Tentang Rasa

Perihal Meninggalkan dan Ditinggalkan

Published

on

Pepatah lama mengatakan, setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Masalahnya, perpisahan yang seperti apa?

Terkadang ada perpisahan baik-baik, ada yang buruk, ada yang menyeramkan. Yang pasti, tidak ada perpisahan yang menyenangkan. Semua perpisahan terasa menyesakkan dada.

Hubungan antar manusia pun tak bisa terelakkan dari perpisahan. Dipisahkan maut, visi yang berbeda, kesalahpahaman, hubungan yang toxic, hingga yang tiba-tiba terasa asing.

Kebanyakan, selalu ada dua pihak. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan.

Orang yang memutuskan untuk meninggalkan pasti punya alasannya sendiri. Demi kebaikan bersama, karena menuruti ego, karena tak tahan dengan kondisi, dan masih banyak lainnya.

Bagaimana dengan yang ditinggalkan? Pilihannya lebih sedikit, antara ikhlas menerima atau merutuk keadaan yang ia alami.

Perihal meninggalkan dan ditinggalkan memang tak pernah semudah yang terlihat.

Terkadang, ada alasan-alasan yang membuat kita tetap ingin tinggal. Terjebak kenangan, terjerat komitmen, mengkhawatirkan masa depan.

Baik yang meninggalkan maupun ditinggalkan sejatinya sama-sama berat jika perpisahan sebenarnya bukan hal yang diinginkan. Perpisahan menjadi sesuatu yang harus dilakukan.

Meninggalkan bukan hanya tentang memutuskan hubungan dengan seseorang. Meninggalkan artinya harus bisa menerima kenyataan bahwa setelah ini hidup tak akan lagi sama tanpanya.

Meninggalkan bukan hanya tentang mengucapkan selamat tinggal kepada orang yang kita sayang. Meninggalkan artinya harus berusaha melupakan berbagai memori indah yang membuat kita menyimpulkan senyum.

Ditinggalkan bukan hanya tentang melihatnya pergi menjauh tanpa sebab yang pasti. Ditinggalkan artinya berusaha memahaminya walau tak ada penjelasan apapun.

Ditinggalkan bukan hanya tentang menerima takdir. Ditinggalkan artinya harus bersiap dengan salah satu kondisi hati yang paling buruk.

Pada akhirnya, perihal meninggalkan dan ditinggalkan tidak pernah sederhana.

***

Hubungan antar manusia memang tidak ada yang abadi. Keluarga, teman, pacar, semua pasti memiliki akhir dengan bentuk yang berbeda-beda. Secara garis besar, ada dua penyebab utamanya: kematian atau hubungan yang memburuk.

Jika berpisah karena kematian, mungkin kesannya “lebih mudah” karena hal tersebut sudah takdir sehingga kita mau tidak mau harus menerima keadaan. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menentang takdir.

Tapi jika hubungan berakhir karena hubungan yang memburuk, rasanya terasa lebih susah dan berat untuk kedua belah pihak. Mungkin ada satu dua hal yang membuatnya terasa mudah, tapi kebanyakan tidak seperti itu.

Naluri kita sebagai manusia akan berusaha untuk mempertahankan atau memperbaiki hubungan yang buruk tersebut. Kecuali, jika orang tersebut membuat kesalahan yang fatal sehingga rasanya lebih baik berpisah jalan dengannya.

Penulis merasa bahwa perasaan ditinggalkan adalah salah satu perasaan terburuk yang pernah dirasakan. Apalagi, Penulis adalah tipe orang yang lebih suka menyalahkan diri sendiri daripada menyalahkan orang lain.

Akibatnya, Penulis seolah terus merutuk diri sendiri dan menyesali perbuatan yang dianggap sebagai pemicu buruknya hubungan. Padahal, belum tentu prasangka Penulis benar dan mungkin orang tersebut memang sekadar ingin menjauh saja.

Walau sudah sering merasa ditinggalkan, hal tersebut masih terasa berat bagi Penulis. Mungkin, seiring berjalannya waktu, Penulis bisa belajar untuk lebih dewasa dan menerima keadaan tersebut.


Lawang, 3 Juli 2021, terinspirasi ketika sedang merasa (lagi-lagi) ditinggalkan

Photo by Alexander Lam on Unsplash

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version