Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 5 Kebaikan Demi Kebaikan
Aku terheran-heran ketika memasuki gerbang sekolah. Bagaimana tidak, para pemarah yang kemarin stand by di sini tidak ada. Aku tengok alrojiku, masih kurang tujuh menit lagi untuk masuk. Ada apa? Apa karena perbuatanku kemarin, sekolah memutuskan untuk meniadakan MOS?
Ternyata dugaanku salah. Mereka tampaknya sedang berkumpul di depan kelasku. Ada apa? Apa ada yang meninggal? Jika iya, aku harap Kenjilah orangnya. Mungkin karena kena penyakit tawa akut, terlalu banyak tertawa. Aku belum pernah mendengar ada kasus kematian karena terlalu banyak tertawa, tapi aku sangat berharap ada penyebab kematian seperti ini.
Ketika aku berjalan ke arah kelas, aku melihat semua teman sekelas dan OSIS MPK sedang berkumpul, tampaknya sedang mendiskusikan sesuatu. Lalu tampaklah si dungu itu yang menyadari kehadiranku. Aku berusaha menganalisa apa yang sedang terjadi. Pintu masih tertutup, tidak ada satu pun orang yang berlumur cat hitam. Sial, serangan balikku gagal! Ada yang menyadari jebakanku dan akibatnya tidak seorang pun terkena seranganku. Sial.
“Hei kawan, baru datang kamu rupanya. Ada orang nganggur yang bersedia repot-repot memasang jebakan di pintu kelas kita. Untung saja tadi aku menyadarinya karena ada beberapa kejanggalan seperti bau cat yang samar-samar. Setelah Bejo datang, aku memintanya untuk memapahku untuk melihat kelas melalui ventilasi. Benar saja, ada sekaleng cat yang dipasang dengan mekanisme sederhana yang akan tumpah ketika kita membuka pintu. Sekarang kita sedang diskusi bagaimana cara terbaik membuang jebakan ini tanpa harus menumpahkan cat tersebut ataupun memecahkan kaca ventilasi.” jelasnya panjang lebar.
Aku hanya terdiam mendengarnya. Brengsek, mekanisme rumitku dibilang sederhana. Ingin aku membungkam mulut busuknya itu, namun aku sedang berada di kerumunan. Yang lain pun sedang menoleh ke arahku, dengan mata sinis dan penuh dengan kebencian seperti kemarin. Tampaknya mereka memiliki kecurigaan bahwa akulah pelakunya.
“Tampaknya pilihan terbaik adalah melepas kaca ventilasi, lalu mengambil kaleng catnya. Ini kami sedang menunggu alat untuk memotong kaca, tampaknya si Andra terjebak macet, haha.” tawanya sampai memamerkan semua giginya yang berjejer rapi dan putih.
Datanglah Andra dengan semacam gergaji kaca atau apalah namanya, dengan beberapa luka lebam masih nampak pada wajahnya. Karena Kenji payah dalam menggunakan alat-alat, maka Bejo memapah Andra agar ia bisa memotong kaca ventilasinya. Cat berhasil diambil, maka kelaspun dibuka. Aku berpura-pura tidak peduli, dan segera berjalan melewati belasan orang yang berkerumun di depan pintu.
Pemandangan di dalam kelas juga tidak jauh berbeda. Banyak mata tertuju padaku dengan tatapan sinis. Untunglah aku sudah terlalu kebal menghadapi situasi seperti ini. Meskipun serangan cat hitamku ini gagal, setidaknya aku berhasil membuat salah dua dari mereka terluka, si Sudarwono bersaudara. Ini merupakan hiburan tersendiri buat diriku.
“Hei cowok enggak punya aturan, setidaknya kamu berterima kasih kepada teman-teman yang sudah membuat kita berhasil masuk kelas tanpa terkena jebakan itu.” tanya suara wanita dari arah depan. Ternyata wanita yang berani menyentakku kemarin.
“Sudah.” jawabku asal. Padahal aku belum berkata satu patahpun kepada mereka. Seperti biasa, aku tidak terlalu peduli.
“Kenji, apa benar cowok itu benar-benar sudah berterima kasih?” tanya wanita cerewet itu kepada Kenji ketika ia berjalan memasuki kelas dengan membenahi lengan bajunya. Kenji melihat ke arahku dengan senyumnya yang memuakkan. Jika ia bilang belum, aku sudah menyiapkan berbagai alternatif jawaban sebagai pembelaku.
“Sudah kok Sica. Ia tadi sempat berterimakasih kepadaku, walaupun mungkin belum berterima kasih ke lainnya.” jawabnya dengan senyum sepuluh senti kepada wanita itu. Wanita yang dipanggil Sica itu mengangguk dengan ragu.
Aku terbengong setelah mendengarnya. Ia berbohong? Untuk apa? Melindungiku? Untuk apa ia melakukan hal tidak berguna seperti itu? Ia berbuat baik kepadaku, meskipun aku sudah berlaku seperti ini? Aku terbayang-bayang oleh kebaikan pertamanya ini. Aku berusaha untuk tidak menghiraukan perasaanku ini, perasaan bersalah yang sudah lama hilang dalam hidupku. Aku makin membencinya dengan segala kebaikannya. Sangat benci.
***
MOS berjalan dengan membosankan seperti yang kuduga. Karena kemarin aku tak sempat mengikuti acara ini, maka baru hari inilah aku merasakannya. Ternyata memang masih jauh lebih baik berdiam diri di ruang BP berjam-jam daripada mengikuti kegiatan bodoh ini. Petuah-petuah tak penting dari guru, omelan dan teriakan saling bersahutan di kelas yang diproduksi oleh orang utan berbalut seragam, mata-mata sinis yang senantiasa melirik ke arahku. Semoga saja kegiatan tak penting ini segera berakhir.
Ketika bel pulang telah berdering, atau mungkin lebih tepatnya bernyanyi karena bel pulang di sekolah ini adalah lagu Padamu Negeri, aku ingin segera berusaha meninggalkan kelas secepat mungkin. Sayangnya, aku dihalangi oleh anak desa yang menjabat jadi ketua kelas ini. Aku lupa siapa namanya.
“Kamu kemarin menghajar Sudarwono bersaudara ya?” tanyanya dengan sok tegas.
“Mereka yang memulai serangan.”
“Tapi selain bibir, kamu tidak terlihat terluka.”
“Karena aku memang kuat, tidak seperti mereka berdua.”
Salah satu dari Sudarwono langsung berdiri dari bangkunya, namun Sudarwono betina segera menahannya untuk tidak berdiri, dan mulai membisikkan sesuatu. Aku hanya mendengar kata rencana itu. Aku tidak peduli apa maksudnya.
“Kami mencurigaimu bahwa kamulah yang telah memasang jebakan cat itu.” katanya lagi dengan jari telunjuk mengarah lurus ke arahku.
“Bukan aku.” jawabku dengan menepis tangannya yang mengacung tepat ke depan wajahku dengan kasar. Aku sangat benci diperlakukan seperti itu.
“Kamu kira kami akan percaya begitu saja?”
“Kalau kalian punya bukti, tunjukkan di depanku, baru salahkan aku bodoh.”
Tanpa disangka-sangka sebuah air mendarat di kepalaku dari arah samping. Aku terlonjak ke depan dan segera mengepalkan tanganku untuk melakukan pukulan balasan. Namun kepalanku terhenti karena ketua kelas menahan diriku. Berbeda dengan si kembar, orang ini punya tenaga yang lumayan.
Aku melihat penyerangku adalah perempuan yang duduk di serongku. Sungguh aku belum hafal nama anggota kelas ini, dan memang aku tidak ada niatan untuk menghafalnya.
“Walaupun aku cewek, aku enggak punya rasa takut untuk berkelahi dengan cowok brengsek.” katanya dengan kesal, gemetar bibirnya menahan emosi.
“Aku juga tidak akan segan menghajar seorang wanita.”
“Sudah-sudah, jangan bertengkar, enggak baik buat kesehatan.” kata Kenji yang tiba-tiba muncul dari depan.
“Yang membuat suasana kelas keruh dari kemarin dia Kenji, siapa lagi coba?” jawab Andra mulai membalik badannya. Mereka pikir dengan mengelilingiku, aku akan merasa terintimidasi? Maaf saja, itu tidak akan berhasil.
“Tidak mungkin dia yang melakukannya. Buat apa dia susah payah seperti itu?” Kenji menambahkan, seolah berusaha membelaku. Kebaikannya benar-benar membuat muak.
“Alasannya jelas, dia musuh kita bersama.” jawab Jessica, yang sudah bergabung dengan kerumunan untuk mengintimidasiku.
“Tidak, jangan berpikir seperti itu. Kita semua adalah teman. Lagipula kalian tidak punya bukti, janganlah menuduh orang sembarangan, itu namanya fitnah.”
Sebenarnya aku sangat ingin menghajar semua orang disini termasuk si dungu yang telah sok berbaik hati untuk menjadi pengacaraku. Namun ancaman dari BP tampaknya tidak main-main. Maka dengan sangat bersusah payah, aku menahan diri dan berjalan cepat menembus kerumunan dan meninggalkan kelas ini.
Selama perjalanan pulang, kepalaku kembali terngiang-ngiang oleh kebaikan Kenji. Ada apa dengan orang itu? Padahal aku sudah sering berbuat jahat kepadanya, mengapa ia tetap berbuat baik padaku? Apakah dia sinting atau tidak waras? Aku tidak ingin terjebak dengan segala macam pemikiran ini. Aku tidak ingin dijerat rasa bersalah terus. Aku akan segera melupakan kebaikan demi kebaikan yang ia lakukan terhadap diriku.
***
Mungkin karena keangkuhan diriku, aku bisa dengan cepat melupakan kebaikan-kebaikan yang memuakkan itu. Sekarang yang harus kupikirkan adalah serangan apa yang kira-kira akan berhasil membuat mereka marah atau sedih. Mereka, terutama si dungu itu, tidak bisa dianggap remeh. Mereka memiliki otak-otak yang lumayan untuk kelas pecundang. Aku harus bisa memutar otak, dan menemukan sesuatu yang sangat jahat. Hingga aku tertidur, tidak kutemukan satupun rencana jahat yang terlintas di benakku.
Tidurku tidak lama, hanya sekitar lima belas menit, ketika aku mendengar suara mengendap-endap. Mungkin hanya tikus yang sedang mencari makan di tengah malam. Namun setelah alam sadarku telah pulih, aku berpikir lagi, apakah tikus pernah mengendap-endap? Jangan-jangan maling? Aku segera buka mataku dan bangkit dari kasurku.
Gerakanku yang tiba-tiba membuat dia teriak histeris. Tubuhnya gemetar tak karuan seolah ada gempa bumi. Dia memandangku penuh dengan ketakutan. Tikus itu ternyata Gisella Margaret Spencer, adikku.
“Mau apa kau mengendap-endap di kamarku malam-malam?!” tanyaku dengan intonasi yang tinggi dan kasar.
“Aa. . anu kak, Gi . . gisel cu . . cuma mau lihat kakak.” jawabnya tergagap penuh ketakutan.
“Kau kira aku percaya dengan jawaban seperti itu?! Ayo jawab yang jujur, kau mau apa?!” kini suaraku makin mengeras.
“Gi . . gisel cu . . cuma mau pinjam buku – buku bekas kakak SMP, bu . . buat baca-baca kak.” dia kini tak berani memandang ke arah wajahku.
“Tidak boleh!! Buku-buku itu masih kubutuhkan!!”
“Cu . . Cuma sse . . sebentar saja kak, boleh ya?” matanya kini sudah tergenang air mata.
“Sekali tidak tetap tidak!! Lagipula kau itu bodoh, tidak mungkin bisa memahami bukuku!!”
Gisel terdiam, lalu menjatuhkan buku-bukuku yang tadi ia sembunyikan di punggungnya. Lalu tanpa mengucap apapun, ia pergi meninggalkan kamarku, dengan buku berserakan di lantaiku.
“Hei bodoh, kembalikan semua bukuku ke tempatnya!!” sentakku berusaha untuk memanggilnya kembali untuk membersihkan kamarku. Tidak ada tanggapan. Emosi, aku segera keluar dari kamar dan pergi menuju kamar adikku. Dia sedang duduk di sudut kamar dengan memegangi kedua lututnya. Terdengar suara tangis yang sendu. Aku bukanlah orang yang mudah terprovokasi dengan emosi sendu seperti itu. Langsung saja aku mulai amarahku.
“Kau tak dengar, dari tadi aku memanggilmu!! Kau mulai berani melawanku ya??”
Tak ada jawaban.
“Hei bodoh, kau dengar tidak!!”
Dia mengangkat kepala, matanya sangat sembab. Dengan mulai terbata-bata ia mulai berbicara.
“Maaf kak, Gisel mau sendiri dulu, besok pasti Gisel bersihkan. Gisel janji kak.”
“Lalu kau akan membaca buku-bukuku selama aku sekolah kan?! Jadi selama ini kau seperti itu?! Kurang ajar!!” aku maju ke arahnya dan segera ingin menampar wajahnya.
Gerakanku terhenti seketika begitu aku melihat wajahku sendiri di cermin. Aku melihat gambaran bagaimana wajahku sekarang, wajah penuh amarah bagaikan dirasuki setan. Aku terkejut melihat betapa buruknya wajahku ketika sedang emosi. Kutoleh adikku, terlihat wajahnya memohon belas kasihan dariku. Entah kenapa aku menjadi merasa kasihan terhadapnya. Aku mengepalkan tanganku, menghela nafas panjang, dan pergi menghindari tatapan ibanya.
Entah mengapa aku jadi terus termenung di kasurku. Mengapa aku jadi seperti ini? Sejak kapan aku menjadi seperti ini? Apakah aku dari dulu sudah seperti ini? Apa yang terjadi pada diriku? Apa yang terjadi dalam hidupku selama ini? Sejak kapan aku berubah menjadi orang yang tidak memiliki perasaan?
Namun bukan Alexander Napoleon Caesar namanya jika tidak bisa menghilangkan perasaan-perasaan seperti itu. Segera mungkin aku segera menyusupkan pikiran-pikiran jahat tentang adikku, tentang sekolahku, tentang negaraku, tentang duniaku. Maka lenyaplah semua perasaan bersalah tadi.
Aku segera bangun dari tempat tidurku, mengambil buku yang berserakan di lantai, dan menyimpannya di lemari yang memiliki kunci. Kuambil juga beberapa buku yang ada di mejaku. Aku sampai rela membongkar-bongkar rumah untuk memastikan tidak ada satupun buku yang berada di luar lemariku ini.
Mengapa aku begitu pelit terhadap Gisel, padahal dia hanya ingin membaca? Satu-satunya jawaban adalah aku tidak suka melakukan hal-hal yang tidak berguna. Jika sekolah saja tidak mau menerimanya, apakah mungkin dia bisa memahami apa yang ada di dalam buku pelajaran? Hal yang sangat-sangat mustahil.
Karena itulah, aku tidak akan mengijinkannya untuk membaca buku-buku milikku. Jika ingin membaca, beli saja buku sendiri. Toh semua uang kiriman dari paman aku yang memegang. Aku yang memiliki kekuasaan di rumah ini, maka adikku harus tunduk padaku. Aku tersenyum bangga melihat kejahatan diriku.
Begitu hebatnya diriku, bagaikan seorang Adolf Hitler. Ya, aku adalah diktator di rumah ini. Aku akan berusaha menjadikan diriku sebagai diktator kelak, dengan begitu aku bisa membalaskan semua dendamku ke semua manusia tentang pahitnya hidupku. Ilmuwan sekaligus diktaktor nampak keren. Bukankah namaku terdiri dari tiga diktator hebat pula? Meskipun aku benci orangtuaku, aku berterima kasih kepada mereka karena telah memberikan nama yang hebat kepadaku.
Jam menunjukkan pukul dua. Masih ada beberapa waktu untuk tidur. Maka segera kurebahkan diriku tanpa takut akan ada lagi tikus yang berani mengendap-endap pada tengah malam.
You must be logged in to post a comment Login