Cerpen

Dilarang Berhenti di Lampu Merah

Published

on

Aku selalu ingin mengumpat orang-orang yang berada di belakangku ketika berada di persimpangan jalan, terhenti karena adanya traffic light. Jelas, bahwa lampu belum berpindah warna, sudah tan tin tan tin tak karuan. Apakah surat ijin mengemudi mereka peroleh dengan sogokan, sehingga tidak mengerti makna dari lampu yang berwarna merah?

Aku heran, apakah sedemikian rendanya kantong kesabaran yang mereka miliki sehinga tidak bisa menahan diri untuk beberapa detik? Jika sudah berada di kondisi seperti itu, aku tak bisa apa-apa selain melawan nurani dengan menekan gas untuk menerobos lampu merah yang seringkali masih kurang lima detik.

Selain mengumpat orang-orag di belakangku, aku juga ingin mengumpat orang-orang yang berada di depan, kanan, dan kiri. Mereka semua saja, jelas-jelas lampu warna hijau telah berganti merah, sama sekali tidak terlihat keinginan untuk berhenti. Apalagi jika lampu hijau terlihat kurang satu detik, bukannya mengurangi, mereka justru semakin ganas memacu kendaraannya.

Alhasil, dalam dua kondisi tersebut, tentu akan mengakibatkan bunyi klakson yang saling bertautan. Pernah aku mencurahkan kekesalanku ini kepada kawan-kawanku. Akan tetapi, nampaknya tak ada yang merasa terganggu dengan fenomena tersebut.

“Halah, jangan terlalu dirisaukan, begitulah negara ini.”

“Kau, tau, aturan itu untuk dilanggar.”

“Jangan terlalu idealis lah, kita enggak bisa jadi orang idealis di sini.”

Benarkah bahwa melanggar aturan sudah menjadi begitu biasa, sehingga jika dirimu menaati peraturan justru dianggap aneh? Sudah begitu rendah kah kesadaran kita tentang pentingnya mematuhi peraturan? Aku mencoba menjawab pertanyaan ini dengan bertanya. Bukan kepada kawan-kawanku yang itu, melainkan kawan wanitaku yang aku rasa masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral di masyarakat.

“Ya, itu memang salah dan seharusnya tidak dilakukan.” katanya menjawab kegundahanku.

“Lalu, mengapa mereka tetap melakukan itu?”

“Jika kita mau berpikiran positif, siapa tahu mereka sedang terburu-buru karena suatu urusan.”

“Ah ayolah, terburu-buru itu perbuatan setan. Harusnya mereka bisa mengatur waktu mereka sehingga tidak perlu terburu-buru.”

“Atau ada urusan darurat.”

“Sedarurat apapun tidak boleh sampai membahayakan diri dan orang lain.” aku terus ngotot tanda tak mau kalah.”

“Hei percayalah, meskipun memang ada orang-orang yang ingin melawan aturan tersebut, terselip di antara mereka orang-orang yang dikejar waktu.”

Aku diam sesaat. Mencerna perlahan apa yang ia katakan dari bibir manisnya. Pemikiran seperti ini belum pernah terbit di pikiranku.

“Kamu sendiri, belum pernah melanggar lampu merah?” ia bertanya memecah hening.

“Tidak pernah dan tidak akan pernah.” jawabku tegas.

“Yakin?”

“Kecuali jika aku sedang berada di barisan depan dan kendaraan di belakangku mulai menekan-nekan klaksonnya.”

“Nah, itu kamu melanggar.”

“Tapi kan karena terpaksa.”

“Apa kamu kira cuma motormu saja yang terpaksa?”

Lagi-lagi aku terdiam mendengar ucapannya. Dia selalu punya cara untuk membungkamu dengan argumentasinya.

“Jangan hanya karena kamu sering patuh sama peraturan, kamu merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka yang tidak sepatuh kamu. Arogan itu namanya.”

Kalimat tersebut lebih sakit dari sebuah tamparan.

 

 

Lawang, 26 Maret 2018, terinspirasi dari hiruk pikuk lampu merah

 

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version