhenti sekolah.
Meskipun berjalan lambat, ending-nya terasa terburu-buru, seperti keluhan penulis pada novel Pergi. Jika permasalahan gusur-menggusur bisa diselesaikan semudah di novel ini, rasanya aktivis HAM akan lebih banyak menganggur.
Bahasa yang digunakan ringan seperti biasa, sehingga bisa dibaca oleh semua kalangan. Pesan moralnya juga banyak yang bisa dipetik, terutama yang menyangkut tentang kekeluargaan dan persahabatan.
Yang menarik dari novel ini adalah penggambaran latar tempatnya yang lumayan kuat. Penulis bisa membayangkan seperti apa kampung Muara Manowa secara detail. Tapi secara umum, penulis kurang puas dengan novel ini.
Nilainya: 3.5/5.0
Kebayoran Lama, 20 Oktober 2019, terinspirasi setelah menamatkan novel Si Anak Badai karya Tere Liye