Sosial Budaya

Kala Terputus dari Internet (dan Listrik)

Published

on

Beberapa waktu yang lalu, kita semua heboh akibat pemadaman listrik di Jakarta dan sekitarnya. Pemadaman tersebut cukup lama terjadi, di mana di kos penulis berlangsung selama kurang lebih 9 jam.

Apa yang penulis lakukan selama itu? Standar saja, main HP, baca buku, baca chat-chat lama, hingga membuat rancangan semesta novel buatan penulis, hehehe.

Ketika itu, internet juga susah sinyal sehingga penulis kesulitan untuk membuka media sosial. Setelah listrik kembali menyala, barulah penulis mengecek beragam komentar orang-orang yang mengalami hal serupa.

***

Sebagaimana permasalahan lainnya, ada berbagai jenis opini yang muncul di ruang publik. Ada yang marah-marah, ada yang mencoba untuk mengambil hikmahnya, dan lain sebagainya.

Yang marah-marah menghujat pemerintah karena dianggap sebagai biang kerok dari peristiwa ini, terutama Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Seharusnya, PLN selaku pihak yang mengelola aliran listrik di seluruh nusantara bisa mencegah hal ini terjadi karena bisa memunculkan kerugian yang tidak sedikit.

Yang lain berusaha untuk mencari hikmah dari peristiwa ini. Pemadaman yang cukup lama ini tentu membuat kita harus merasa bersyukur atas listrik dan internet yang kita nikmati selama ini.

Lebih lanjut, masih banyak daerah lain yang terbiasa dengan pemadaman bergilir atau bahkan belum dialiri listrik sama sekali. Lantas, mengapa kita mengeluh luar biasa hanya karena beberapa jam hidup tanpa listrik?

Ya karena kita telah terbiasa hidup dengan listrik. Tentu berbeda dengan orang yang terbiasa hidup tanpa listrik.

Kalau penulis, peristiwa kemarin tersebut membuat penulis menyadari betapa tergantungnya kita dengan listrik dengan internet di era modern ini. Seolah-olah kita tidak bisa melakukan apapun jika tidak ada listrik dan internet.

Itu memang benar adanya sih, penulis susah membayangkan harus berbuat apa-apa ketika berada di kos sendirian dalam kondisi tersebut.

Akan tetapi, penulis yakin masih ada aktivitas lain yang bisa kita lakukan tanpa perlu bergantung dengan listrik dan internet, walaupun tidak banyak.

Berolahraga mungkin? Mengunjungi tempat-tempat yang selama ini tertunda dengan alasan tidak ada waktu? Ada usul lain dari pembaca?

***

Apakah penulis merasa dirugikan dengan kejadian mati lampu tersebut? Bisa jadi iya, karena penulis jadi tidak bisa bekerja dengan menggunakan laptop yang jelas membutuhkan listrik dan internet.

Hanya saja, memaki pemerintah juga tidak akan membawa hasil apa-apa. Yang ada, tekanan darah kita naik dan ujung-ujungnya merugikan kesehatan diri kita sendiri.

Penulis lebih condong ke pendapat yang kedua, percaya bahwa semua ini ada hikmahnya masing-masing. Penulis jadi lebih merasa bersyukur ketika ada listrik dan internet, yang ujung-ujungnya menambah kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan kita.

Yang jelas setelah pengalaman kemarin, penulis harus menyusun beberapa aktivitas yang bisa dilakukan ketika terputus dari listrik dan internet, sehingga waktunya bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif.

 

 

Kebayoran Lama, 25 Agustus 2019, terinspirasi setelah mengalami pemadaman listrik selama 9 jam di Jakarta

Foto: Thirteen

Fanandi's Choice

Exit mobile version