Distopia Bagi Kia
Bagian 6 Dunia di Balik Cermin
Kia tercengang selama beberapa menit setelah mendengar penuturan sang kakek. Ketakutan yang dari tadi merayapi dirinya semakin mencengkeram Kia dengan kuat. Jelas kakek ini bukan manusia biasa. Ia bisa dengan tahu dengan tepat apa yang paling Kia inginkan seumur hidupnya: Kebebasan. Hal itulah yang selama ini telah direnggut dari kehidupannya. Akan tetapi, ia tak pernah menceritakan kegundahannya tersebut kepada orang lain, apalagi ke seseorang yang baru ia temui tanpa sengaja beberapa hari yang lalu.
“Maksud kakek gimana?” tanya Kia dengan berusaha menguatkan diri semaksimal mungkin.
Sang kakek tidak langsung menjawab pertanyaan Kia. Ia memandangi cermin yang ada di hadapannya dengan lembut, seolah sedang menunggu pantulan dirinya bisa membantu menjelaskan jawabannya ke Kia. Dengan senyum yang tersungging pada wajahnya, sang kakek pada akhirnya berbicara.
“Kakek bisa tahu apa yang nak Kia selama ini rasakan, meskipun kita baru bertemu satu kali. Kakek bisa memahami bagaimana perasaan nak Kia yang merasa seperti seekor burung di dalam sangkar, mendambakan kebebasan untuk mengepakkan sayapnya melintasi angkasa yang tak terbatas.”
“Bagaimana kakek bisa tahu?” tanya Kia mendesak sang kakek, karena berbagai analisa logis yang dilakukan di dalam kepalanya tidak menemui hasil.
“Kamu tak perlu tahu nak tentang itu, sama tak perlunya dengan nama kakek. Yang jelas, kakek ingin membantu kamu menemukan kebahagiaanmu.”
“Aku sudah bahagia sekarang kek, aku punya orangtua yang kaya raya, punya banyak teman di sekolah, ke mana-mana ada supir yang siap mengantar.” kata Kia berupaya untuk membohongi sang kakek karena belum bisa mempercayainya.
“Benarkah begitu?” sang kakek memutar tubuhnya menghadap Kia, membuat Kia merasakan sensasi seseorang jika ketahuan berbohong.
“I..iya.” jawab Kia lirih, tak berani memandang sang kakek.
“Ah begitu, mungkin kakek salah menilai. Kalau memang kamu sudah bahagia, syukurlah. Kalau begitu, kakek undur diri dulu.”
Begitu melihat punggung kakek menjauh, Kia berubah pikiran. Jelas sang kakek berhasil memancing rasa ingin tahunya dengan kalimat-kalimat yang telah dilontarkan kepada Kia. Baru beberapa langkah, Kia sudah memanggil kakek tersebut.
“Kek, seandainya apa yang dikatakan kakek itu benar, bagaimana cara kakek bisa membuatku bahagia?” tanya Kia.
“Kakek akan membantu kamu untuk merasakan apa yang kamu inginkan.”
“Caranya?”
“Kamu yang paling tahu caranya.”
Pembicaraan yang berputar-putar ini membuat Kia merasa sedikit jengkel. Akan tetapi, Kia tidak mungkin marah-marah di hadapan kakek itu. Bahkan pada kondisi biasapun, Kia hampir tidak pernah marah. Lebih tepatnya, Kia jarang sekali menunjukkan ekspresi maupun perasaannya di hadapan orang lain. Ia lebih sering memasang wajah datar yang tidak menyiratkan apapun.
“Maaf kek, aku enggak paham maksud kakek.”
“Kalau begitu biar kakek bantu. Yuk, kita kembali ke cermin yang tadi.”
Maka mereka berdua pun berjalan menuju cermin berukuran raksasa tadi. Kia dan sang kakek sama-sama menatap cermin, mengamati bayangan diri mereka masing-masing. Kia memutuskan untuk menunggu sang kakek berbicara terlebih dahulu karena khawatir jika ia yang bertanya, jawabannya akan kembali berputar-putar. Kia mendengar tarikan nafas panjang dari sang kakek, seolah ada masalah berat yang harus disampaikan kepada Kia.
“Coba lihat pantulan bayanganmu di cermin, bukankah kamu sering berandai-andai bertukar posisi dengannya? Membayangkan betapa enaknya hidup tanpa harus menanggung beban hidup yang berat, hanya muncul ketika pemilik bayangan datang untuk bercermin.”
Kia tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ketakutan itu masih ada, namun berangsur-angsur lenyap berkat kehangatan yang dipancarkan oleh kakek tersebut. Berkecamuk di dalam hati Kia, antara tetap berbohong atau bercerita yang sebenarnya. Kia tidak mengerti kewajiban apa yang membuatnya harus berkata jujur kepada orang asing yang ada di hadapannya ini. Hanya saja, Kia mulai merasa bahwa ia bisa percaya kepada kakek tersebut.
“Hidup ini adalah pilihan nak Kia, oleh karena itu kakek bisa menawarkan dua hal yang bisa kamu pilih.”
“Apa itu kek?”
“Tetap tinggal di dunia ini, atau mencoba kehidupan baru di dunia lain.”
“Maksud kakek, aku harus mati gitu?”
“Hahaha, tentu tidak nak. Ingat, bahwa kakek ingin kamu merasakan yang namanya kebahagiaan.”
“Lantas, bagaimana caranya aku bisa masuk ke dunia lain itu?”
Sang kakek menjawabnya dengan memegang cermin itu dengan tangan kanannya. Kia masih meraba jawaban apa yang akan diberikan olehnya.
“Dengan masuk ke dalam cermin antik ini.”
Kepercayaan yang sudah dibangun Kia runtuh seketika. Kakek ini pasti sudah tidak waras, batin Kia. Tidak mungkin ada dunia lain hanya dengan memasuki cermin tersebut. Lebih tidak mungkin lagi Kia yang berbentuk padat bisa memasuki cermin yang juga berbentuk padat. Nampaknya kakek ini menjadi gila karena kehidupan sulit di masa tuanya. Kia mejadi sedikit merasa jengkel karena telah membuang-buang waktu di sini.
“Maaf kek, aku harus segera pulang, hari sudah sore, museum juga sebentar lagi tutup.”
“Kalau itu pilihan nak Kia, silahkan. Tapi jika nak Kia menginginkan kehidupan baru seperti yang diangankan, nak Kia bisa kembali lagi ke museum ini dan masuk ke dalam cermin ini.”
Itu nampaknya tidak akan pernah terjadi, jawab Kia di dalam hati sambil berlalu melewati sang kakek. Sebenci apapun Kia terhadap kehidupannya, ia tidak berminat untuk hidup di dunia lain, apalagi jika disampaikan oleh seorang kakek yang pikirannya kurang waras. Tidak biasanya Kia bersikap kurang sopan terhadap orang yang lebih tua, namun ia begitu gusar karena telah mendengarkan celotehannya. Jika Kia bisa jujur kepada dirinya sendiri, sebenarnya ia merasa demikian karena sempat menaruh asa untuk merasakan kehidupan lain yang lebih baik dari yang ia jalani sekarang.
***
Malamnya, Kia tidak bisa tidur. Mau bagaimanapun, kejadian di museum hari ini begitu mempengaruhi dirinya. Makan malam yang telah disiapkan untuk dirinya tidak disentuh sama sekali. Ia merasa tidak nafsu makan sama sekali. Kia memilih untuk berbar