Distopia Bagi Kia

Bagian 21 Pengusiran

Published

on

Kia baru saja selesai menyapu rumah ketika terdengar suara ketukan pintu yang pelan. Ia menengok jam yang terpasang di dinding, baru pukul 3 sore. Berarti bukan pak Kusno ataupun bu Imah. Maka setelah membersihkan diri, Kia berjalan ke pintu untuk melihat siapa yang datang berkunjung. Ternyata, yang datang adalah Lala, sekretaris Karang Taruna.

“Eh, halo Kia, boleh masuk?” tanya Lala dengan sedikit canggung.

“Boleh, silahkan masuk. Mau minum apa?”

“Enggak usah repot-repot Kia, aku enggak lama kok.”

Kia sedikit merasa tidak nyaman kedatangan Lala. Bagaimanapun, ia sudah lama tak keluar rumah dan berjumpa dengan anggota Karang Taruna lainnya. Kia bisa sedikit menebak-nebak apa tujuan Lala kemari, mungkin Yoga yang mengutusnya. Di dalam hati, Kia berjanji kepada dirinya sendiri untuk menolak apapun bentuk ajakan Lala untuk kembali mengajar.

“Eh, kamu apa kabar Kia? Udah lama enggak ngelihat kamu.” Lala memulai percakapan dengan basa-basi terlebih dahulu.

“Baik kok, kamu sendiri gimana? Gimana anak-anak yang lain?”

“Baik sih, tapi kami jadi jarang kumpul sekarang. Pada sibuk sendiri-sendiri soalnya.”

“Oh begitu.”

“Eh, kamu di sini sudah ada satu tahun?” tanya Lala tiba-tiba, mengubah topik pembicaraan.

“Eh, aku? Entah ya, aku enggak pernah menghitung. Mungkin iya. Kenapa memangnya La?”

“Oh, enggak apa-apa kok, cuma penasaran aja.”

Hening menghampiri mereka berdua. Kia tentu tidak mungkin mengusir Lala dari rumah pak Kusno, sehingga ia memutuskan untuk menanti dengan sabar hingga Lala memberitahu alasannya kemari.

“Eh, jadi sebenarnya aku diminta oleh mas Yoga buat ngajak kamu mengajar lagi Kia. Semua salah paham kemarin kita harap bisa selesai dan kita bisa beraktivitas lagi seperti biasa. Kami juga minta maaf atas sikap kami yang kurang sopan ke kamu.”

“Maaf ya La, tapi aku enggak bisa.” jawab Kia dengan cepat.

“Kamu masih marah ya sama kita?”

“Enggak kok, aku enggak marah sama kalian. Aku cuma berpikir kalau aku di sini sebagai seorang pendatang. Tak pantas hanya karena seorang pendatang kalian jadi ribut satu sama lain. Kegiatan mengajar masih bisa kalian lakukan tanpa aku, toh kamu juga lumayan pandai.”

“Tapi enggak ada yang sepintar kamu, Kia. Kita butuh kamu di Karang Taruna.”

“Terima kasih, tapi keputusanku sudah bulat La. Maaf ya kalau mengecewakanmu, tapi aku enggak mau bikin masalah lebih dari ini.”

“Baik kalau emang kamu bertahan dengan keputusanmu itu, aku akan coba sampaikan ke semua anggota dan mas Yoga. Omong-omong, kamu malam ini ada rencana keluar?”

“Enggak kok, kenapa?”

“Penasaran aja, pak Kusno dan bu Imah belum balik ya?”

“Belum, masih di tempat kerjanya masing-masing. Biasanya sih sekitar jam 5.”

“Oh begitu ya, berarti kamu cuma sama Qila dong di rumah?”

“Iya, tapi Qilanya lagi tidur siang di kamar.”

“Baiklah kalau begitu, aku izin pamit dulu ya. Kalau kamu berubah pikiran, kabarin aku ya.”

Kia menjawab ajakan Lala dengan senyuman. Mereka berdua tak pernah dekat, tapi setidaknya ia tidak merasakan aura permusuhan dari Lala. Setelah menutup pintu, Kia menghembuskan napas panjang. Ia sendiri sebenarnya merasa rindu dengan kegiatan mengajar tersebut. Hanya saja ia merasa dirinya bersalah karena membuat hubungan antar anggota Karang Taruna menjadi tegang. Ia benar-benar tidak ingin hal tersebut terjadi, sehingga ia memutuskan untuk bersikap seperti ini, menjauh dari Karang Taruna yang sebenarnya telah membuatnya nyaman.

Beberapa menit setelah kepergian Lala, terdengar suara keramaian dari depan rumah. Kia mengintip dari jendela, banyak orang-orang dengan ekspresi marah menuju rumahnya. Dalam sekejap rasa ketakutan menjalar ke seluruh tubuh Kia meskipun ia tak tahu apa yang harus ia takutkan. Ia mundur beberapa langkah dari pintu, sebelum terdengar suara ketukan pintu yang luar biasa kerasnya. Tidak adanya pak Kusno ataupun bu Imah semakin memperbesar ketakutan tersebut.

“Ada apa kak, kenapa ramai sekali?” tanya Qila yang baru terbangun dari tidur siangnya.

“Kakak juga enggak tahu, kamu tunggu di sini ya, biar kakak yang keluar.”

Dengan tubuh bergetar, Kia pun membukakan pintu secara perlahan. Pintu tersebut langsung didorong dengan keras hingga Kia jatuh terhuyung ke belakang. Qila yang tadi sembunyi di depan kamar langsung menghampirinya. Kia sedikit merasa kesakitan di bagian belakang tubuhnya, namun ia tak punya waktu untuk mengurusnya karena orang-orang telah berdiri di hadapannya, laki-laki maupun perempuan.

“Enggak nyangka ya, ternyata kamu berbuat setega itu, lantas kamu pura-pura ingatan dan seenaknya tinggal di kampung kami?” ujar salah seorang bapak-bapak berkumis tebal.

“Apa maksudnya, sa..saya enggak paham.”

“Udah enggak usah bohong lagi, kita udah tahu siapa kamu ini sebenarnya, cuma wanita nakal yang kabur dari rumah karena hamil di luar nikah kan!” kali ini seorang ibu mengenakan daster berwarna hijau yang menuding-nudingkan jarinya ke arah Kia.

“Hamil? Saya benar-benar enggak paham, sumpah.” Kia semakin bingung dengan pembicaraan ini, tak tahu harus merespon seperti apa. Qila yang ada di sebelahnya memegangi Kia sambil menangis ketakutan.

“Dasar, sudah ketahuan juga masih pura-pura enggak tahu. Keluar kamu dari kampung ini, kita enggak mau nerima wanita jalang sepertimu!” kata bapak berkumis tebal itu lagi.

“Sumpah pak, saya enggak tahu apa maksud semua ini. Saya belum pernah hamil seumur hidup.”
“Bohong lagi! Tadi remaja sini sudah menemukan bangkai bayi yang kamu kuburkan di dekat gubuk. Setelah melahirkan, kamu kubur anakmu hidup-hidup, lalu pura-pura hilang ingatan, kan!”

“Demi Tuhan pak, saya enggak melakukan itu!” jawab Kia dengan suara yang mulai histeris karena panik. Tangisa Qila semakin keras, namun tak ada satupun orang yang mempedulikannya.

“Kalau gitu coba jelaskan, kenapa kamu bisa tiba-tiba ada di kampung ini?”

Kia tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Seandainya ia menjawab jujur, tak akan ada orang yang percaya dengan ceritanya. Mana mungkin ada orang yang bisa berpindah dunia melalui cermin dan tiba-tiba terdampar di tengah sawah? Kia benar-benar tidak memiliki pembelaan atas pertanyaan terakhir yang ditujukan kepadanya.

“Enggak bisa jawab kan? Semua warga di sini sudah sepakat, tidak boleh ada wanita kotor seperti kamu di kampung ini. Keluar kamu sekarang! Kita enggak peduli kamu mau hidup di mana, pulang sana ke rumah orangtuamu!”

Maka beberapa ibu-ibu menarik tangan Kia dengan kasar. Upaya Kia untuk memberontak terasa percuma karena tenaganya kecil sekali. Qila berusaha menahan tubuh Kia yang ditarik, namun apa daya ia hanyalah anak kecil berusia lima tahun. Yang ada ia justru jatuh tersungkur hingga tangannya berdarah. Kia sudah tak bisa merasakan sakit karena kesadarannya mulai menghilang. Ia benar-benar tak berdaya menghadapi orang sebanyak ini.

Tubuh Kia diseret-seret hingga ke gerbang kampung. Dilemparlah tubuhnya seperti sampah busuk yang sudah tidak dibutuhkan. Dalam keadaan terjatuh, ada beberapa orang yang melemparinya dengan berbagai benda, seperti telur, tomat, dan lain sebagainya. Tangis Kia tak berhenti-henti sejak ia dipaksa keluar dari rumah pak Kusno. Harga dirinya hancur karena mendapatkan fitnah seperti itu. Bahkan untuk dekat dengan laki-laki pun susah, bagaimana mungkin ia bisa hamil? Darimana orang-orang ini bisa menyimpulkan sesuatu yang salah seperti itu. Bangkai bayi? Ia bahkan tak tahu cara menggali tanah yang benar, apalagi hanya dengan bermodalkan tangan kosong.

Setelah berbagai lemparan ke dirinya mereda, ia memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Ada puluhan orang yang sedang menatap dirinya, termasuk beberapa anak Karang Taruna yang selama ini dikenalnya. Tentu tidak ada Yoga karena ia berada di kampus. Jadi, semua yang mereka alami bersama selama ini sama sekali tidak ada artinya? Semua ilmu dan waktu yang Kia berikan untuk mereka sama sekali tidak meninggalkan bekas? Justru, mereka ikut menghina dirinya dengan semua perlakuan ini? Ingin Kia marah dan berteriak kepada mereka semua, namun ia tahu hal itu hanya akan memperburuk keadaan.

“Saya enggak punya tempat tinggal pak, ingatan saya belum kembali. Tolong, beri saya waktu sedikit lagi setidaknya sampai saya ingat di mana saya berasal.” pinta Kia dengan memelas, menatap orang-orang yang sedang berdiri dengan pose jijik karena melihatnya.

“Bodo amat, kami enggak peduli. Pergi sana jauh-jauh!” jawab beberapa orang.

Di saat kericuhan tersebut berlangsung, tiba-tiba datang sebuah mobil berjenis SUV yang berhenti di dekat Kia. Selama ini para warga termasuk jarang melihat mobil, apalagi tipe yang lumayan mewah seperti ini. Kericuhan berhenti sejenak demi melihat siapa pemilik mobil yang berhenti di kampung ini. Setelah terdengar suara pintu terbuka, terlihat seorang wanita modis berusia 40-an keluar. Ia mengamati keadaan sekitar, sebelum akhirnya melihat sosok Kia di bawah.

“Astaga, Kia? Nak, kamukah itu?” kata wanita tersebut.

Kia terkejut setengah mati. Ia tak mengenal wanita ini, tapi mengapa ia bisa tahu namanya? Para warga pun dengan serius memperhatikan adegan yang sedang berlangsung di hadapannya.

“Ya ampun Kia anakku, setelah hampir setahun kamu menghilang, akhirnya kami menemukanmu nak! Terima kasih Tuhan!” teriak wanita tersebut dengan girang.

“Maaf, ibu siapa? Ibunya anak ini?” tanya salah seorang warga.

“Iya, ini anak saya Kia. Beberapa bulan yang lalu, ia kabur dari rumah bersama pacarnya. Lantas, pacarnya secara kurang ajar menghamili anak saya lalu pergi begitu saja tanpa mau bertanggung jawab. Hal itu membuat anak saya depresi. Lantas, ia kabur dari rumah dan enggak tahu kenapa tiba-tiba bisa ada di kampung ini. Untunglah saya menemukan informasi berita kehilangan di kantor polisi, sehingga akhirnya saya bisa bertemu anak saya.”

Wanita tersebut dari tadi terlihat ingin memeluk Kia. Namun, melihat kondisinya yang begitu menjijikkan, ia jadi mengurungkan niatnya tersebut. Maka dari itu, ia kembali ke mobil untuk mengambil sebuah handuk dan berusaha membersihkan Kia dari segala bentuk kotoran.

“Kenapa anak saya diperlakukan seperti ini? Kenapa?” wanita tersebut menunjukkan ekspresi sedihnya yang sebenarnya agak terlambat, namun tidak ada yang memperhatikan hal tersebut.

“Kami mengusirnya karena perbuatan biadabnya. Bisa-bisanya ia melahirkan di kampung ini dan mengubur bayinya hidup-hidup.”

“Astaga, sayang, benar kamu melakukan itu? Kita sudah pernah membicarakan hal ini kan? Kenapa kamu bisa senekat itu.”

Kia sama sekali tidak bisa memberikan respon dari tadi. Ia sangat bingung dengan kejadian yang menimpanya secara bertubi-tubi. Ia hanya bisa memberikan tatapan kebingungan kepada wanita yang mengaku sebagai ibunya tersebut.

“Kamu bukan ibuku.” kata Kia pada akhirnya, upaya terakhirnya untuk membela dirinya.

“Tentu saja aku ibumu, anakku sayang. Depresi yang kamu alami benar-benar sudah mencapai tahapan yang parah ya, hingga lupa sama ibumu sendiri. Para bapak ibu sekalian, saya minta maaf kalau selama ini anak saya sudah membuat masalah di sini. Tapi tenang, saya akan membawa Kia pulang ke rumah.

“Rumah Kia di sini, keluarga Kia di sini, Kia enggak kenal sama ibu!” Kia mulai memberontak lagi karena membayangkan harus terpisah dari pak Kusno, bu Imah, dan Qila.

“Ini bukan rumahmu nak, sudahlah percaya sama ibu. Nanti ada waktunya kamu akan kembali seperti semula. Toni, tolong bantu saya.”

Laki-laki bertubuh dempal yang dipanggil Toni pun keluar dari bangku supirnya. Ia membantu mengangkat Kia yang terus menerus berusaha melepaskan diri. Tangis kembali keluar dari air matanya hingga tubuhnya masuk ke dalam mobil.

“Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bapak ibu sekalian. Saya pamit dulu.”

“Kakak mana?” tanya Qila tiba-tiba setelah ia bergabung ke dalam kerumunan.

“Kakakmu mau pulang sama tante, tante ibunya Kia.” jawab wanita itu dengan manis sambil memegang lembut kepala Qila.

“Enggak boleh, kakak harus di sini, kakak enggak boleh pergi.” erang Qila semakin keras diiringi tangisan.

Beberapa warga berusaha menenangkan Qila dan menggiringnya kembali ke rumah. Sebagai anak kecil, tentu ia tak berdaya sehingga ia hanya bisa menangis keras-keras. Kia bisa melihat hal tersebut dari jendela mobil, namun ia tak bisa berbuat apa-apa karena tubuhnya telah diikat dan mulutnya dibungkam dengan lakban. Air matanya tak henti-henti keluar, pedih melihat perpisahan secara paksa ini. Bahkan, ia belum sempat bertemu dengan pak Kusno dan bu Imah untuk sekadar ucapan terima kasih. Hatinya benar-benar terluka melihat pengusiran ini.

Fanandi's Choice

Exit mobile version