Distopia Bagi Kia

Bagian 12 Pertemuan Pertama

Published

on

Sudah lima hari Kia berada di dunia tersebut. Lama kelamaan, ia sudah mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Bu Imah mengajarinya banyak sekali pekerjaan rumah, sehingga Kia bisa banyak membantu. Hanya saja, Kia belum berani keluar rumah untuk berkenalan dengan para tetangga. Ia masih teringat omongan seorang ibu yang datang ke rumah beberapa hari lalu. Ia takut akan bertemu dengannya.

Kemarin, ibu itu datang lagi untuk menagih utang. Pak Kusno dan istrinya memohon agar diberi sedikit waktu lagi untuk melunasi utang mereka. Kia hampir bisa mendengar semua percakapan yang dibicarakan mereka. Bahkan, nama Kia sempat disebut. Dengan sedikit memaki-maki, ibu tersebut berkata bahwa sudah tahu miskin, kenapa mau-maunya memungut anak yang tidak jelas asal-usulnya. Sekali lagi, Kia menangis dalam diam.

Setelah berbagai hiruh pikuk yang terjadi, bu Imah masuk ke dalam kamar dan menemukan Kia sedang menangis. Ia memeluk Kia dan meminta maaf atas segala perkataan yang telah didengar olehnya. Bukannya berhenti, Kia justru menangis lagi. Kali ini, ia tidak bisa menahan suara yang mengiringi tangisnya. Ia mendekap erat bu Imah, seolah ingin meminta kekuatan untuk melewati cobaan yang sedang dihadapi.

Peristiwa tersebut membulatkan tekad Kia untuk segera merealisasikan idenya membantu keluarga Kusno dengan menjadi pengajar. Kebetulan, pak Kusno hari ini sedang tidak ada pekerjaan, sehingga ia berada di rumah dan memperbaiki beberapa bagian tembok yang rusak.

“Pak, Kia mau tanya.” ujar Kia memulai percakapan.

“Oh iya, ada apa Kia?” jawab pak Kusno tanpa menghentikan pekerjaannya.

“Kia mau bantu bapak cari uang.”

“Hahaha, enggak usah repot-repot. Kamu tenang aja.”

“Kia serius pak, Kia merasa enggak enak kalau cuma numpang di sini.”

Akhirnya pak Kusno menghentikan pekerjaannya dan berbalik melihat Kia. Pak Kusno bisa melihat keseriusan Kia dari sorot mata dan nada bicaranya. Dengan tersenyum, pak Kusno berusaha mendengarkan Kia dengan baik.

“Kamu mau bantu gimana?” tanya pak Kusno.

“Kia mau buka tempat kursus untuk anak-anak sekitar. Bayar seikhlasnya, dalam bentuk bahan makanan pun tak masalah.”

“Begitu.”

“Iya pak, tapi Kia enggak tahu gimana ngomongnya ke warga.”

“Kalau masalah itu, tenang. Nanti bapak akan minta tolong Yoga.”

“Yoga? Siapa itu pak?”

“Dia ketua Karang Taruna di kampung ini. Dia orang pertama di sini yang berhasil kuliah lo. Meskipun begitu, ia tetap rendah hati dan tetap perhatian dengan kondisi kampung ini. Makanya dia bikin Karang Taruna.”

“Karang Taruna itu apa pak?”

“Apa ya, ya kayak organisasi remaja gitu lah. Dia juga dekat sama anak-anak kecil di sini, makanya kalau kamu mau ngajari anak-anak di sini, paling gampang ya minta bantuan dia.”

Kia merasa senang mendengar respon positif dari pak Kusno. Ia menyadari bahwa dirinya tidak bisa melakukan semua ini sendirian. Ia membutuhkan orang lain, dan pak Kusno memberikan usul yang sangat solutif. Meskipun belum bertemu dengan laki-laki bernama Yoga tersebut, Kia sangat berharap ia bisa membantunya untuk merealisakan niat baiknya untuk membantu keluarga Kusno.

***

Ketika hari menjelang senja, terdengar suara ketukan pintu. Kia, yang sedang mengajari Qila, merasa takut akan kedatangan ibu penagih utang. Untunglah, sewaktu pak Kusno membukakan pintu, yang muncul adalah seorang pemuda berusia 20-an. Mungkin, laki-laki inilah yang dimaksudkan oleh pak Kusno. Setelah perbincangan singkat yang tidak dipahami oleh Kia, pak Kusno memanggil nama Kia. Kia pun datang menghampiri pak Kusno dan tamunya.

“Nah kebetulan, kenalan nak Yoga, ini namanya Kia. Mulai beberapa hari yang lalu, Kia tinggal bersama kami. Mungkin kamu sudah mendengar kabarnya dari warga ya?” pak Kusno membuka percakapan.

“Hahaha, iya. Hai apa kabar, perkenalkan namaku Yoga.” kata laki-laki tersebut sambil mengulurkan tangannya.

“Kia.” jawab Kia singkat sambil menyambut uluran tangan tersebut.

“Yuk kita duduk dulu, ada yang mau nak Kia jelaskan ke kamu.

Meskipun terlihat tidak peduli, sebenarnya jantung Kia sedang berdebar-debar. Ia bingung bagaimana mengutarakan niatnya kepada orang yang baru saja ia temui. Apalagi, sebelum ini interaksi Kia dengan laki-laki sangat jarang, sehingga ia bertambah bingung tentang apa yang harus ia lakukan. Melihat Kia terlihat kebingungan, pak Kusno berinisiatif membuka percakapan.

“Jadi, Kia ini punya rencana untuk ngajar anak-anak di sekitar sini. Ia meminta bayaran seikhlasnya saja. Nah, kamu kan dekat sama anak-anak di sini, jadi bapak mau minta tolong bantuan kamu.”

“Oh begitu, boleh pak saya bantu. Nanti saya bahas sama anak-anak waktu rapat. Nanti kamu ikut datang ya buat njelasin rencanamu.”

Yang ditanya menjadi diam seribu bahasa. Kia jelas tidak siap untuk berbicara di depan orang banyak, apalagi yang belum dikenal.

“Eh, Kia pikirkan dulu ya.” jawab Kia pada akhirnya.

“Udah datang aja, anak sini baik-baik kok. Nanti aku kasih undangan rapat buat bahas rencanamu ini. Kalau boleh tahu, Kia usia berapa?”

“17 tahun.”

“Oh begitu, kita enggak beda jauh kok, jadi santai aja.” kata Yoga, mungkin karena melihat kegugupan yang ditunjukkan oleh Kia.

“Iya.” jawab Kia mengakhiri percakapan sore itu.

***

Sepulang dari rumah, Yoga langsung mencari handphonenya. Ia punya kebiasaan baik, yakni tak pernah menunda-nunda apa yang sedang ia rencanakan. Oleh karena itu, wacana rapat untuk membahas rencana Kia mengajar langsung ia sampaikan ke sekretarisnya, Lala, melalui chat. Tidak banyak orang yang memiliki handphone di kampung pak Kusno. Akan tetapi, sedikit dari mereka adalah Yoga dan Lala.

  • La, tolong buatkan undangan rapat buat Sabtu besok ya. Tolong undang juga Kia, dia cewek yang tinggal sama pak Kusno

Tak lama berselang, sekretaris andalannya itu membalas.

  • Dia diajak gabung nih ceritanya?

 

  • Nanti aku jelasin, sekarang kamu buat aja dulu undangannya

 

  • Oke

 

Yoga menghembuskan napas panjang ketika duduk di kursinya. Sebenarnya, ia ingin mengajak Kia bergabung dengan organisasi yang ia pimpin. Hanya saja, melihat Kia yang seolah tidak ingin berinteraksi dengan dirinya lebih banyak, ia memutuskan untuk menunda hal tersebut. Mungkin saja suasana hatinya sedang buruk, batin Yoga. Setidaknya, pada pertemuan pertama mereka ini, Yoga sudah membuat Kia harus ikut rapat yang akan dihadiri oleh anggota-anggota Karang Taruna lainnya.

***

Setelah makan malam yang sederhana, Kia memutuskan untuk ingin berbicara lebih lama dengan keluarga Kusno. Selama ini, ia lebih sering diam daripada berinteraksi dengan mereka. Sangat jarang Kia memulai pembicaraan seperti yang tadi siang ia lakukan kepada pak Kusno. Itu pun karena ia butuh. Oleh karena itu, mumpung semua anggota sedang lengkap, ia ingin sedikit berbasa-basi dengan mereka.

“Tadi bagaimana bu kerjaannya?” tanya Kia membuka percakapan.

“Ya begitulah, enggak ada yang istimewa. Sama seperti rutinitas biasanya.” jawab bu Imah dengan diiringi senyum.

“Kalau pak Kusno, besok ada kerjaan atau di rumah?”

“Kalau untuk besok ada. Biasa, membersihkan kebun. Titip Qila ya.”

“Baik pak.” jawab Kia. Ia bingung mau menanyakan apa lagi.

“Kalau Kia sendiri besok rencananya mau ngapain?” tanya bu Imah sambil membereskan piring-piring di atas meja makan.

“Mungkin cuma mengajari Qila. Qila pinter bu, sudah hafal semua abjad dan angka. Malahan, ia sudah bisa mulai mengeja huruf.

Perkataan Kia hanya disambut tawa canggung dari pak Kusno dan bu Imah. Melihat hal tersebut, barulah ia teringat bahwa kedua orangtua Qila tidak bisa membaca. Merasa bersalah, ia pun mengucapkan maaf.

“Lo, enggak apa-apa nak. Kami malah berterimakasih kamu mau ngajarin Qila baca. Biar kami aja yang bodoh, jangan sampai Qila seperti kami.” kata bu Imah.

“Kami sebenarnya ingin mengajari Qila, tapi apa daya, membaca pun kami tidak bisa. Ini kami juga lagi nabung buat masukin Qila ke sekolah, tapi kamu lihat sendiri kami masih punya utang ke bu Dewo. Untung ada kamu, jadi kami bisa menunda rencana kami untuk menyekolahkan Qila.”

“Oh, jadi nama ibu yang kemarin itu bu Dewo?”

“Iya, dia ibunya Yoga yang tadi sore ke sini. Dia itu orang terkaya di kampung ini gara-gara bisnis rentenirnya. Semua orang di kampung ini kalau butuh uang ya mintanya ke dia. Tapi bunganya itu bikin kami susah. Mana kalau nagih selalu menghina lagi, padahal dulu dia sama susahnya sama kita.” keluh pak Kusno.

“Sudah pak, enggak baik ngomong kejelekannya orang. Sekarang kita pikirkan aja gimana ngelunasin utang kita. Ibu rencana mau pinjam uang ke nyonya.”

“Iya, tapi enggak enak kalau kita pinjam beliau terus. Untung majikanmu baik hati bu.”

“Iya, syukur. Di tengah kesulitan, kalau kita enggak menyerah, pasti ada aja jalan.”

Kia mengamati pembicaraan ini dengan seksama. Kesulitan orang lain adalah hal yang jarang ia lihat. Yang sering ia dengar dari kedua orang tuanya adalah bagaimana bisnis mereka bisa berkembang lebih besar dan lebih besar lagi. Kalaupun ada keluhan, itu karena beberapa sektor bisnis mereka tidak mencapai target. Tidak pernah ia mendengar mereka kesusahan finansial karena kekurangan uang. Yang ada, mereka kelebihan uang sehingga bingung mau dialokasikan untuk apa.

“Tadi kamu ketemu Yoga ya, gimana menurut kamu? Baik kan orangnya?” tanya bu Imah memutus lamunan Kia.

“Iya baik. Tapi Kia tadi terlalu malu, jadi enggak banyak bicara.”

“Hahaha, iya, kamu tuh anaknya pemalu banget. Tapi nanti kamu datang kan waktu rapat Karang Taruna?” tanya pak Kusno.

“Eh Kia diundang?” bu Imah bertanya balik.

“Iya, biar Kia bisa jelasin rencana mengajarnya.” jawab pak Kusno.

Pembicaraan malam tersebut terasa hangat. Inilah yang Kia dambakan selama ini. Melihat pak Kusno dan bu Imah begitu perhatian kepada dirinya membuat dirinya merasa terharu dan sedikit meneteskan air mata. Qila memergoki Kia yang sedang mengusap kedua matanya.

“Kakak ngantuk lagi?” tanya Qila dengan polosnya.

Kia tidak menjawab pertanyaan Qila. Ia hanya mengusap-usap rambut Qila. Sekali lagi ia merasa bersyukur telah masuk ke dunia ini. Sekarang, ia hanya perlu menyiapkan diri untuk mempresentasikan rencananya pada rapat Karang Taruna Sabtu besok.

***

Kakek itu sedang menerawang ke atas langit yang tengah mendung. Awan pekat menghalangi cahaya rembulan untuk menerangi Bumi di kala malam. Di dalam kepalanya, ia sedang memikirkan banyak hal. Salah satunya Kia. Keputusannya untuk membawa Kia ke dunia ini memang berbahaya dan memiliki risiko tinggi. Akan tetapi, sang kakek tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan anak itu.

“Semoga anak itu bisa memetik pelajaran di dunia barunya.” gumam kakek tersebut.

Setelah berkata seperti itu, sang kakek berjalan perlahan menyusuri jalan tanpa panduan cahaya apapun.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version