Sosial Budaya

Beda Artis Korea Selatan dan Indonesia Ketika Pemilu

Published

on

Beberapa waktu lalu, ada fenomena yang menarik perhatian Penulis dari dunia per-K-Pop-an. Karina, salah satu member dari aespo aespa mengunggah sebuah foto di Instagram di mana dia berpose peace.

Sebagaimana simbol peace pada umumnya, tentu Karina membentuk tanda V dengan kedua jarinya. Masalahnya, banyak yang menganggap kalau pos tersebut merupakan bentuk dukungan Karina terhadap salah satu calon presiden di Korea Selatan, yang memang sedang menjalani masa pemilu setelah presidennya dimakzulkan akhir tahun lalu.

Hal ini makin diperparah karena Karina menggunakan jaket dengan tulisan angka 2 dan berwarna merah, warna yang identik dengan partai pengusung calon kandidat nomor 2. Netizen pun langsung heboh dengan pos tersebut.

Tak lama setelah itu, Karina menghapus pos tersebut dan merilis permintaan maaf. SM Entertainment selaku agensi yang menaungi Karina juga merilis klarifikasi. Sejak itu, banyak sekali public figure di Korea yang berhati-hati dalam menunjukkan gestur angka.

Salah satu yang sempat Penulis lihat adalah Hearts2Hearts, yang merupakan adik dari aespo aespa. Dalam salah satu live-nya, beberapa member-nya tanpa sengaja menunjukkan gestur angka yang langsung menimbulkan kepanikan dan segera meralat gesturnya.

Lantas, apakah memang ada aturan public figure yang memiliki basis penggemar besar dilarang menunjukkan dukungan politiknya? Sebenarnya tidak ada peraturan resmi yang melarang, hanya saja hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Istilahnya, “No Color, No Gesture“.

Kok, yang jelas-jelas mendukung. Yang dianggap “tersirat” seperti Karina saja langsung mendapatkan kecaman dari masyarakat Korea Selatan. Bahkan, sampai ada yang mengatakan “mereka sudah tamat.” Mungkin ini yang komentar memang hater-nya aespo aespa saja.

Membandingkan Fenomena Ini dengan Negara Sendiri

Nah, melihat fenomena seperti ini, tentu Penulis jadi membandingkan dengan negaranya sendiri. Kalau di sini, mengapa para artis justru menjadi daya tarik utama untuk mendulang suara? Para artis bisa dengan bebas menunjukkan dukungannya kepada salah satu calon.

Menariknya, para artis pendukung ini bisa mendapatkan posisi-posisi di pemerintahan apabila calon yang didukung berhasil menang. Bayangkan saja Karina tiba-tiba menjadi staf khusus Presiden Korea Selatan. Sulit dibayangkan, bukan? Itulah bedanya.

Ada dua perspektif berbeda yang bisa dikulik dari sini. Pertama, masyarakat Korea Selatan memiliki standar tinggi dalam hal netralitas dan menghindari polarisasi. Siapa yang tidak memiliki keterkaitan dengan kelompok politik tertentu lebih baik diam.

Seperti yang sudah Penulis singgung di atas, public figure di Korea Selatan (terlebih idol K-Pop) memiliki basis penggemar yang sangat besar. Jika mereka sudah menunjukkan dukungan kepada salah satu calon, besar kemungkinan penggemar akan ikut pilihan mereka.

Jika hal tersebut benar-benar terjadi, akibatnya adalah pemilihan berdasarkan apa kata idola mereka, bukan karena murni pilihan pribadi atau preferensi politik mereka. Yang terpilih pun bisa dibilang karena populer, bukan visi misi yang dimiliki (salah satu penyakit tulen demokrasi).

Dari perspektif lain, masyarakat Korea Selatan saja yang terlalu kaku dan tidak menerapkan demokrasi secara utuh. Toh, di negara yang katanya paling demokrasi (baca: Amerika Serikat), para artisnya juga gencar mengampanyekan jagoannya secara blak-blakan.

Artis atau public figure juga memiliki hak suara dan punya hak untuk ikut mengampanyekan calon yang mereka dukung, apa pun alasannya. Bisa karena satu ideologi, bisa karena dibayar. Yang jelas, mereka siap dicap netizen sebagai buzzer.

Lantas, bagaimana dengan penggemar mereka yang memilih karena pilihan para public figure ini? Ya, salah mereka sendiri, kenapa tidak punya pendirian. Mereka harusnya menyadari bahwa sosok idola dan pilihan politik seharusnya dipisahkan.

Kalau yang ekstrem, mungkin mereka akan berhenti mengidolakan seseorang apabila pilihan politiknya berbeda. Dari yang dulu memuja-muja dan like semua pos di media sosial, berbalik menjadi penghujat nomor satu.

Terlepas dari kedua perspektif di atas, ini adalah kali kedua Penulis secara pribadi membandingkan artis Korea Selatan dan Indonesia. Sebelumnya, Penulis sering membandingkan perbedaan gaya hidup mereka, tapi rasanya itu bisa dibahas di tulisan lain.

***

Pertanyaannya sekarang, mana yang benar? Apakah Korea Selatan yang kaku atau Indonesia yang selow? Menurut Penulis, tidak ada yang salah atau benar. Toh, masing-masing negara memiliki budaya yang berbeda, sehingga masing-masing tahu mana yang terbaik untuknya.

Mungkin artis Korea Selatan memang harus ekstra hati-hati karena masyarakatnya cukup sensitif dengan masalah politik. Bayangkan saja, Rei dari IVE saja sampai takut ketika disuruh melakukan aegyo dengan menunjuk pipinya menggunakan telunjuk. Padahal ia dari Jepang, yang artinya tidak punya hak pilih.

Sebaliknya, masyarakat Indonesia tampaknya cukup selow ketika melihat para artisnya menjadi tim kampanye calon presiden tertentu. Tentu ada saling hujat di sana-sini, tapi rasanya tidak seekstrem masyarakat Korea Selatan. Paling dicap buzzer aja, apalagi yang sampai dapat jabatan di pemerintahan terpilih.


Lawang, 8 Juni 2025, terinspirasi setelah melihat bagaimana takutnya para idol K-Pop menunjukkan gestur angka ketika masa jelang pemilu presiden Korea Selatan

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version