Distopia Bagi Kia
Bagian 14 Permintaan Maaf
Minggu pagi, pak Kusno sedang berbincang dengan istrinya. Mereka membicarakan Kia, yang kemarin malam pulang dengan mata basah. Ketika ditanya, Kia hanya bisa menggelengkan kepala sembari masuk ke dalam kamar. Tentu kedua orang ini khawatir telah terjadi hal buruk kepada Kia saat ia hadir pada acara rapat Karang Taruna. Oleh karena itu, pagi ini mereka berdua berencana untuk mendatangi Yoga, menanyakan apa yang telah terjadi semalam.
“Tapi kan kalau ke rumahnya kita bakal ketemu ibunya, aku malas dinyinyirin terus sama dia.” kata bu Imah dengan suara yang direndahkan seolah takut ada mata-mata bu Dewo.
“Enggak apa-apa bu, toh kita udah bayar hutangnya kemarin. Takut apa lagi? Ini demi Kia lo.” jawab pak Kusno berusaha meyakinkan istrinya.
“Mending kita nunggu Kia bangun dulu aja, terus kita tanya baik-baik. Mungkin setelah tidur ia sudah merasa mendingan.”
“Kalau dia enggak mau cerita?”
“Ya baru kita coba tanyakan ke Yoga. Tapi ibu yakin ini bukan salah dia, bapak kan tahu sendiri gimana baiknya dia.”
“Mungkin salah satu anggotanya yang bikin Kia sedih.”
“Sudah pak, enggak baik berprasangka buruk. Semoga aja ini hanya salah paham.”
Mereka berdua sama-sama berdiam diri, memperhatikan ayam yang sedang mematuki makanan di jalanan. Beberapa tetangga lewat dan menyapa mereka berdua. Meskipun tergolong kurang mampu, warga sekitar cukup menghormati pak Kusno dan keluarga. Alasannya, ia selalu aktif dalam kegiatan warga dan tidak pernah ragu untuk mengulurkan tangannya. Begitu pula dengan istrinya yang rajin membantu kegiatan ibu-ibu PKK. Apalagi, bu Imah terkenal dengan kelezatan masakannya meskipun untuk sehari-hari hanya bisa memberikan makanan ala kadarnya untuk keluarga.
Sekitar 10 menit kemudian, seseorang mengucapkan salam untuk mereka berdua. Karena sama-sama tengah melamun, pak Kusno dan bu Imah sama-sama terkejut dan butuh beberapa detik untuk membalas salam tersebut. Ternyata, yang memberi salam adalah orang yang ingin mereka temui hari ini.
“Eh Yoga, tumben pagi-pagi ke sini?” tanya pak Kusno basa-basi, karena di dalam hatinya ia tahu kedatangan anak bu Dewo ini terkait dengan Kia.
“Iya pak, kebetulan habis olahraga pagi, karena lewat jadi saya mampir sekalian.” jawab Yoga sambil mengelap keringat di dahinya menggunakan handuk yang menggantung di lehernya.
“Ayo masuk, biar sama ibu dibuatkan teh manis.”
“Oh enggak usah repot-repot pak, saya cuma sebentar, ada yang mau saya sampaikan.”
“Memangnya ada apa?” Pak Kusno bisa melihat kegelisahan Yoga dari gerak-geriknya.
“Saya atas nama Karang Taruna ingin minta maaf ke Kia pak, kemarin salah satu anggota saya berkata kurang sopan ke Kia.”
“Sebenarnya, apa yang terjadi? Kia kemarin pulang sambil menangis.”
Maka Yoga pun menceritakan kronologi kejadian kemarin malam secara lengkap dan apa adanya. Pak Kusno dan bu Imah mendengarkannya dengan seksama tanpa ada usaha untuk menginterupsi. Setelah cerita berakhir, Yoga dan Karang Taruna menyampaikan keinginan untuk meminta maaf kepada Kia secara langsung.
“Tentu, silahkan saja mas, ibu yakin itu hanya salah paham kok.” ujar bu Imah.
“Mungkin nanti sore saya dan anggota akan ke rumah bu, kami kemarin malam sudah sepakat.” lanjut Yoga.
“Enggak usah.”
Mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba muncul suara dari dalam rumah. Ternyata Kia menyimak percakapan mereka dari tadi, menguping dari balik jendela. Wajah Kia sudah tidak memancarkan kesedihan, berubah menjadi gurat ketegasan seseorang yang sudah membuat keputusan. Pak Kusno dan bu Imah sedikit terkejut karena belum pernah melihat ekspresi Kia yang seperti ini.
“Ta…tapi Kia, kami sudah bersalah sama kamu, jadi sudah kewajiban kami untuk meminta maaf secara langsung.” Yoga berupaya untuk mengubah keputusan Kia.
“Saya sudah memaafkan semua, termasuk anak yang berbicara kurang baik itu. Jadi kalian enggak perlu meminta maaf.” bahasa Kia menjadi formal, menunjukkan bahwa dirinya sedang gusar.
“Tapi tetap aja Kia…”
“Saya juga memutuskan untuk mengurungkan niat untuk mengajar di sini. Benar kata anak itu, tidak mungkin warga sini percaya dengan saya yang hilang ingatan. Mana ada yang percaya kepada orang yang asal usul dirinya tidak jelas seperti saya.”
“Kia, jangan bicara seperti itu! Kamu sudah bapak anggap jadi anak, dan bapak enggak butuh tahu kamu dari mana. Yang penting sekarang adalah kamu bagian dari keluarga bapak, dan sekarang kamu adalah bagian dari kampung ini.” ujar pak Kusno sambil berdiri, menatap langsung ke mata Kia. Bu Imah berusaha menenangkan suaminya dengan menarik tangannya agar ia duduk kembali.
Ucapan dari pak Kusno berhasil membuat Kia bergeming. Ketegasan wajah yang ia tampakkan tadi perlahan memudar, dan hal ini ditangkap oleh Yoga. Ia mencoba untuk merayu kembali Kia agar mau menerima maaf darinya.
“Dengar Kia, kita belum lama kenal kan? Menurutmu dari mana aku bisa percaya bahwa kamu bisa mengajar anak-anak di kamung ini?”
Kia tidak menjawab pertanyaann yang dilontarkan Yoga. Lebih tepatnya, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut.
“Dari Qila. Ia sering cerita bagaimana kamu mengajar dirinya dengan telaten dan sangat jelas. Terkadang ia keluar rumah ketika sore hari untuk bermain kan? Pernah waktu-waktu itu lah aku bertanya-tanya seputar kamu, dan ia bercerita dengan sangat antusias tentang dirimu, terutama bagaimana kamu mengajarinya membaca.”
Kia masih tidak mengeluarkan suara, akan tetapi raut wajahnya sudah berubah. Kini ia lebih terlihat untuk menahan tangis. Yoga jadi ragu untuk melanjutkan kalimatnya, sehingga pak Kusno yang telah duduk memutuskan untuk memberi kalimat penutup.
“Bapak pernah bilang bahwa kamu enggak perlu bantu cari uang buat keluarga kita, tapi jika kamu benar-benar ingin membantu kami, inilah satu-satunya cara.”
Air mata yang sudah dibendung sekuat tenaga akhirnya tumpah juga. Iya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sambil terduduk di lantai. Bu Imah bangkit dan menghampiri Kia, berusaha menggiring dirinya masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Kia pasrah saja dirinya dibawa seperti itu. Pak Kusno dan Yoga mengikuti di belakang mereka. Butuh beberapa menit hingga Kia bisa menghentikan tangisnya dan mulai mengeluarkan isi hatinya.
“Kia mau bantu keluarga bapak dengan mengajar, tapi setelah mendengar pendapat orang lain seperti kemarin, Kia jadi ragu orang sini akan percaya sama Kia.”
“Urusan itu serahkan sama aku Kia. Jujur, memang pasti ada orang yang seperti itu. Tapi mereka belum melihat sendiri kemampuan mengajarmu. Itu tugasku untuk meyakinkan warga.” jawab Yoga dengan tegas.
“Ibu bisa melihat ketulusan kamu Kia, sayang jika kamu mengurungkan niat baikmu itu. Bahkan kalau perlu, kamu mengajar saja secara gratis. Kamu enggak perlu ikut mikirin urusan uang.” kata bu Imah yang dari tadi memegangi pundak Kia.
Kia menganggukkan kepala sembari menghapus sisa-sisa tumpahan air matanya. Ia memandang Yoga, memberi isyarat bahwa dirinya akan menerima permintaan maaf yang akan disampaikan oleh Yoga dan anggotanya nanti sore.
***
Ketika matahari mulai beranjak dari langit, terdengar suara ketukan pintu yang diiringi oleh suara bisik-bisik yang bising. Kia tahu siapa yang akan datang. Ia berjalan ke depan rumah, membukakan pintu untuk para anggota Karang Taruna yang sudah berkumpul di depan rumah pak Kusno.
“Sore Kia, ini aku bawa teman-teman Karang Taruna.”
“Iya, silahkan masuk.”
Maka masuklah semua orang tersebut ke dalam rumah yang kecil tersebut. Karena keterbatasan tempat, ada yang duduk di kursi, ada yang duduk di lantai. Kia mencari anak yang bernama Eni di antara mereka. Ternyata, ia duduk di sebelah Yoga dengan wajah yang pucat pasi. Pasti ia khawatir bahwa dirinya tidak akan dimaafkan. Kia menebak usia Eni sekitar 15 tahun, tidak beda jauh dengan dirinya.
“Jadi Kia, maksud dari kedatangan kami semua kemari adalah ingin meminta maaf atas ketidaksopanan kami kemarin malam. Selain itu, Eni yang duduk disebelahku ini juga ingin mengatakan sesuatu. Ayo Eni.” ujar Yoga membuka pembicaraan.
“Jadi kak Kia, aku mau minta maaf karena udah enggak sopan kemarin. Sama sekali enggak ada maksud bikin kakak marah, aku cuma penasaran aja karena baru pertama kali ketemu.” kata Eni dengan kepala tertunduk. Ia tak berani menatap Kia secara langsung.
“Iya Eni, enggak apa-apa. Aku juga minta maaf buat kalian semua karena udah pergi gitu aja. Seharusnya aku bisa mengontrol emosiku. Aku memang enggak ingat asalku dari mana, tapi percayalah bahwa aku bisa mengajar anak-anak di sini dengan baik.” jawab Kia dengan lancar, tidak seperti kemarin malam di mana ia tergagap setengah mati.
“Kami percaya Kia.” kata Yoga merespon kalimat Kia.
Setelah itu, Yoga berdiri dan menyuruh Eni untuk berjabat tangan dengan Kia. Yang disuruh dengan patuh mengikuti instruksi Yoga, menghampiri Kia dan meminta maaf sekali lagi. Kia yang melihat Eni masih menundukkan kepala, memutuskan untuk memeluknya agar tidak ada lagi rasa canggung di antara mereka berdua. Setelah mendapatkan pelukan dari Kia, Eni menangis.
“Hehe, maaf ya Kia, Eni itu memang anaknya bermulut pedas, tapi perasaannya peka. Makanya ia mudah nangis.” celetuk Yoga berusaha mencairkan suasana haru tersebut.
Anggota yang lain hanya tertawa ringan mendengar Yoga. Setelah Eni berhenti menangis, Yoga menyuruh satu persatu anggota yang lain memperkenalkan dirinya ke Kia, sesuatu yang kemarin belum sempat dilakukan. Kia berusaha mengingat nama mereka satu persatu, sesuatu yang selama ini jarang sekali ia lakukan. Bahkan teman sekelas sendiri pun tidak ia ingat semua. Akan tetapi di kampung ini, ia berekad untuk menghafal semua nama anggota Karang Taruna yang ada di hadapannya.
Setelah proses perkenalan selesai, Yoga memutuskan untuk memberi kesempatan kepada Kia untuk menyampaikan rencananya kemarin. Kia mengangguk dan berdiri. Kejadian hari ini telah memberinya kekuatan untuk berbicara di depan orang banyak.
“Jadi teman-teman, seperti yang sudah aku sampaikan kepada kak Yoga, aku punya rencana untuk mengajar anak-anak seusia Qila. Jujur, alasanku ingin mengajar adalah buat bantu keluarga pak Kusno yang udah baik hati menampung aku di sini. Tapi aku enggak akan matok harga, bayarannya seikhlasnya. Mau dibayar dengan sembako pun tak masalah.”
Suasana hening sesaat setelah Kia menyampaikan idenya. Perasaan tidak enak muncul pada diri Kia, seolah dirinya akan mengalami penolakan. Hal ini membuat Kia menjadi ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Melihat ini, Yoga dengan bijak mengambil alih pembicaraan.
“Idemu sangat bagus dan mulia Kia. Hanya saja, mayoritas warga sini tidak terlalu mempedulikan pendidikan anaknya. Bahkan tidak semua anak yang berkumpul di sini masih bersekolah. Jadi, aku takutnya warga di sini akan enggan untuk membayar biaya mengajarmu.”
Kia sedikit terpukul mendengar kenyataan ini. Harapannya untuk membantu keluarga pak Kusno seolah surut begitu saja. Ia tidak memiliki ide lain untuk mendapatkan uang, sehingga semangat dirinya langsung jatuh begitu saja.
“Akan tetapi, niat baik tentu tidak boleh berhenti begitu saja. Jadi, kalau aku boleh usul, sebagai awalan kamu mengajar saja dulu dengan gratis. Kamu harus bisa membuat orang percaya sama kamu. Selain itu, aku dan teman-teman lain akan membantumu kok.” kata Yoga dengan tersenyum.
Kia menatap Yoga dengan membalas senyumannya sebagai tanda terima kasih. Ya, apa yang disampaikan oleh Yoga sangat masuk akal. Orang-orang mungkin akan enggan mengeluarkan uang untuk hal yang tidak mereka prioritaskan, tetapi untuk barang gratis, siapa yang akan menolak? Bisa jadi setelah mengetahui manfaat dari belajar bersama dirinya, warga akan secara sukarela memberi Kia tanda terima kasih yang bisa ia berikan kepada pak Kusno dan bu Imah.
“Iya kak, aku setuju.” kata Kia pada akhirnya, semangatnya telah kembali.
“Oke, yang lain bagaimana, setuju?” tanya Yoga kepada anggotanya.
Semua serentak menjawab setuju. Selanjutnya, mereka membahas tentang jadwal dan siapa saja yang bisa ikut belajar bersama Kia. Terlibat diskusi panjang seperti ini merupakan pengalaman baru untuk Kia, sehingga ia begitu antusias melihat bagaimana para anggota Karang Taruna saling memberikan ide dan masukan. Kia memang masih banyak diam, tapi yang jelas ia banyak belajar dari kejadian ini.
You must be logged in to post a comment Login