Sosial Budaya

Komentar Warga Negara Berkembang

Published

on

Beberapa waktu yang lalu, lini masa Twitter penulis penuh dengan postingan mengenai komentar netizen kita, yang sering dianggap sebagai masyarakat negara berkembang, terhadap ajakan salah satu restoran cepat saji untuk membuang sisa makanan kita.

Kebiasaan seperti itu sebenarnya lumrah di negara lain, terutama yang sudah maju. Hanya saja, di negara kita tercinta ini, hal seperti itu bisa memicu pro kontra di kalangan netizen dan menjadi viral.

Kan Sudah Bayar!

Tentu yang menarik adalah dari sisi kontranya. Penulis sudah membaca beberapa komentar tersebut, dan cukup membuat penulis tersenyum kecil dengan pola pikir mereka.

Makan di Restoran (Wade Austin Ellis)

Secara garis besar, mereka menolak kampanye tersebut karena merasa dirinya sudah bayar mahal-mahal. Untuk apa mereka mengeluarkan uang jika mereka juga harus membereskan sisa makanan mereka sendiri?

Selain itu, ada juga berasumsi apabila seandainya mereka melakukan apa yang diminta, lantas apa kerja para pelayan? Jadi gabut dong? Ada pula yang langsung menuduh restoran tersebut hanya ingin mengeruk keuntungan lebih besar lagi alias meningkatkan omset.

Terlepas dari berbagai prasangka yang dilontarkan oleh netizen dan tujuan kampanye dari restoran tersebut, hal ini patut menjadi renungan kita bersama.

Apakah karena sudah membayar, kita tidak boleh membantu orang lain dengan melakukan hal-hal kecil yang tidak membutuhkan waktu lama?

Membantu Orang Lain

Bukannya ingin menyombongkan diri, tapi penulis berusaha membiasakan diri untuk membersihkan meja makan setelah makan. Di mana pun, mau di restoran ataupun warteg. Ayah penulis yang mengajarkan dan mencontohkan hal ini.

Membantu Orang Lain (Bimo Luki)

Menumpuk piring dan gelas yang kosong, mengelap meja dengan tisu, hingga mengembalikan posisi kursi ke tempat semula. Meskipun tidak seberapa, penulis yakin hal tersebut sudah membantu pelayan tempat makan yang penulis singgahi.

Tapi kan kita udah bayar mahal-mahal!

Kalau pola pikiran kita terlalu duniawi dan berpusat pada uang, pemikiran seperti itu pasti muncul. Mungkin kita lupa ada yang namanya Pahala sebagai modal kita hidup di akhirat kelak. Bukankah telah tertulis bahwa setiap perbuatan baik akan diganjar oleh pahala?

Menolong orang lain adalah perbuatan baik bukan? Lagipula, hal tersebut bukanlah hal yang berat untuk dilakukan, lantas mengapa harus didebat? Jika tetap kekeuh, ya minimal enggak perlu nyinyir di media sosial.

Ini kan cuma akal-akalan restoran kapitalis buat menarik keuntungan lebih besar! Mereka mau PHK karyawannya besar-besaran!

Penulis akan bertanya balik. Keuntungan apa yang akan didapat oleh mereka? Memangnya pelayan restoran tersebut enggak punya jobdesk bersih-bersih yang lain? Ada bukti mereka akan melakukan PHK ke karyawannya?

Terkadang kita sering terjebak dengan teori konspirasi yang belum tentu benar. Daripada terus menerus berprasangka buruk, lebih baik kita niatkan saja tindakan bersih-bersih tersebut untuk membantu orang lain, minimal meringankan kerja para pelayan restoran.

Penutup

Jika tetap tidak ingin melaksanakan kampanye tersebut, ya udah, enggak perlu makan di restoran tersebut. Banyak kok restoran mewah yang tidak akan membiarkan pelanggannya membersihkan mejanya sendiri.

Bagi yang ingin melaksanakan budaya bersih-bersih ini, bagus, pertahankan. Tidak perlu merendahkan orang yang menolak melakukannya. Mengingatkan wajib, tapi sewajarnya saja.

 

 

Kebayoran Lama, 26 Januari 2019, terinspirasi dari viralnya komentar netizen tentang kampanye budaya beres-beres salah satu restoran cepat saji.

Foto: Brian Chan

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version