Distopia Bagi Kia

Bagian 23 Hotel Alexa

Published

on

Di atas langit pulau Jawa, Kia memandang ke luar jendela pesawat yang membawanya ke Batavia, menatap awan senja yang terbentang di bawahnya. Dulu dari jendela kamar di dunia aslinya, ia sering menatap awan. Ia merasa bahwa awan dan dirinya memiliki kesamaan, yakni tidak bisa bergerak atas keinginannya sendiri. Jika awan hanya bisa bergerak sesuai kehendak angin, maka ia hanya bergerak sesuai kehendak orangtuanya. Akan tetapi, ternyata kebebasan yang ia idam-idamkan tidak seenak yang dibayangkan. Buktinya, ia mengalami berbagai hal menakutkan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Termasuk penculikan yang terjadi pada dirinya sekarang.

Ia melirik kepada wanita yang duduk di sebelahnya. Wanita itu sedang tidur terlelap, sedangkan pria yang dipanggil Toni sedang membaca sebuah buku. Kia yang duduk di dekat jendela tidak berani untuk sekadar bangkit dari kursinya untuk kencing di kamar mandi. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang selain mematuhi semua perintah yang diberikan kepadanya. Seandainya ada pisau di dekatnya, mungkin ia sudah mengiris nadinya sendiri.

***

Sesampainya di bandara Batavia, mereka bertiga langsung masuk ke dalam mobil yang telah menjemput mereka. Bandara di dunia ini sangat mirip dengan bandara yang ada di dunianya Kia, sehingga ia seketika berharap bisa bertemu dengan papa mamanya. Harapan kosong itu segera ia lenyapkan dari benaknya. Ia tahu, ia telah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan keluarganya dan masuk ke dunia lain, sehingga apapun yang terjadi pada dirinya adalah tanggung jawab dirinya sendiri. Terbit seberkas rindu kepada orangtua yang sering dibencinya itu.

Sepanjang perjalanan, Kia mendengar ungkapan-ungkapan seperti “barang bagus” dan “lumayan menjual”. Kia sama sekali tidak memahami hal tersebut. Apakah mereka sedang membicarakan dirinya? Jika iya, mengapa dirinya dianggap seolah-olah sebuah barang? Apakah memang dirinya akan dijual? Dijual sebagai apa? Kia memikirkan berbagai kemungkinan, hingga ia menemukan satu jawaban yang cukup membuatnya menangis.

“Hei, ngapain kamu nangis? Diam, berisik tahu!” ujar wanita tersebut ke arah Kia dengan nada jijik.

“Ma…maaf.” jawab Kia lirih, hampir tak terdengar.

“Percaya sama saya, selama kamu menuruti semua perintah kami, semua akan baik-baik saja. Bahkan, kamu bisa dapat uang banyak dan kehidupan yang layak, tidak seperti hidupmu di kampung itu.”

Tidak, aku tidak butuh uang banyak, aku hanya butuh kehidupan bahagia seperti di kampung itu, jawab Kia di dalam hati. Wanita ini jelas tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Ia hanya ingin hidup dengan kasih sayang di sekitarnya, dan hal tersebut telah direnggut dari dirinya secara paksa. Padahal, ketika memasuki cermin di Kota Tua itu, ia membayangkan kehidupan normal yang datar-datar saja, bukan kehidupan yang menegangkan seperti ini.

Ia jadi teringat dengan kakek tua itu. Di mana kakek tersebut berada sekarang? Apakah sang kakek bisa membantunya keluar dari ini semua? Kia sampai berharap, kakek tersebut bisa membantunya kembali ke dunia aslinya.

***

Perjalanan yang dilalui Kia tidak lama, hanya sekitar 30 menit lewat jalan tol. Kia berhenti di sebuah gedung berwarna hitam dengan tulisan “ALEXA” terpampang di bagian atasnya. Nampaknya ini merupakan sebuah hotel, namun entah mengapa terlihat sangat mencurigakan. Kia ditarik oleh laki-laki bernama Toni itu untuk memasuki hotel. Setelah berbicara sebentar dengan resepsionis, mereka melangkah ke dalam lift dan menuju ke lantai 10.

Ketika berada di lobi, Kia mencium aroma-aroma tidak sedap yang memabukkan. Kia tak pernah minum alkohol, tapi ia bisa yakin bahwa aroma yang mengambang tersebut adalah alkohol. Mungkin ada bar di dekat sana. Ketika Kia berusaha mencari sumber bau tersebut, ia tak menemukan ada ruangan yang terlihat sebagai bar. Kondisi yang tidak mengenakkan ini membuat Kia semakin merasa tertekan.

Pintu lift terbuka. Mereka berjalan menuju kamar nomor 1010. Setelah tiga ketukan yang terdengar sebagai sebuah kode, terbukalah pintu tersebut dan terlihat seorang wanita berusia 50-an dengan rambut pendek dan berbagai aksesoris emas di gelangnya. Ia bersiul ketika melihat Kia yang diiringi dengan senyum mengerikan. Wanita itu lantas menyuruh mereka masuk ke kamarnya.

“Biasanya kalian menawarkan barang yang kurang bagus, tapi kali ini nampaknya kalian berhasil menemukan berlian murni.” kata wanita tua itu sambil menghisap pipanya.

“Kami menemukannya di sebuah kampung kumuh, tempat orang-orang miskin tinggal. Dari informasi yang kami dapatkan, anak ini tiba-tiba berada di kampung itu dengan kondisi hilang ingatan.” jawab wanita yang membawa Kia ke tempat ini.

“Benarkah? Menarik sekali. Nama saya Rosi anak muda, pemilik hotel dan bisnis ini. Tak perlu menggunakan bu, langsung panggil nama saja. Namamu siapa anak cantik?”

“Kia.” jawab Kia tanpa menyembunyikan ekspresi takutnya.

“Nama yang bagus, pasti disukai oleh para pelanggan. Sepertinya kamu masih berusia 17 tahun ya?”

“Iya.”

“Kamu takut ya?”

“Iya.”

“Boleh tinggalkan kami berdua? Saya sangat tertarik dengan gadis ini.”

“Tapi uangnya?” tanya Toni.

“Bisa kita diskusikan setelah aku berbicara dengan anak ini. Kamu dan Dewi tolong keluar sebentar, tunggulah di bar. Masalah uang jangan khawatir, saya tidak pernah ingkar janji, kan?”

Mereka berdua pun menuruti apa kata Rosi dan beranjak pergi dari kamar itu. Anehnya, Kia justru merasa lebih tenang ketika bersama wanita tua ini. Setidaknya, nadanya sama sekali tidak mengintimidasi dirinya dan terdengar lebih bersahabat.

“Nah, anak manis, saya kira kamu tidak tahu pekerjaan apa yang akan saya tawarkan kepadamu.” kata Rosi memulai pembicaraan.

“Tidak.” meskipun di dalam hati ia bisa menebak apa jawabannya.

“Saya memulai bisnis ini semenjak usia muda, awalnya di pinggir kali. Akan tetapi, ternyata saya bisa sukses karena dari sananya saya memang berbakat dalam bisnis. Bahkan, saya akhirnya bisa membangun hotel ini dan bisnis lain yang tersebar di mana-mana. Kamu sudah bisa menebak apa pekerjaan saya?”

Kia menggelengkan kepala, memilih mendengar sendiri jawabannya dari Rosi.

“Entah kamu pura-pura bodoh atau memang polos. Baiklah, akan saya beritahu. Saya adalah seorang mucikari yang memiliki ratusan wanita yang siap menjual dirinya. Kamu, akan bergabung bersama ratusan wanita itu.”

Kia sudah menduga jawaban ini, tapi tetap saja ia merasa terkejut setelah mendengarnya secara langsung. Ia tahu, bahwa dirinya akan dijual untuk hal ini. Ia tidak mau melakukan perbuatan dosa ini, tapi ia tidak tahu bagaimana harus menghindarinya.

“Nanti akan saya jelaskan prosedurnya, saya juga akan mengajari bagaimana cara kerjanya. Selama kamu menurut, kamu akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak daripada di kampung itu.”

“Tolong bu, saya tidak mau, saya ingin pulang.” pinta Kia, berusaha melarikan diri dari kenyataan ini.

“Awalnya semua juga ngomong seperti itu, tapi pada akhirnya mereka justru menikmati pekerjaan ini. Tenang aja, kamu juga akan berpikiran seperti itu pada akhirnya.”

“Jangan bu, saya mohon dengan sangat bu. Jadikan saya pelayan atau apapun, tapi jangan suruh saya menjual diri.”

“Kamu punya aset tubuh yang indah anakku, sayang jika tidak dimanfaatkan. Sudah, percaya sama saya, semua akan baik-baik saja.”

Faktor tegang dan stres membuat Kia tiba-tiba tak sadarkan diri. Sejenak sebelum ia pingsan, Kia berharap dirinya tak akan pernah bangun lagi.

***

Kia baru siuman ketika matahari sudah terbit beberapa derajat. Ia segera memeriksa tubuhnya. Nampaknya tidak terjadi apa-apa selama ia jatuh pingsan. Di mana ia berada sekarang? Apakah di kamar Rosi? Melihat betapa mewahnya kamar ini membuat ia merasa percaya hal tersebut. Di perhatikan sekelilingnya, tidak ada siapapun. Beranikah ia untuk kabur?

Lalu Kia melihat sebuah jendela hotel. Ia bangkit dari kasur dan melangkah menuju jendela tersebut. Jendela tersebut bisa dibuka. Ia menengok ke bawah dan langsung merasa ngeri karena ketinggiannya. Ia berada di lantai 10, dan loncat dari sini akan langsung membuatnya tewas dalam sekejap. Tapi, rasanya kematian masih lebih baik daripada menjalani kehidupan yang seperti ini. Kia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberaniannya.

“Oh, sudah bangun kamu?” tanya Rosi dari arah belakang, membuat Kia terkejut bukan main. Dengan upaya yang tergesa-gesa, ia berusaha terlihat tenang.

“Kenapa kamu terlihat sangat tegang? Dan kenapa kamu membuka jendela?” tanya Rosi lagi, mulai curiga.

“Eh, maaf, saya cuma ingin merasakan udara pagi hari supaya lebih tenang.” jawab Kia susah payah.

“Oh begitu.” kata Rosi meskipun ia sama sekali tidak mempercayai jawaban Kia.

“Maaf, akan segera saya tutup.”

“Ini sarapanmu, dihabiskan ya.”

“Baik, terima kasih bu.”

“Setelah ini, kamu akan melayani tamu pertamamu. Kamu enggak perlu ngapain-ngapain, nurut saja sama orang itu. Dia sudah tua sih, kayaknya lebih pantas jadi kakekmu. Yang namanya laki emang enggak pernah ada puasnya. Udah mau mati juga tetap aja maksiat.”

Kia tersedak mendengar kalimat dari Rosi barusan. Benarkah ia harus menjalani kehidupan seperti ini? Benarkah ia harus menjual tubuhnya ke orang lain? Bisakah ia menolak semua ini?

“Ingat, saya sudah bayar 120 juta ke Toni dan Dewi, jadi tolong jangan kecewakan saya. Jangan pernah berpikir untuk kabur karena keamanan di sini sangat ketat. Sekali saja kamu berani untuk kabur, kamu akan mengalami pengalaman terburuk dalam hidupmu hingga kamu lebih memilih untuk mati. Paham?”

Kia tidak menjawab, hanya air matanya saja yang tumpah. Rosi tak mempedulikan hal tersebut. Ia mengambil sebuah rantai dan gembok yang tersimpan di dalam lacinya, lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Ia tidak akan membiarkan gadis ini berbuat nekat. Hampir saja ia rugi ratusan juta jika saja ia terlambat memasuki kamar. Setelah itu, ia memutuskan untuk keluar kamar.

“Ingat Kia, tamumu menunggu jam 10 pagi, nanti akan saya beritahu kalau waktunya sudah tiba. Sekarang kamu siap-siap. Jangan berbuat yang aneh-aneh. Meskipun saya enggak ada di sini, akan ada satu asisten saya yang menjagamu.”

Seusai mengatakan hal tersebut, Rosi meninggalkan Kia yang masih menangis. Kia benar-benar merasa hancur dan tak berdaya menghadapi semua ini.

“Kamu ya yang namanya Kia?”

Kia mendongakkan kepala untuk melihat siapa yang berbicara. Tampak seorang gadis berambut panjang yang usianya mungkin hanya beberapa tahun di atasnya. Ia tidak terlalu cantik, namun mampu membuat dirinya terlihat menarik.

“Rosi nyuruh aku untuk mengawasi kamu. Wanita itu takut kamu akan bunuh diri.”

Kia tidak merespon sama sekali wanita baru ini. Pikirannya sudah terlalu penuh untuk sekadar merespon orang lain.

“Perkenalkan, namaku Alice, salah satu asisten Rosi.” kata Alice sambil menyodorkan tangannya. Kia tidak menghiraukan uluran tangan tersebut.

“Eh, tidak mau ya? Baiklah, mungkin karena kamu masih merasa takut. Tapi kamu enggak perlu takut kok sama aku.”

Alice mengambil posisi duduk di sebelah Kia. Naluri sebagai seorang wanitanya mengatakan bahwa Kia butuh bantuan dirinya.

“Ini pertama kali buat kamu ya?” tanya Alice kepada Kia yang masih menolak berinteraksi dengannya.

“Semua juga begitu kok waktu pertama kali, aku juga. Tapi, Rosi itu baik kok orangnya. Dia selalu membagi uangnya dengan adil. Selama kamu menuruti semua keinginannya, kamu bakal nyaman hidup di sini.”

“Aku tidak mau menjual diriku, lebih baik aku mati.” akhirnya Kia angkat bicara.

“Tidak seburuk yang kamu bayangkan kok. Aku tahu rasanya memang berat, tapi percaya sama aku, semua akan baik-baik saja.”

Kia tidak memahami apa makna “semua akan baik-baik saja” bagi Alice, karena baginya semua tidak baik-baik saja semenjak ia diusir dan diculik hingga harus berakhir di Hotel Alexa ini. Ia berharap bisa menemukan solusi untuk kabur dari sini. Namun, hingga jam menunjukan jam sepuluh kurang lima belas menit, ia tidak menemukan satupun cara.

Fanandi's Choice

Exit mobile version