Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 77 Mbok Sum
Alamat rumah Mbok Sum ternyata masih satu kampung dengan tempat tinggal Bejo. Hal ini disadari oleh Kenji karena kebetulan ia mengetahui semua alamat teman-teman. Ketika menghubungi Bejo via telepon, ia mengonfirmasi kalau di kampungnya ada orang yang bernama Mbok Sum. Kami pun merasa bersemangat dan membuat janji untuk pergi ke kampung Bejo pada hari Senin besok sepulang sekolah.
Sambil menanti pertemuan dengan Mbok Sum, aku dan Kenji mulai mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari tetangga yang tinggal di dekat rumahku di hari Minggunya. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, mengingat aku tidak pernah mengenal mereka. Bertemu mungkin sering, tapi tidak sekalipun aku pernah menegur sapa ke mereka. Kenji berusaha menenangkanku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
Sayang, kenyataannya tidak seperti itu. Tetangga yang tinggal di sebelah kananku hanya mendengus ketika kami menjelaskan maksud kedatangan kami. Reaksi serupa ditunjukkan oleh tetangga yang tinggal di sebelah kiriku. Rumah depanku, bekas rumah Malik, kosong. Kami pun berusaha mencari informasi ke tetangga lain yang lebih jauh. Sayang, kami benar-benar tidak mendapatkan apa selain sakit hati karena merasa tidak diterima.
“Nampaknya dosa masa laluku akan selalu membayang ya, Ken,” kataku ketika kami berdua telah kembali ke rumahku. Gisel yang sedang mengerjakan tugasnya sampai memutuskan berhenti dan menghampiriku.
“Bukan salah kakak, kok. Gisel juga sering disinisin sama tetangga-tetangga sini, emang gitu sifatnya mereka.”
“Mungkin kamu diperlakukan seperti itu juga karena kakak. Ingat, dulu kakak sangat sombong sehingga mereka bisa jadi menyimpan dendam sampai sekarang.”
“Tapi kan itu udah kejadian yang dulu banget, masa mereka masih dendam sampai sekarang. Kakak juga enggak pernah merugikan mereka.”
“Mungkin para tetangga belum menyadari perubahanmu yang sekarang, Le. Kamu juga minim interaksi dengan mereka, kan?”
“Iya Ken.”
“Tenang, Le. Mungkin kita kurang mendapatkan hasil yang memuaskan dari para tetangga, tapi ingat kita masih punya dua narasumber yang bisa diharapkan.”
“Aku sudah mendapatkan nomornya dari Andra. Tapi…”
“Tapi kamu belum menghubunginya karena gengsi, kan?”
Aku menganggukkan kepala. Aku ingat betul bagaimana ketika kelulusan Malik, ia berkata bahwa akan tiba saatnya aku membutuhkan dirinya. Waktu itu, aku hanya menganggap perkataannya sebagai angin lalu. Siapa yang menyangka bahwa aku benar-benar butuh bertemu dengannya. Dengan berkata seperti itu, apakah ia benar-benar mengetahui sesuatu tentang hari di mana ibu meninggal?
“Kalau begitu, biar aku yang menghubunginya Le. Tapi pinjam handphonemu ya, kan aku enggak punya, hahaha.”
Aku mengoper handphone mungilku ke Kenji. Ia mengambilnya dan pergi ke depan rumah, mungkin karena tidak ingin memancing emosiku muncul. Beberapa menit kemudian, ia kembali masuk ke dalam rumah dengan wajah yang cerah.
“Sip, ia bersedia ditemui hari Sabtu depan. Jadwal di kampusnya cukup padat di weekday.”
“Sudah tahu alamatnya?”
“Aman, bisa naik angkutan kok.”
Setelah mengatakan itu, Kenji tiba-tiba terbatuk cukup keras. Aku segera mengambilkan air putih untuknya.
“Terima kasih, Le. Kayaknya gara-gara kena debu tempo hari.”
“Akhir-akhiri ini kesehatanmu terlihat kurang baik. Mau kuantar ke dokter?”
“Enggak usah, cuma sakit ringan kok. Beberapa hari juga sembuh sendiri.”
“Tapi kau juga harus tetap minum obat.”
“Tenang Le, aku udah minum obat di rumah kok.”
Waktu itu, aku memercayai kata-katanya begitu saja karena selama ini ia belum pernah membohongiku sekalipun. Kenji adalah orang terjujur yang pernah kutemui dalam hidupku.
***
“Maaf ya Jo jadi merepotkan,” kataku ketika aku, Kenji, dan Gisel berada di dalam angkutan umum yang bernama Bison. Pada dasarnya ini merupakan minibus yang sering digunakan untuk perjalanan antar kota. Ini adalah pertama kalinya aku menaiki kendaraan jenis ini.
“Tenang aja, Le, toh sekolah kita juga udah enggak ada apa-apa lagi. Perjalanannya juga enggak begitu lama, kok,” jawab Bejo.
Rumah Bejo terletak di sebuah desa yang berlokasi di Nongkojajar, Pasuruan. Jika menggunakan kendaraan umum, katanya akan menghabiskan waktu sekitar satu jam perjalanan. Selama ini Bejo memilih untuk kos di dekat sekolah untuk menghemat tenaga dan ongkos. Untungnya, ada rumah di dekat sekolah yang menyewakan kamar dengan harga murah.
Setelah turun dari angkutan umum, kami langsung disambut oleh paklik-nya Bejo yang membawa kendaraan Kijang berwarna biru. Sepanjang perjalanan, paklik banyak bercerita bermacam-macam. Untungnya Kenji jago dalam urusan meladeni orang, sehingga aku tidak perlu banyak berbicara sepanjang perjalanan. Sekitar 15 menit kemudian, kami sampai di depan rumah Mbok Sum yang tidak berpagar. Bejo mengatakan kalau ia akan menunggu di rumahnya sembari menunjuk rumah berwarna hijau, hanya berjarak tiga rumah dari tempatku berdiri sekarang. Gisel langsung mengucapkan salam dengan lantangnya.
Begitu Mbok Sum keluar membukakan pintu, Gisel langsung berlari memeluknya. Air mata tidak bisa ia bendung lagi sebagai bentuk rindunya. Mbok Sum juga tidak bisa menahan keterkejutannya melihat Gisel tiba-tiba ada di depan rumahnya. Sembari memeluk Gisel, matanya menemukan Bejo dan aku. Sekilas ia terlihat takut, namun segera menyungingkan senyum di bibirnya. Aku pun berusaha sesopan mungkin membalas senyuman tersebut.
Ia memang terlihat sudah cukup berumur dengan kerutan-kerutan yang ada di wajahnya, mungkin usianya sudah mencapai 50-an. Tubuh kecilnya termasuk kurus hingga tulang pipinya terlihat menonjol. Walaupun begitu, rambutnya masih berwarna hitam sempurna tanpa ada uban sehelai pun. Dari auranya, ia memang terlihat sebagai orang yang penyayang.
Kami pun diajak masuk setelah tangis Gisel mereda. Ia meminta kami semua untuk duduk di ruang tamunya dan segera masuk ke dapurnya walaupun kami sudah berkata jangan repot-repot. Lima menit kemudian, teh manis dengan asap mengepul tersuguhkan di hadapan kami. Mbok Sum mengambil posisi duduk tepat di samping Gisel. Adikku itu langsung mengalungkan lengannya ke tubuh Mbok Sum.
“Wah, mbok kaget lihat kalian tiba-tiba ada di sini. Enggak nyangka.”
“Iya, Gisel kangen banget sama mbok.”
“Maaf ya mbok belum sempat ke sana lagi, sering repot.”
“Iya, tadi di jalan Gisel udah dengar sedikit ceritanya.”
“Syukurlah kalian semua sehat, mbok senang lihatnya. Mas Leon juga sehat, kan?”
Pertanyaan yang datang tiba-tiba tersebut membuatku tersentak karena dari tadi sama sekali belum bersuara. Padahal, ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan kepadanya. Perasaan canggung benar-benar menyelimuti diriku sekarang.
“Leon sehat kok mbok, udah banyak berubah,” justru Kenji yang pada akhirnya menjawab pertanyaan tersebut.
“Kalau enggak salah, masnya ini anaknya Pak Toshi, kan?”
“Hehehe, ternyata mbok masih ingat, ya.”
“Eh, mbok kenal sama Kak Kenji?” tanya Gisel dengan wajah kebingungan.
“Dulu ibunya Gisel sering minta tolong anterin makanan ke rumahnya Pak Toshi. Di sana, mbok sering ketemu sama Kenji. Walaupun ibu,” ia sempat berhenti sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, ”walaupun ibu sudah enggak ada, mbok kadang masih ngirim makanan.”
Aku terkejut mendengar fakta ini. Ternyata, Kenji juga mengenal sosok Mbok Sum walaupun hanya sekilas. Mengapa ia tidak pernah menceritakan hal ini kepadaku?
“Aku enggak bermaksud menyembunyikannya kok, Le. Aku cuma sekadar tahu, enggak kenal betul sama Mbok Sum,” kata Kenji menjelaskan tanpa diminta. Mungkin ia bisa menebaknya dari raut mukaku.
“Sekarang Gisel udah sekolah lo, mbok! Semua gara-gara Kak Leon dan Kak Kenji!”
Gisel dan Mbok Sum pun langsung banyak bercerita satu sama lain. Kenji sesekali ikut menimpali. Hanya aku yang diam mendengar mereka semua bercerita. Perasaan bersalahku seolah mengunci rapat mulutku untuk bersuara.
“Nah, selain silahturami, Leon juga punya pertanyaan buat mbok,” ujar Kenji tiba-tiba yang membuatku sekali lagi tersentak. Aku menjadi sedikit gelagapan, apalagi mata mbok memandangku dengan penuh selidik. Diawali dengan berdeham, aku pun mulai mengajukan pertanyaan yang sudah kusimpan dari tadi.
“Sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan ke mbok,” kataku memulai percakapan. Entah mengapa tenggorakanku rasanya kering sekali.
“Boleh, mas.”
“Mbok masih ingat hari ketika ibu enggak ada?”
Mbok Sum terlihat sedikit terkejut mendengarkan pertanyaanku. Ia melirik ke arah Gisel yang masih terus memeganginya. Mungkin ia sedang mempertimbangkan jawaban apa yang akan dikeluarkannya.
“Ingat mas, memangnya kenapa?”
“Gini mbok, emm, mbok ingat gimana kejadiannya hari itu? Mungkin ada kata-kata terakhir dari ibu?”
Mbok Sum melempar pandangannya ke arah luar rumah seolah sedang menerawang masa lalunya. Dengan satu tarikan napas, ia memulai ceritanya.
“Waktu itu mbok kerja kayak biasa, hari Senin. Adek kalau enggak salah waktu itu…”
“Ditolak sama sekolah lagi kan, mbok?” sambung Gisel dengan santainya.
“Iya, dan waktu itu ayahnya Mas Leon dan Dek Gisel kebetulan lagi di rumah. Mbok dengar dari dapur kalau ayah dan ibu lagi tengkar. Mbok juga dengar suara kaca pecah. Waktu itu mbok takut ibu kenapa-napa, tapi mbok sendiri enggak berani ngapain-ngapain.
“Setelah mbok dengar suara pintu dibanting, mbok memberanikan diri buat lihat ke ruang tamu. Di sana, ibu lagi nangis di kursi sambil meluk adek yang ketiduran. Mbok langsung duduk di lantai, berusaha nenangin ibu.”
“Ayah sama ibu sering bertengkar ya, mbok?” tanyaku meskipun sudah tahu jawabannya.
“Dibilang sering juga enggak, soalnya ayah kan juga agak jarang di rumah.”
“Kalau boleh tahu, mbok kerja di tempat saya mulai tahun berapa? Saya agak lupa soalnya.”
“Kalau enggak salah beberapa bulan setelah Gisel lahir. Waktu itu, mbok masih kerja sama tetangga depan. Ibunya mas lagi butuh orang buat bantu-bantu, terus sama majikan mbok ditawarin mau enggak selang-seling. Jadi sehari sama majikan lama, sehari sama ibu.”
“Tetangga depan?”
“Iya, sama orang yang tinggal di depan rumah. Aduh, siapa namanya kok mbok lupa.”
“Yang anaknya dua itu, bukan?”
“Iya, anaknya dua laki-laki. Kalau enggak salah yang kecil seumuran sama mas.”
Fakta ini mengejutkanku. Siapa yang menyangka kalau mbok pernah bekerja di rumah Malik?
“Tetangga depan itu baik banget, mas. Meskipun kerja di tempatnya mas, gaji mbok tetap ditanggung penuh sama mereka. Kayaknya mereka dekat banget sama ibu sampai rela gitu. Tapi setelah ibu enggak ada, majikan lama mbok tiba-tiba pindah. Karena enggak tega ninggal mas dan adek, mbok akhirnya tetap kerja di rumah tanpa dibayar. Untungnya waktu itu mbok dapat uang lumayan dari jual sawah, jadi enggak masalah. Mbok juga dapat bantuan uang dari paman kalian meskipun enggak rutin.”
Aku ingin mengucapkan terima kasih sekaligus meminta maaf atas perlakukanku di masa lampau. Hanya saja, rasanya begitu berat untuk melakukannya seolah ada sesuatu yang menahan di tenggorokan. Karena aku diam, mbok melanjutkan ceritanya.
“Mbok lanjut cerita ya. Enggak lama setelah ayah kalian pergi, ada suara ketukan pintu. Ibu segera berdiri dan mengintip siapa yang datang melalui jendela. Wajahnya terlihat sedikit panik waktu itu. Ibu langsung meminta mbok untuk pulang lebih cepat dan enggak lupa memberikan uang ongkos. Tanpa banyak tanya, mbok pun langsung pulang lewat pintu belakang. Kalau mbok tahu besoknya ibu enggak ada, mbok enggak bakalan pulang waktu itu,” Mbok Sum mengakhiri ceritanya.
Kami semua terdiam mendengarkan cerita tersebut. Bertambah satu lagi fakta baru yang baru kami ketahui: ada seseorang yang datang di hari kematian ibu. Bisa jadi dugaan Rika benar, dan pertemuan kali ini semakin memperkuat dugaan tersebut. Aku memandang Kenji yang berusaha untuk tetap tenang, berusaha menebak apa yang ada di dalam kepalanya setelah mendengar cerita ini.
“Mbok minta maaf ya karena pada akhirnya harus berhenti kerja. Bapaknya mbok sakit keras dan enggak ada yang ngerawat. Baru beberapa minggu kemarin meninggal.”
“Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya ya, mbok,” kata Kenji dengan wajah penuh simpati.
“Iya, terima kasih mas. Sekarang mbok sibuk ngurus ternak lele, alhamdulillah lancar.”
“Terima kasih mbok atas ceritanya, terima kasih atas bantuannya selama ini. Maaf kalau selama ini saya sudah membuat susah mbok karena perilaku saya,” akhirnya ucapan tersebut bisa keluar dari tenggorokanku.
“Sama-sama mas, mbok sama sekali enggak merasa dibuat susah kok. Kayaknya mas juga udah banyak berubah, jadi lebih ceria gitu. Mbok senang lihatnya.”
Setelah itu, kami pun melakukan percakapan biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan hari kematian ibu. Aku ingin memberikan waktu kepada Gisel untuk melepas kerinduannya kepada Mbok Sum yang sudah sangat berjasa kepada keluarga kami. Sepulang dari sini, aku akan mulai memikirkan lagi mengenai misteri yang ada di hadapanku.