Sosial Budaya
Gue, Lu, dan Jakarta Sentris
Sejak zaman masih bocah, Penulis sudah mengetahui kalau kosa kata gue lo itu identik dengan Jakarta. Maka di dalam mindset Penulis, kata tersebut hanya digunakan oleh orang-orang Jakarta.
Kenyataannya tidak seperti itu lagi. Banyak orang daerah yang notabene bukan orang Jakarta atau tidak tinggal/sedang di Jakarta menggunakan kata tersebut.
Fenomena ini menggelitik Penulis untuk mencari tahu apa penyebab dan latar belakangnya. Apalagi, banyak orang-orang terdekat di sekitar Penulis yang menunjukkan hal tersebut.
Jakarta Sentris dalam Bahasa
Mengapa anak yang berada di Sulawesi bisa mengetahui seperti apa orang Jakarta berbicara? Kalau zaman dulu jawabannya mudah, melalui saluran televisi ataupun radio.
Sejak dulu, tayangan-tayangan yang ada di televisi terlihat sangat Jakarta Sentris. Istilah ini pertama kali Penulis ketahui dari Pakde Penulis melalui sebuah diskusi.
Mau sinetron, kuis, bahkan tayangan berita pun berpusat di Jakarta. Lihat saja kantor pusat stasiun televisi, semuanya berlokasi di Jakarta. Mereka hanya punya kantor cabang di daerah.
Akhirnya, logat-logat Jakarta yang mendominasi di televisi pun menjadi konsumsi seluruh orang di Indonesia. Tidak sedikit yang merasa ingin menirunya, entah apa motivasinya.
Bagaimana dengan sekarang? Lebih parah dengan kehadiran media sosial. Mau orang Jakarta ataupun Malang, kebanyakan akan mengirim tweet atau status dengan menggunakan kata gue atau w, bukan aku atau saya.
Ada banyak alasannya, mulai dari ingin terlihat gaul, tidak ingin merasa ketinggalan, meningkatkan kepercayaan diri, meniru idola, hingga agar tidak dinilai kampungan oleh netizen lainnya.
Proses ini terjadi secara alamiah. Kalau tidak salah slangnya adalah Monkey See Monkey Do. Manusia meniru tindakan manusia lain tanpa benar-benar memahami esensinya.
Apakah ini salah? Tentu tidak. Orang bebas mengekspresikan dirinya dengan bahasa yang ia nyaman gunakan. Hanya saja, ada sisi negatif yang membuat Penulis cukup merasa prihatin.
Superioritas Bahasa
Orang yang menggunakan logat Jakarta biasanya akan merasa lebih keren dan prestise. Akibatnya, bahasa daerah bahkan Bahasa Indonesia yang baku akan terlihat inferior.
Mayoritas manusia tidak ingin terlihat inferior, sehingga mereka memutuskan untuk ikut menggunakan bahasa yang dianggap superior agar tidak merasa kecil dan lebih percaya diri.
Apalagi, orang yang menggunakan bahasa daerah kerap mendapatkan label buruk seperti kampungan dan norak. Akibatnya jelas, orang akan merasa malu untuk menggunakannya.
Tidak heran kalau hegemoni logat-logat Jakarta (tidak hanya gue lu) tumbuh subur di tengah-tengah kita, terutama generasi milenial yang sangat dekat dengan media sosial.
Bahkan ada yang menganggap kalau bahasa gaul Jakarta ini berpotensi merusak Bahasa Indonesia sekaligus menggerus bahasa-bahasa daerah yang makin ditinggalkan.
Apa artinya orang daerah tidak boleh menggunakan logat Jakarta? Tentu saja boleh, apalagi yang sedang merantau atau sedang di Jakarta sebagai proses adaptasi. Kata teman Penulis, menyesuaikan diri dengan di mana kita berada.
Penulis terkadang merasa inferior ketika mengobrol dengan teman-temannya yang memang orang Jakarta. Demi adaptasi, Penulis mencoba meniru gaya mereka berbicara. Tapi, hasilnya lucu.
Gue dan Lu untuk Lidah Penulis
Pada penerbangan Surabaya-Jakarta pada awal tahun 2020, Penulis tanpa sengaja bertemu dengan teman SMA yang sudah tidak bertemu semenjak kelulusan. Ia kuliah di Bandung dan merintis karir di Jakarta.
Iseng Penulis bercerita, kalau Penulis masih kesulitan untuk menggunakan kata gue lo. Ternyata, teman Penulis yang sudah 3 tahun di Jakarta ini juga masih menggunakan aku kamu.
Penulis sudah hampir 2 tahun di Jakarta. Selama itu pula, Penulis terus mengalami kesusahan untuk mengucapkan kata gue. Selain karena tidak terbiasa, lidah Jawa Penulis membuatnya terdengar aneh. G-terlalu tebal dan ue-nya terlalu mantul.
Daripada ditertawakan karena terlalu memaksa, Penulis pun lebih sering menggunakan kata aku kamu. Kalau menggunakan lu, Penulis masih bisa karena tingkat kemudahannya.
Tapi jadinya lucu, karena Penulis sering mengombinasikan aku dan lu. Agak enggak nyambung, sehingga seringkali Penulis mengganti lu dengan kata dirimu yang lebih netral. Untungnya, teman-teman di sini yang asli Jakarta mau memahami ini.
Tidak hanya itu, Penulis juga mengalami kesulitan menghafal istilah uang seperti ceban, goceng, gocap, dan lain sebagainya. Sangat sering Penulis tertukar-tukar, sehingga sering bertanya terlebih dahulu sebelum mengatakannya.
Karena merasa lidahnya tidak cocok dengan logat Jakarta, Penulis mencoba untuk lebih percaya diri menggunakan bahasa yang dikuasai. Bahkan, tak jarang Penulis menggunakan Bahasa Jawa ketika mengobrol dengan teman yang juga bisa berbahasa Jawa.
Mungkin tidak semua seperti Penulis. Pasti ada banyak orang daerah yang bisa langsung lancar berlogat Jakarta dan terdengar natural. Rasanya Penulis butuh latihan yang insentif agar lidahnya bisa lebih luwes.
Dengan demikian, Penulis bisa mengucapkan gue lu tanpa terdengar ganjil.
Penutup
Menggunakan bahasa apapun pada dasarnya adalah hak manusia. Hanya saja jika alasannya karena merasa inferior, rasanya kurang baik, seolah kita memaksa diri untuk menjadi orang lain.
Kita mungkin bisa mencontoh bagaimana orang Osaka bangga akan aksennya dan tidak malu jika sedang berbicara dengan orang Tokyo yang notabene ibukota Jepang.
Hal ini Penulis ketahui dari komik Detective Conan, sehingga mohon maaf jika kenyataannya seperti itu. Tapi mengingat orang Jepang bangga dengan bahasa mereka, Penulis yakin memang seperti itu.
Bisakah kita lebih percaya diri dengan bahasa kita sendiri dan tidak terpengaruh fenomena Jakarta Sentris dalam bahasa? Penulis serahkan jawabannya ke pembaca sekalian.
Sumber Artikel: Kumparan, Tirto, Wikipedia
Kebayoran Lama, 19 April 2020, terinspirasi dari orang-orang di sekitar Penulis yang menggunakan gue/lu yang padahal bukan orang Jakarta dan tidak pernah tidak tinggal di Jakarta
Foto: YouTube