Buku
Setelah Membaca Berani Tidak Disukai
Hidup dengan ekspetasi orang lain itu tidak menyenangkan. Kita akan merasa tidak bisa melangkahkan kaki sesuai dengan keinginan kita sendiri.
Salah satu contoh kita terkekang dengan keinginan orang lain adalah berusaha menyenangkan semua orang, baik dari pihak keluarga, lingkaran pertemanan, hingga kolega kantor.
Hal ini sering Penulis lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal jika direnungi, rasanya hampir mustahil untuk bisa memuaskan semua pihak.
Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membeli buku berjudul Berani Tidak Disukai yang ditulis oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga. Buku ini juga menjadi bagian dari buku-buku bertemakan self-caring yang sedang Penulis dalami.
Apa Isi Buku Ini?
Buku ini ditulis berdasarkan pemikiran salah satu psikolog paling berpengaruh di abad ke-19 bernama Alfred Adler, terutama yang berkaitan dengan kebahagiaan dan pola pikir yang mendukungnya.
Berbeda dengan Freud, Adler mengatakan bahwa kita cenderung hidup dan bertindak oleh harapan-harapan di masa depan dibandingkan pengaruh pengalaman masa lalu, termasuk yang menimbulkan trauma.
Pemikiran tersebut dikemas dalam bentuk dialog antara seorang pemuda yang merasa tak puas dengan hidupnya dengan seorang filsuf tua yang hidup soliter di sebuah tempat terpencil.
Pertemuan tersebut dibagi menjadi lima malam, di mana tiap malam terbagi menjadi beberapa subbab yang saling terhubung satu sama lain. Artinya, kita harus membaca secara runtut untuk bisa memahami buku ini.
Karena bukunya sudah berada di Malang, Penulis hanya bisa menjabarkan isinya berdasarkan ingatan semata.
Malam Pertama
Yang jelas, pada malam pertama kita akan diajak untuk menyangkal yang namanya trauma. Menurut Adler, sebenarnya tidak ada yang namanya trauma.
Kita sering kali menggunakan alasan trauma untuk tetap berada di zona di mana kita berada sekarang. Mungkin ini cukup kontroversial, bahkan sang pemuda di dalam buku ini juga menyangkal habis-habisan,
Sebenarnya yang ingin disampaikan adalah kita memiliki pilihan antara terjebak ke dalam trauma atau justru menjadikannya sebagai batu loncatan menuju masa depan.
Malam Kedua
Kalau tidak salah, malam kedua akan berusaha menjelaskan bahwa hidup ini bukan sekadar kompetisi. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, kita akan mudah merasa inferior (termasuk Penulis).
Sama seperti trauma, inferior juga bisa dijadikan pembenaran bagi sebagian orang. Contohnya:
“Ah, mana bisa aku seperti dia, aku kan hitam dan jelek.”
“Dia mah enak anak orang kaya, bisa dapat apa aja enggak kayak aku yang miskin.”
Kalau kata mantan atasan Penulis di Surabaya, pemikiran-pemikiran seperti ini akan memunculkan mental block yang hanya akan menjadi penghambat kita.
Daripada terus membandingkan diri dengan orang lain, kenapa kita tidak membandingkan kita dengan diri sendiri? Apakah diri kita hari ini telah lebih baik dari diri kita kemarin?
Malam Ketiga
Pernah berusaha mencampuri urusan orang lain? Penulis merasa sering melakukannya. Isi dari diskusi dari malam ketiga adalah mengenai pembagian tugas.
Intinya, sebagian besar orang tidak akan suka jika “tugasnya” harus dicampuri oleh orang lain. Contohnya adalah masalah sekolah. Mungkin ada orangtua yang terlalu memaksa anaknya untuk bisa jadi juara satu.
Padahal, belajar bukanlah tugas orangtua, melainkan sang anak. Dorongan yang terlalu keras seperti itu justru akan membuat sang anak akan merasa kalau “tugasnya” diambil alih oleh orang lain.
Penulis tidak terlalu ingat malam keempat ataupun kelima. Intinya, kalau tidak salah, adalah mengajak kita untuk bisa menikmati hidup hari ini tanpa perlu berusaha disukai oleh semua orang.
Tidak apa-apa menjadi orang biasa, kita tidak harus selalu menjadi yang nomor satu. Poin-poin inilah yang menjadi inti dari buku yang satu ini.
Setelah Membaca Buku Berani Tidak Disukai
Awalnya, Penulis akan mengira buku ini akan terasa berat dan membosankan. Ternyata, buku ini cukup menarik, mampu memberikan sudut pandang yang berbeda, dan terasa sangat dinamis meskipun penuh istilah teknis dan terkesan filosofis.
Buku ini akan mengajak kita untuk menyederhanakan kehidupan kita. Jika terlihat rumit dan memusingkan, mungkin kitalah yang membuatnya seperti itu. Terdengar utopis memang.
Banyak kalimat-kalimat dari sang filsuf yang akan membuat kita ingin mengajukan protes, namun hal tersebut langsung diwakili oleh sang pemuda yang digambarkan sangat keras kepala. Jadi, kita tidak perlu capek-capek mengirim email ke penulis buku ini.
Buku ini Penulis rekomendasikan bagi pembaca yang sedang mencari makna kehidupan ataupun kebahagiaan. Penulis menyarankan untuk membacanya secara perlahan dan meresapi maknanya.
Nilainya: 4.0/5.0
Kebayoran Lama, 18 Januari 2020, terinspirasi setelah menamatkan buku Berani Tidak Disukai karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga