Politik & Negara
Berbeda Berarti Unfollow
Karena berbagai kesibukan, penulis cukup lama tidak menulis di blog ini. Ketika dicek, sarang laba-laba sudah ada di mana-mana. Maka ketika ada waktu luang ketika bulan puasa ini, penulis akan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
Kali ini penulis hendak berbagi sedikit cerita tentang salah satu side job penulis di tempat kerja, sebagai admin Instagram. Ada satu kejadian yang membuat penulis menjadi sedikit berpikir tentang sikap masyarakat terhadap perbedaan pendapat.
Judul Artikel yang Click Bait
Jadi ketika itu, penulis mengirim sebuah feed yang sedikit menyinggung salah satu paslon presiden.
Memang, judulnya agak sedikit ofensif, tapi jika dibaca isi artikelnya, maka orang akan paham bahwa artikel tersebut sama sekali tidak bermaksud untuk merendahkan salah satu paslon.
Permasalahannya, pendukung paslon ini langsung terpancing provokasi hanya karena judul tanpa berusaha memahami isi artikelnya terlebih dahulu.
Banyak komentar yang mengata-ngatai dengan istilah hewan, mungkin pembaca bisa menebak hewan apa yang dituliskan. Selain makian, mereka juga menulis bahwa mereka akan unfollow akun Instagram tersebut.
Membuat pembaca merasakan emosi, apapun bentuknya, adalah salah satu unsur yang membuat judul berita menjadi menarik. Istilahnya, click bait. Hal ini dianggap lumrah, selama isi artikel tidak melenceng jadi judul.
Berbeda Berarti Unfollow dan Boikot
Unfollow dan gerakan memboikot suatu produk sudah kerap terjadi ketika masa-masa pemilu. Alasannya, karena mereka menganggap yang di-unfollow tersebut memihak lawan pasangan calon yang didukungnya.
Memang, ada yang melakukan hal tersebut karena alasan-alasan lain, tapi penulis meyakini bahwa alasan utamanya adalah perbedaan pilihan.
Ini menunjukkan bahwa kita belum bisa menghargai perbedaan. Seperti yang dituliskan oleh salah satu komik lokal, perbuatan ini bisa dianggap sebagai sebuah kenorakan.
Bayangkan, di antara ratusan gambar yang pernah penulis pos, banyak orang yang melakukan unfollow hanya karena satu pos. Ibaratnya, di antara banyaknya kebaikan, yang dilihat orang hanya satu keburukan.
Jika hanya sekadar unfollow akun media sosial, penulis yakin tidak terlalu besar dampaknya. Tapi jika sampai boikot produk? Penulis membayangkan ada berapa banyak pekerja yang terkena dampaknya.
Mungkin yang paling baru adalah gerakan boikot nasi padang hanya karena masyarakat sana mayoritas memilih salah satu pasangan calon.
Lah, salahnya di mana? Ketika penulis membaca beberapa komentarnya, ada yang berkata bahwa masyarakat sana tidak bisa berterima kasih atas kerja keras petahana.
Tentu hal ini menjadi lucu sekaligus ngenes. Sekali lagi, salah satu alasan hal ini bisa terjadi adalah karena fanatisme yang berlebihan.
Yang salah tentu bukan gerakan boikotnya, melainkan tujuan dari boikot tersebut. Jika dilakukan sebagai bentuk protes, misalnya boikot produk Israel karena serangan teror yang dilakukan, tentu boleh-boleh saja.
Penutup
Perbedaan adalah hal yang sangat normal. Kewajiban kita adalah untuk menghargai perbedaan tersebut. Jangan sampai kita bermusuhan hanya karena itu.
Jika ada media yang menyudutkan salah satu tokoh yang kita hormati, tak usahlah emosi. Anggap saja sebagai bahan evaluasi, siapa tahu berita tersebut ada benarnya.
Beda kalau media tersebut menyebar hoaks. Kalau sudah seperti itu, kita wajib menjauhinya karena media tersebut secara terang-terangan telah menyebarkan kebohongan yang tak berdasar.
Penulis masih berharap bahwa kedewasaan berpolitik yang kita miliki akan semakin menjadi lebih baik ke depannya. Dengan demikian, gerakan unfollow maupun boikot bisa berkurang.
Kebayoran Lama, 7 Mei 2019, terinspirasi setelah banyak orang yang melakukan unfollow pada akun Instagram JalanTikus.
Photo by Toa Heftiba on Unsplash