Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 14 Leon dan Sica, Babak Pertama
“Omong-omong, bagaimana kau bisa seringkali membaca pikiran orang?” tanyaku suatu hari ketika aku dan Kenji berada di kelas ketika jam istirahat.
“Mungkin karena aku hobi baca novel detektif, aku jadi banyak belajar bagaimana menganalisa sesuatu, termasuk membaca pikiran orang.” jawabnya dengan tenang.
Aku berusaha terlihat tetap dingin mendengar jawabannya, meskipun dalam hatiku terbesit rasa kagum akan analisanya -banyak analisanya- yang terlihat begitu mudah, namun kita tidak akan tahu hingga ia memberitahu kita.
“Bisa jadi, mungkin suatu saat aku akan meminjam bukumu. Rasanya menyenangkan jika kita bisa menganalisa orang.”
“Tentu Le, pinjam saja. Aku merekomendasikan Sherlock Holmes untukmu, kamu pasti terkagum-kagum dengan kemampuan deduksinya.”
“Aku meragukan itu.” jawabku mengakhiri percakapan.
Hanya Kenji yang rutin mengunjungi bangkuku, sehingga seringkali aku hanya mengobrol berdua dengannya ketika istirahat. Aku tidak terlalu suka keluar kelas, apalagi ke kantin karena keramaiannya. Aku terbiasa hidup soliter, sehingga merasa tidak nyaman dengan kerumunan. Lagipula, aku jarang sekali merasa lapar dan kuat menahannya berjam-jam, sehingga pergi ke kantin tidak kumasukkan ke dalam to-do-list–ku.
Kenji memutuskan untuk ke kantin sebentar untuk membeli makanan ringan. Setelah aku menolak ajakannya, ia mengajak Pierre untuk menemaninya. Aku pun kembali ke bangkuku sendiri, menanti jam istirahat selesai.
Belum ada satu menit aku duduk, Gita dan Sica tampak masuk ke dalam kelas, lalu duduk di kursinya masing-masing. Apa aku perlu kembali berusaha untuk berinteraksi dengan semua teman satu kelas? Jika iya, maka aku perlu mengajak bicara Sica, karena kami belum pernah sekali pun berbincang-bincang. Namun bagaimana cara memulai percakapan? Ia duduk di belakang Pierre, lumayan jauh duduknya dari tempatku. Tidak mungkin aku tiba-tiba berteriak memanggil namanya dari belakang.
Lalu datanglah inspirasi tersebut. Papan tulis masih penuh dengan materi pelajaran sebelumnya, kenapa aku tidak ambil inisiatif untuk menghapusnya? Setelah selesai, aku bisa mengajak bicara Sica dan itu akan terlihat natural sekali. Maka majulah diriku ke depan kelas.
Setelah selesai, aku berbalik, dan untuk kedua kalinya dalam hidupku, aku merasa jantungku berdetak kencang. Sekali, namun cukup untuk membuat sesak dada. Lihatlah, dengan duduk diam sambil membaca buku pelajaran, ia terlihat begitu anggun. Karena dulu masih diliputi kabut kegelapan, aku tidak menyadari bahwa aku memiliki teman sekelas secantik ini. Senyumannya pada tempo hari membuatku lupa bahwa ia pernah membentakku dan berjanji untuk balas dendam kepadanya. Meskipun pada awalnya membenci itu, sekarang aku merasa kagum akan keberaniannya.
Baru saja aku akan mengeluarkan suara, terdengar tanda istirahat berakhir. Aku mengurungkan niatku untuk berbicara dan berjalan lurus kembali ke bangkuku.
***
Mata pelajaran setalah istirahat adalah bahasa Inggris. Oleh guru kami, Mam Sur, diperintahkan untuk membuat dialog percakapan dalam bahasa Inggris. Satu kelompok dua atau tiga orang karena jumlah anak kelas kami ganjil. Tapi kelompoknya diacak, terserah Mam Sur mau memasangkan siapa dengan siapa.
“Mam! Saya sama Andrea ya mam! Kan kami anak kembar!” sahut Andra ketika Mam akan mengumumkan siapa – siapa saja yang akan berpasangan.
“No, it`s forbidden.”
Mereka berdua memasang wajah kecewa.
“Okay kids, I will call your name and your partner.”
Aku berharap bisa berpasangan dengan Kenji, karena aku belum merasa dekat dengan yang lain sehingga khawatir akan membuat masalah dengan mereka.
“Kenji dengan Vanya.”
Harapan pertamaku hilang, mungkin aku memang ditakdirkan untuk belajar bergaul dengan yang lain.
“Subejo dengan Sarah.”
Antara anak desa dan kota pikirku.
“Alexander dengan Jessica.”
Hening, atau setidaknya aku merasa hening. Entahlah, mungkin sudah takdir aku harus berinteraksi dengan Sica, setelah tadi terpotong oleh bel.
“Allright children, sekarang duduk dengan kelompok kalian masing-masing, dan buat percakapan sesuai dengan tema pelajaran hari ini dan buatlah semenarik mungkin. Come on go go go.”
Sementara yang lain mulai berpindah dari kursinya, aku hanya duduk di kursiku, tak mampu bergerak. Jessica melihat ke arahku. Melihat aku diam, ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju diriku. Diambilnya kursi Juna yang sudah ditinggalkan pemiliknya, lalu ia meletakkan kursi tersebut di sebelahku.
“Hi Leon good morning.” sapanya penuh semangat, membuatku semakin susah mengontrol emosi.
“Good morning too.” jawabku dengan berusaha keras menjaga image sebagai Leon yang dingin.
“Baru kali ini ya kita bicara seperti ini, hehe.”
“Iya.”
“Oh tidak, kita pernah bicara di hari pertama kita. Tapi sepertinya itu bukan percakapan, melainkan pertengkaran, hehehe.” katanya manis.
“Iya, maaf.”
“Aku juga minta maaf, yang penting kan sekarang kamu sudah berubah. Terus Leon, kita mau buat percakapan tentang apa ini?”
“Terserah kamu aja.” otakku yang jenius tidak bisa bekerja seperti biasa.
“Emmm, menurutku gimana kalau tentang pergi ke konser? Jadi ceritanya aku mau pergi ke konser untuk menyanyi, kamu jadi fansku.”
Oke, mulai sekarang aku menjadi fansmu.
“Terus Le, kamu ketemu aku gitu di jalan. Kamu tanya-tanyain aku, minta tanda tangan, minta foto bareng, pasti seru kan! Gimana, kamu setuju?”
“Aku setuju saja.”
“Jangan gitu ta Le, kok kayaknya kamu enggak seneng, apa diganti aja ya?”
“Jangan!” tanpa kusadari, aku berteriak seperti itu. “Itu sudah bagus, aku setuju.” kataku dengan ditambahi senyum yang memaksa, sampai Sica terlihat heran melihat pola aneh pada bibirku yang seperti itu.
“Emm, ya sudah kalau begitu. Ayo kita buat yang terbaik!”
***
“Time`s up! Now who want go first?”Mam Sur bertepuk tangan agar anak-anak diam.
“Tidak ada? Kalau begitu Mam yang nunjuk. Yang maju pertama Kenji and Vanya.”
Cerita mereka berdua cukup unik. Kenji jadi seorang penyapu jalan, dan Ve jadi bosnya. Bos tersebut sangat terkesima dengan kerja si penyapu jalan karena ia sangat rajin dan tak pernah mengeluh. Oleh karena itu Kenji diangkat menjadi manager perusahaannya. Tidak kusangka, seorang Kenji dapat berakting sedemikian baik. Aku mengira, anak yang tak pandai berbohong seperti dirinya tidak akan pandai bermain peran.
“Next, Alexander and Jessica.”
Meskipun aku tidak memiliki rasa takut, drama seperti ini lumayan membuatku grogi. Aku yang sering membanggakan diri sebagai sosok yang pemberani ini ternyata bisa merasakan ketegangan. Memang, aku terlalu tinggi menilai diriku sendiri selama ini.
“Ayo Leon, kita berusaha semaksimal mungkin ya.”ajak Sica dengan menarik diriku dari kursiku.”
Mungkin ini yang dinamakan takdir, inilah percakapan yang telah terhenti karena dering bel.
***
Cerita kami diawali dengan narasi yang dibacakan oleh Jessica.
“Hello my friends, good morning. Before the story begins, please let me introduce ourselves first. My name is Jessica Christiani and my partner is Alexander Napoleon Caesar.”
Terdengar tepuk tangan yang meriah dari teman-teman, terutama dari Kenji.
“Pada suatu hari, Jessica atau saya, akan melakukan show di sebuah kota. Pada saat ketika saya sedang jalan-jalan di sekitar area konser, tiba-tiba saya bertabrakan dengan sesorang yang ternyata penggemar berat saya” semua ini diucapkan menggunakan bahasa Inggris.
Kulawan getaran jantungku yang dahsyat untuk memberikan yang terbaik untuk Sica, dan untuk nilaiku sendiri tentunya. Adegan pertama, Sica sedang berjalan dengan memegang handphone di tangannya. Langsung terbesit pikiranku untuk meminta nomernya, namun aku lupa bahwa aku tidak mempunyai handphone. Kuurungkan niat ini, dan memulai peranku sebagai fans berat dari Jessica.
“Ow, I`m sorry, are you okay?” tanyaku setelah bertabrakan dengan Sica.
“No no I`m fine thank you.” jawabnya dengan membersihkan debu di roknya.
“Bukannya kamu Jessica, penyanyi yang terkenal di seluruh dunia dan albumnya terjual ratusan juta?” tanyaku dengan ditambahi improvisasi yang berlebihan sehingga Jessica menahan tawanya, namun dalam sekejap ia bisa mengendalikan dirinya kembali.
“Yeah, you’re right, I’m Jessica.”
“I’m your big fans!” jawabku dengam begitu antusias, entah mengapa. Kulirik semua teman-temanku, semua orang menunjukkan keheranan. Jantungku makin cepat berdetak.
“Ah, really? Why?” tanya Jessica memutus lirikanku ke teman-teman.
“Karena kau mempunyai suara yang amat sangat merdu, karena kau sangat cantik dan karena kau adalah perempuan terbaik yang pernah aku kenal.” jawabku begitu saja tanpa mengingat-ingat teks yang sudah kami susun berdua.
“Maksudku, penyanyi wanita terbaik.” tambahku buru-buru, takut menimbulkan kecurigaan pada teman-teman yang lain.
“Ah, I see.” jawab Jessica dengan nada terkejut namun ia berusaha menguasai dirinya.
“Bisa aku minta tanda tanganmu?” aku menyodorkan buku yang aku bawa tadi.
“Okay.” ia mengambil buku dari tanganku dan menandatanganinya satu halaman penuh. Mungkin ia benar-benar terobsesi jadi penyanyi.
“Thank you, bisakah aku mengambil foto kita berdua.?”
“Of course.”
Bodohnya aku! Aku tidak punya handphone, bagaimana aku bisa berakting minta foto tanpa kamera? Kenapa aku lupa sama sekali tentang hal ini? Karena saking senangnya atas apa yang menimpaku hari ini?
“I’m sorry Jessica, kameraku tertinggal.” improvisasiku untuk mengatasi masalah ini.
“Don’t worry, kita bisa foto dengan handphoneku.”
Jessica mengangkat handphonenya dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sejenak aku bisa merasakan rambutnya yang halus menempel di pipiku.
“Hey, please smile.” kata Sica padaku, mengerti bahwa wajahku terlihat sedikit tegang.
“Oh, okay.” akupun tersenyum samar, susah sekali memasang senyum di wajah ini.
“That’s it, you can take my phone. I’m sorry, tetapi aku harus segera ke konser, apakah kau datang?”
“Yeah, of course.”
“Then, see you later.”
Berakhirlah sudah dialog kami. Teman-teman kami sampai memberikan standing ovation kepada kami diiringi dengan siulan dan ketukan meja. Kami berdua kembali ke tempat duduk kami. Jessica memasang wajah puas atas penampilannya tadi. Logatnya bagus sekali, seperti benar-benar orang Inggris.
“Pronounciation-mu bagus sekali Sica.”pujiku kepadanya
“Thank you, hehe. Kamu juga lumayan kok, lancar pula.”
“Tapi aku grogi setengah mati.”
“Iya, kelihatan kok. Tak kusangka Leon yang angkuh di hari pertama itu bisa segrogi itu.”
“Tapi kamu bagus kok Leon aktingnya, seneng deh bisa satu kelompok sama kamu.”
Babak pertama, Leon dan Jessica, happy ending.
***
Diantara penampilan anak-anak yang lain, ada dua yang menarik perhatian. Pertama, tentu sang ratu fantasi, Rika, bersama pasangan dramanya, Nita. Ia membuat cerita yang benar-benar membutuhkan imajinasi untuk memahaminya. Ceritanya, dua orang remaja biasa tiba-tiba mendapatkan kekuatan super dari minuman yang mereka minum. Sayangnya salah satu dari mereka, Rika, menggunakannya untuk tujuan yang tidak benar sehingga Nita harus membuatnya sadar. Setelah “pertarungan” singkat, Rika kehilangan kekuatannya dan sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini salah.
Yang kedua, yang membuat satu kelas geram, adalah kelompok Sarah dan Bejo. Aku tidak tahu siapa yan menulis ceritanya, tapi pada drama mereka sangat jelas Sarah berperan sebagai orang kaya dan Bejo sebagai pengemis. Sarah mengeluarkan berbagai hinaan, dalam bahasa Inggris, kepada Bejo. Kata-kata seperti miskin, pemalas, bau dan lain-lain mengalir dari bibirnya yang tipisi itu. Tidak banyak Bejo berkata-kata, dan drama itu berakhir begitu saja ketika Sarah meninggalkan Bejo. Tidak ada yang memberi tepuk tangan, bahkan Mam Sur pun geleng-geleng kepala. Sungguh angkuh orang Jakarta ini, meskipun aku yakin tidak semua orang Jakarta seperti Sarah.
You must be logged in to post a comment Login