Distopia Bagi Kia

Bagian 18 Amarah Yoga

Published

on

Kia termenung sendirian di Balai RW sore itu. Makin hari makin sepi saja yang datang ke kegiatan Ruang Belajar, baik dari pihak Karang Tarunanya sendiri maupun anak-anak kecil peserta belajar. Kurang lebih sudah tiga bulan kegiatan ini berlangsung, Kia tak menyangka secepat ini antusiasme anak-anak turun. Sudah beberapa kali ia datang sendirian ke lokasi belajar, menanti dalam diam hingga berjam-jam. Tidak hanya kegiatan Ruang Belajar di sore hari, yang malam hari pun sama sepinya.

Ketika rapat bulanan terakhir, Kia tidak melaporkan permasalahan ini ke Yoga. Ia hanya menjawab semua berjalan lancar seperti biasa. Kia tidak ingin dirinya dianggap sebagai tukang adu domba antara Yoga dengan anggota yang dibawahinya. Yoga percaya saja laporan Kia, apalagi ketika menyempatkan diri datang, terlihat ada banyak anggota yang datang. Mereka seolah tahu kapan Yoga bisa datang.

Kia pun menjadi bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ia melakukan sebuah kesalahan sehingga ia dijauhi oleh anggota Karang Taruna lainnya? Ia tak merasa pernah berbuat salah kepada mereka. Toh, ia juga sangat irit bicara kecuali sedang mengajar.

“Jika demikian, apa karena sikapku?”

Ia menyadari bahwa dirinya bukan tipe orang yang bisa memberikan perhatian kepada orang lain. Ia tahu bahwa dirinya adalah orang yang cenderung cuek dengan lingkungan sekitarnya. Ia tak pernah ingin ikut campur dengan permasalahan orang lain karena merasa itu bukan ranahnya. Lantas, sikap yang seperti apa yang membuatnya dijauhi?

Ketika tidak sedang mengajar, Kia lebih sering di rumah mengerjakan berbagai pekerjaan rumah. Bu Imah sudah mengajari Kia berbagai keterampilan, sehingga bu Imah bisa merasa sedikit tenang ketika meninggalkan rumah untuk bekerja. Qila pun sudah lancar membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuannya sudah setara dengan anak SD. Kia merasa Qila memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi jika dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

Selain itu, pada akhirnya bu Imah beserta pak Kusno menerima tawaran Kia untuk mengajari bagaimana cara membaca dan menulis. Kia dengan sabar dan telaten membimbing mereka mengeja satu per satu huruf yang ia tuliskan di selembar kertas. Walaupun terlihat berusaha keras, mereka berdua sama sekali tidak pernah menyerah ataupun mengeluh. Mereka seolah ingin membuktikan bahwa usia mereka yang sudah cukup tua tidak akan membuat mereka berhenti belajar.

Sepuluh menit berselang, Kia melihat Qila datang dengan membawa sebuah buku dan pensil. Tentu saja, Qila tidak pernah absen sehari pun dari kegiatan Ruang Belajar ini.

“Qila, mana teman-teman yang lain?” tanya Kia setelah Qila mengambil posisi di sebelahnya.

“Masih pada main kak, tadi udah Qila ajakin pada enggak mau.” jawab Qila.

“Oh gitu.”

“Apalagi tadi mas Rei sama mas-mas yang lain juga ikutan main”

“Eh, Rei ikutan main sama mereka?”

“Iya kak, malah mereka bilang enggak perlu ikutan belajar. Enakan main, gitu katanya kak.”

Kia memijat keningnya begitu mendengar laporan Qila. Selama ini ia memang merasa seperti dimusuhi oleh Rei dan beberapa anak yang tampaknya satu geng dengannya. Mereka hampir tidak pernah berbicara dengannya sama sekali, dan bertemu hanya ketika rapat bulanan Karang Taruna. Walaupun begitu, fakta yang diungkap oleh Qila tetap saja membuatnya kaget. Kenapa mereka justru terlihat ingin kegiatan ini bubar? Bukankah Yoga secara tegas meminta semua anggotanya untuk berpartisipasi aktif di kegiatan mengajar ini?

“Terus, kamu tahu apa lagi Qila?”

“Emm, itu aja sih kak. Tadi Qila juga diajakin main tapi Qila tolak. Qila kan mau pinter kayak kakak, jadi harus rajin belajar.”

Kia tersenyum mendengar perkataan polos dari Qila. Anak perempuan yang satu ini lebih sering memasang wajah dengan ekspresi datar. Apapun kalimat yang keluar dari mulutnya, raut mukanya tidak pernah berubah. Mau senang, mau marah, mau lapar, selalu sama ekspresi wajahnya. Hal tersebut membuat Kia sering merasa gemas dengan anak yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri tersebut. Maka, setelah membelai lembut rambut Qila, Kia memulai kegiatan belajarnya sore itu ditemani dengan awan mendung yang mengambang di langit.

***

Di waktu yang sama, Yoga yang sedang berada di kampus merasa jengkel karena dosen yang seharusnya mengajar ternyata harus mengikuti rapat bersama dekan. Yang lebih membuatnya kesal, tugas yang telah ia kerjakan mati-matian ditunda pengumpulannya. Sayang, ia tak bisa meluapkan kekesalannya di hadapan teman-temannya yang justru terlihat bahagia karena mendapatkan jam kosong. Mungkin, juga karena mereka belum mengerjakan tugas tersebut.

“Yoga, udah enggak ada kelas, kan?” tanya salah satu teman sekelas Yoga.

“Enggak ada sih, kenapa emangnya?”

“Kalau enggak ada ikutan kita nongkrong di kafe yuk! Kita lagi pengen diskusi masalah pergerakan kerajaan Sumatera yang makin agresif nih. Kayaknya enggak lama lagi bakal ada pernyataan perang deh.”

Yoga menimbang-nimbang ajakan tersebut. Topik yang sedang hangat, apalagi terkait kedaulatan suatu kerajaan, adalah hal yang ia senangi dan senang mendiskusikannya dengan teman-teman kuliahnya. Sayang, yang ada di kepalanya justru Kia yang sedang mengajar di Balai RW. Ia sangat jarang bisa ikut membantu Kia mengajar, sehingga ia merasa jam-jam kosong seperti ini harus dimanfaatkan untuk menebus kesalahan tersebut. Apalagi, ia mendapatkan laporan bahwa anggota Karang Taruna semakin jarang yang ikut berpartisipasi, meskipun ia belum mempercayai laporan tersebut.

“Maaf, aku absen dulu deh, ada acara di rumah. Aku harus pulang cepat nih.” ujar Yoga kepada temannya sembari memanggul tasnya ke punggung.

***

“Oper bolanya ke sini!”

Teriakan-teriakan seperti itu terdengar berkali-kali di lapangan, tempat Rei dan kawan-kawannya bermain. Memanfaatkan tanah kosong untuk berolahraga adalah hal yang biasa terjadi di kampung-kampung, termasuk tempat mereka tinggal. Pesertanya bisa siapa saja, mulai remaja hingga anak-anak, Bahkan, tak jarang bapak-bapak ikut serta dalam pertandingan sepak bola ini. Kegiatan ini memang sudah berlangsung sebelum kedatangan Kia. Rei bersama teman-temannya memanfaatkan fakta ini untuk mempengaruhi anggota yang lain untuk absen di kegiatan mengajar Kia.

“Kak Kia di Balai RW sendirian ya?” kata Firman ketika mereka sedang beristirahat.

“Halah, ngapain mikirin dia, mong dia enggak mikirin kita.” jawab Rei dengan nada yang sedikit meninggi.

“Tapi kan dia udah rela ngajarin kita.”

“Heh, aku kasih tahu ya, sebenarnya Kia itu mau cari untung sendiri dari kegiatan itu. Belum ketahuan aja.” tambah Kaka, salah seorang anggota Karang Taruna lainnya yang tidak menyukai Kia.

“Masa sih, baik kayak gitu.”

“Jangan tertipu Firman, kita ini udah sering ketemu orang-orang macam dia. Sok baik, sok berhati malaikat, tapi di dalamnya iblis.” sangkal Rei yang diiringi dengan gestur tubuh yang seolah ingin menegaskan kalimatnya.

“Udahlah, daripada belajar mending kita main di sini. Ngapain repot-repot belajar kalau ujung-ujungnya kita jadi kuli, jadi petani, jadi tukang. Kita ini miskin, enggah butuh pinter. Yang penting kita harus kuat karena harus kerja keras. Salah satunya yang dengan olahraga rutin seperti ini.” tukas Kaka dengan menyakinkan.

Firman, dan beberapa anggota Karang Taruna lainnya yang ada di lapangan tersebut, hanya mengangguk-angguk walaupun sebenarnya tidak terlalu memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi.

***

Yoga langsung menuju Balai RW tanpa mampir ke rumahnya terlebih dahulu. Niatnya, ia ingin memberikan kejutan kepada para anggota Karang Taruna. Selama ini, ia selalu pulang malam dari kampus ketika kegiatan mengajar telah berakhir. Akan tetapi, begitu memarkir sepeda motornya dan melangkah menuju Balai, justru dirinya lah yang terkejut karena hanya terdapat dua orang di sana, yakni Kia dan Qila.

“Kia, mana yang lain?” tanya Yoga dengan ekspresi terkejut yang tidak dibuat-buat.

Yang ditanya juga ikut terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Kia yang sedang berkonsentrasi mengajar Qila tentu tidak siap dengan hal yang bersifat mendadak seperti ini. Melihat kakaknya tidak menjawab, Qila berinisiatif menjawab pertanyaan Yoga.

“Yang lain lagi main di lapangan mas, tadi udah Qila ajak tapi enggak mau ikut.”

“Aku enggak tanya kamu Qila, aku tanya Kia.” balas Yoga dengan nada suara yang makin meninggi. Qila takut mendengar suara Yoga, walaupun ekspresi wajahnya tidak berubah.

“A…aku enggak tahu kak, mungkin lagi ada kegiatan lain.” jawab Kia dengan tergagap tak karuan, matanya tak bisa melihat lurus ke mata Yoga.

“Jangan bilang kalau selama ini kondisinya selalu seperti ini.”

“E…enggak, baru kali ini.”

“Lihat aku Kia!” sentak Yoga, kesabarannya semakin habis. Dengan tubuh gemetar, Kia berusaha mengangkat kepalanya.

“Sekali lagi aku tanya, apa selama ini selalu seperti ini?”

Kia sudah tak mampu menjawab. Air matanya mulai tumpah karena sudah lama ia tak diperlakukan seperti ini oleh orang lain. Apalagi, selama ini Yoga selalu bersikap manis kepadanya.

Yoga tidak menunggu Kia menjawab. Ia segera keluar dari Balai RW dan mengambil motornya. Ia tahu harus ke mana untuk mencari tahu ke mana para anggota Karang Taruna yang lainnya.

***

“Pulang yuk, capek nih.” ujar Rei kepada teman-temannya. Anak-anak kecil sudah pulang terlebih dahulu karena kelelahan, sehingga para remaja menjadi bermain sendiri.

Ketika mereka baru saja beranjak dari duduk mereka, terdengar suara motor yang tidak asing. Naluri mereka menyuruh untuk kabur, namun kaki mereka tidak mau diajak bekerja sama. Seolah kaki mereka tahu, lari hanya akan membuat masalah semakin runyam.

“Ternyata seperti ini ya kelakukan kalian selama ini. Enggak nyangka, aku dibohongi sama kalian yang udah aku anggap sebagai adikku sendiri.”

“E..enggak kok mas, baru hari ini kita enggak ikutan. Lagi jenuh soalnya mas.” jawab Rei berusaha memberi pembelaan.

“Kamu kira aku bakal percaya sama kamu?”

“Beneran kok mas, suer. Kita enggak bohong.”

“Cukup, aku enggak mau tahu pokoknya nanti malam kita rapat. Semua harus datang. Kasih tahu sama yang lain. Enggak ada alasan untuk enggak datang, titik!”

Setelah berkata demikian, Yoga balik badan dan naik sepeda motornya. Setelah sampai di depan rumah, ia segera menelepon sekretarisnya, Lala.

“La, tolong sebarkan undangan untuk rapat malam ini. Wajib, enggak ada alasan buat enggak datang. Bilang, akan ada sanksi bagi mereka yang berani mangkir dari rapat ini.”

“Ada apa mas? Kok dadakan gini?” tanya Lala kebingungan.

“Kamu enggak perlu tahu sekarang, tulis aja di undangan masalah penting. Kamu bikin sekarang, langsung kamu sebar.”

Tanpa menunggu jawaban dari Lala, Yoga segera masuk ke dalam rumah. Ibunya sedang menyirami tanaman di depan rumah. Melihat anaknya datang dengan wajah yang penuh amarah, bu Dewo tentu bertanya kepada anaknya apa yang terjadi.

“Enggak ada apa-apa, cuma masalah kecil.”

“Masalah kecil kok mukanya sampai begitu. Omong-omong, kok kamu sudah pulang? Bukannya ada kuliah?”

“Dosennya enggak ada. Udah bu, aku masuk duluan mau istirahat.”

Setelah anaknya masuk ke dalam rumah, bu Dewo memasang senyum kepuasan. Tanpa mendengar dari jawaban dari Yoga pun ia tahu apa yang terjadi: Kegiatan Ruang Belajar dari Kia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Nampaknya anak-anak itu berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, begitu batin bu Dewo. Dengan perasaan riang gembira, ia kembali melanjutkan aktivitas menyiram tanamannya.

“Tahap pertama berhasil, saatnya masuk ke tahapan berikutnya.”

Fanandi's Choice

Exit mobile version