Distopia Bagi Kia
Bagian 10 Kerajaan Jawa
Malam pun tiba di dunia baru Kia. Seperti kata bu Imah sebelumnya, ia akan tidur bersamanya dan Qila, sedangkan pak Kusno entah akan tidur di mana. Sebenarnya Kia merasa tidak enak, namun ia juga tidak memiliki solusi alternatif. Keluarga ini sangat terasa hangat meskipun harus hidup dalam kekurangan. Kehangatan yang begitu kentara walaupun selama ini Kia tidak pernah mendapatkannya.
Kia sedang duduk sendirian di kamar berukuran dua kali tiga itu. Kasur yang dimiliki kamar ini sebenarnya tidak layak untuk ditempati orang tiga. Selain keras, ukuran lebar kasur ini juga sangat sempit. Untunglah Kia bertubuh langsing sehingga ia tidak akan memakan banyak tempat. Hal tersebut membuat Kia teringat akan tempat tidurnya yang terlalu besar untuknya, dengan bantal dan guling yang begitu empuk dan nyaman. Ia belum mencoba untuk memegang bantal yang terdapat pada kamar tersebut, tapi ia yakin bantal tersebut keras.
Selain itu, Kia merasa gerah. Ia ingin sekali mandi, namun bingung bagaimana cara menyampaikan keinginannya tersebut ke keluarga pak Kusno. Di saat bimbang itulah, Qila masuk ke dalam kamar.
“Kakak mau mandi?” tanyanya melihat Kia yang memang terlihat kepanasan.
“Eh, boleh dek?” tanya balik Kia.
“Ya boleh kak, cuma kalau mau mandi harus gantian sama orang-orang.”
Kia sama sekali tidak menangkap maksud Qila. Apa maksudnya gantian dengan penghuni rumah ini? Mungkin saja seperti itu. Tentu dirinya sama sekali tidak merasa keberatan. Ia akan menunggu sampai mereka selesai.
“Iya enggak apa-apa dek, kakak tunggu.”
“Lo, Qila enggak tahu kamar mandinya lagi ada orangnya apa enggak. Harus dilihat dulu.”
“Lihat di mana?”
“Di luar, ayo sini Qila temenin.”
Maka melangkahlah mereka berdua ke luar rumah. Kia sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa kamar mandi keluarga Kusno berada di luar rumah. Akan tetapi, kenapa Qila membawanya cukup jauh dari rumah? Hal tersebut membuat Kia cukup was-was.
“Ini kak kamar mandinya.” kata Kia sambil menunjuk sebuah bangunan semi permanen yang berada di tengah-tengah perkampungan. Barulah Kia paham maksud dari Qila. Keluarga Kusno tidak memiliki kamar mandi, sehingga mereka menggunakan kamar mandi umum yang nampaknya dibangun secara gotong royong ini. Mengetahui hal tersebut, niat Kia untuk mandi menjadi surut. Apalagi hari telah gelap, ia tidak akan berani mandi di tempat seperti ini sendirian.
“Eh, kakak mandinya besok aja deh dek, sekarang udah malam.”
“Oh gitu, ya udah ayo pulang.”
Mereka berdua pun berjalan pulang kembali ke rumah, tanpa menyadari ada beberapa pasang mata yang mengamati mereka berdua dari kejauhan.
***
“Kalian dari mana?” tanya bu Imah sewaktu melihat Kia dan Qila masuk ke dalam rumah.
“Tadi kakaknya mau mandi, tapi enggak jadi.” jawab Qila.
“Oh, besok aja neng, sekarang udah malam juga. Kalau mandi di situ harus hati-hati, banyak anak-anak nakal yang suka ngintip kalau ada orang mandi.”
Pernyataan tersebut membuat Kia menelan ludah. Ia tidak bisa membayangkan dirinya diintip oleh orang-orang tak dikenal. Dirinya yang selama ini selalu mandi di kamar mandi pribadi yang begitu luas harus bisa beradaptasi mandi di kamar mandi umum yang belum sempat ia lihat bagaimana rupa di dalamnya. Mungkin, ia akan selalu mandi bersama bu Imah agar ada yang bisa mencegah pengintip melakukan niat buruknya.
“Kia mandi sama ibu aja ya besok, Kia jadi takut.” ujar Kia dengan wajah yang sama sekali tidak berusaha menutupi rasa khawatirnya.
“Iya, tenang aja. Biasanya ibu kalau mandi juga didampingi pak Kusno biar ada yang jaga.”
Kia jadi bisa sedikit bernafas lega. Ia bisa menahan keinginannya untuk mandi, tidak masalah. Sekarang adalah kesempatan Kia untuk mengetahui tentang dunia baru yang ia tinggali ini. Apalagi, bu Imah tidak terlihat sibuk. Ia hanya sedang melipati baju-baju dan menyusunnya dengan sangat rapi.
“Bu Imah kerja sebagai apa?”
“Jadi pembantu rumah tangga neng, tapi cuma sampai sore. Kalau malam, ibu nyuci baju orang-orang. Itupun kalau ada pesanan, kalau enggak ada paling ya main sama Qila.”
“Oh begitu, di sini jauh dari Jakarta enggak bu?”
“Jakarta? Apa itu?”
“Ibukota Indonesia bu, Jakarta.”
“Indonesia?”
Kia menyadari ekspresi heran yang ditunjukkan oleh bu Imah bukan dibuat-buat. Ia benar-benar tidak mengetahui apa yang ditanyakan oleh Kia. Kia menjadi bimbang untuk melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya, namun rasa penasaran yang besar menyingkirkan kebimbangan tersebut.
“Kita hidup di negara apa bu?” tanya Kia.
“Mungkin yang kamu maksud kerajaan apa? Kita tinggal di kerajaan Jawa.”
Kia berusaha mencerna jawaban bu Imah secara perlahan. Ia berasal dari negara yang berbentuk republik bernama Indonesia yang beribukota di Jakarta. Di tempatnya sekarang, tidak ada yang namanya Indonesia. Yang ada justru kerajaan Jawa, yang berarti bentuk pemerintahannya masih feodal.
“Lalu, apa ada kerajaan-kerajaan lain bu?” tanya Kia makin penasaran.
“Ada banyak, seperti Andalas, Borneo, Celebes, dan lain-lain. Semua kerajaan tersebut yang seringkali bertikai karena berebut daerah kekuasaan. Biasanya, karena di daerah tersebut terdapat sumber daya alam yang melimpah.”
Kia mencoba untuk mengingat semua pelajaran sejarah yang pernah dipelajari di sekolah. Memang dulu sebelum republik terbentuk, banyak sekali kerajaan-kerajaan di Indonesia. Ketika era Hindu-Budha, terdapat kerajaan Kutai, Sriwijaya, hingga Majapahit. Setelah pengaruh Islam masuk, muncul kerajaan Samudera Pasai, Demak, hingga Mataram. Namun sepengetahuan Kia, semenjak Belanda masuk dan menjajah Indonesia, semua kerajaan tersebut telah takhluk.
“Bu, bisa cerita lagi tentang kerajaan-kerajaan ini? Kia sama sekali enggak bisa ingat tentang itu semua.” pinta Kia didorong rasa ingin tahu yang besar.
“Hmmm, ibu enggak tahu banyak sih neng. Yang jelas, kerajaan Jawa berdiri sejak tahun 1800an. Dulu ada banyak kerajaan seperti Demak dan Pajajaran. Tapi ada satu orang yang ibu lupa namanya, berhasil mempersatukan Jawa menjadi satu kerajaan utuh. Kalau yang lain ibu kurang tahu.”
“Kita pernah dijajah sama Belanda?”
“Belanda? Apa lagi itu?”
“Eh, negara atau kerajaan dari luar negeri bu.”
“Ibu enggak pernah denger neng.”
Kia berusaha membuat kesimpulan sendiri dari pernyataan-pernyataan yang muncul dari bu Imah. Mungkin, Indonesia di dunia ini tidak pernah dijajah oleh negara lain. Tapi hal tersebut membuat wilayah-wilayahnya membentuk kerajaan sendiri. Tidak pernah ada yang namanya proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Pusat kerajaan Jawa ini ada di mana bu?” tanya Kia lagi.
“Di Yogyakarta, jauh dari sini.”
“Kerajaan ini apa juga sering perang?”
“Sekarang juga lagi perang sama kerajaan Andalas. Dari yang ibu denger, mereka lagi rebutan wilayah di selat Sunda karena baru ditemukan sumber minyak baru.”
“Kalau Batavia ibu tahu?”
“Oh kalau itu tahu. Itu pelabuhan terbesar yang dimiliki oleh kerajaan kita.”
Hujan informasi yang diterima Kia ini benar-benar membuat kepala Kia terasa penuh. Ia harus lebih banyak lagi belajar tentang dunia ini. Selain itu, ia juga harus belajar hidup dengan kondisi pas-pasan seperti ini. Apakah Kia bisa membantu bu Imah dalam menjalani pekerjaan sebagai asisten rumah tangga? Nampaknya tidak. Selama ini, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh para pelayan rumahnya. Ia tidak pernah mencuci atau menyapu sendiri. Ia hanya akan mejadi beban.
“Loh, Kia belum tidur? Istirahat dulu sana, besok kita coba minta bantuan polisi biar kamu bisa pulang.” kata pak Kusno sewaktu datang dari acara kumpul bersama warga sekitar.
“Iya pak, terima kasih.”
“Qila juga masuk ke kamar sana, udah malam waktunya tidur.” tambah bu Imah.
“Iya bu.”
Maka Kia dan Qila pun memasuki kamar. Kia sedikit merasa antusias tidur bersama Qila karena selama ini ia selalu tidur sendirian. Mungkin sewaktu kecil ia pernah tidur bersama orangtuanya, namun ia tidak bisa mengingat hal tersebut. Untuk sekarang, ia ingin menikmati waktunya bersama Qila, membayangkannya sebagai adiknya sendiri.
“Qila mau jadi apa kalau udah besar?” tanya Kia sewaktu mereka berdua telah berbaring di atas kasur.
“Qila mau jadi dokter biar bisa ngobatin orang banyak.”
“Wah, bagus itu.”
“Iya, cuma kata ibu Qila belum tentu bisa sekolah. Enggak ada uangnya.”
Kia tertegun mendengar perkataan polos Qila. Ia memiliki cita-cita yang mulia, sesuatu yang bahkan belum dipikirkan oleh Kia hingga sekarang. Selama ini, orangtuanya selalu mewanti-wanti dirinya untuk bisa menjadi penerus bisnis keluarga, sehingga ia sama sekali tidak pernah memikirkan profesi lainnya. Ia merasa malu terhadap Qila.
“Kalau mau, nanti kakak yang ajarin Qila ya.”
Tidak ada jawaban, Qila telah tertidur dengan wajah polosnya. Kia hanya bisa tersenyum melihat seorang anak kecil dengan wajah damainya. Ya, setidaknya Kia bisa membantu keluarga ini dengan mengajari Qila. Mungkin suatu saat ini ia akan membuka tempat kursus untuk anak-anak sekitar juga. Jika memungkinkan ya dipungut biaya, jika tidak ya tidak apa-apa. Yang jelas, semua pemasukan -jika ada- akan ia berikan sepenuhnya untuk keluarga Kusno.
Kia berusaha keras untuk tidur. Sayang, rasa kantuk sama sekali tidak berkenan untuk mampir. Berbagai posisi ia coba, tidak ada satu pun yang berhasil. Setelah setengah jam, ia memutuskan untuk bangun. Selain itu, bu Imah tak kunjung masuk ke dalam kamar. Apakah ia memilih untuk tidur di luar? Penasaran, Kia memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur dan mengecek keadaan di luar.
Sebelum menyibak tirai yang menjadi pintu kamar tersebut, ia mendengar percakapan antara pak Kusno dengan istrinya. Kia mengintip dan bisa melihat mereka berdua. Raut muka mereka nampak serius. Kia mengurungkan niatnya untuk menghampiri mereka. Di saat hendak kembali ke kasurnya, ia mendengar namanya disebut.
“Para warga sampai curiga bahwa Kia adalah sesosok hantu yang dikutuk. Sudah kujelaskan berulang kali mereka juga tidak percaya.” kata pak Kusno dengan nada suara yang sedikit meninggi karena emosi.
“Biarlah pak, nanti juga terbukti sendiri kalau Kia benar-benar manusia. Selain itu, yang lebih penting adalah kondisi ekonomi kita pak. Dengan bertambahnya Kia, kita harus cari jalan lain buat dapat uang. Enggak bisa kalau kita cuma ngandelin kerja serabutan.” jawab bu Imah sambil memegangi pundak suaminya.
“Iya, bapak juga udah kepikiran masalah itu. Tidak mungkin kita menelantarkan seorang gadis begitu saja. Bapak akan coba cari kerja dari orang-orang.”
“Aku juga akan coba jahit. Kebetulan kemarin nyonya rumah mau ngasih mesin jahitnya yang udah tua.”
“Iya bagus itu. Sebenarnya Bapak seneng Qila jadi ada temannya, apalagi kalau kita berdua lagi kerja. Tapi bapak enggak enak sama Kia. Kita enggak bisa kasih banyak buat dia. Semoga aja dia cepat kembali sama keluarganya.”
“Iya pak. Besok jadi ke polisi?”
“Iya, ditemani sama beberapa warga lainnya. Mereka seolah ingin melihat sendiri sosok Kia itu manusia atau bukan.”
“Ya semoga saja Kia bisa ingat darimana ia berasal dan bisa kembali sama keluarganya. Kalo aku sih sedih, soalnya Kia anaknya baik. Kalau saja kita berasal dari keluarga yang mampu, akan kuangkat Kia jadi anak.”
Kia sudah kembali ke tempat tidurnya. Ia berbaring dengan posisi tengkurap sebagai salah satu upaya untuk menahan suara tangisnya terdengar sampai luar. Matanya sudah basah oleh air mata. Ia tidak menyangka keluarga ini begitu baik terhadap dirinya, walaupun asal usul dirinya tidak jelas. Mereka hanya ingin memberikan yang terbaik untuk dirinya. Seandainya bisa memilih, mungkin Kia ingin tetap tinggal bersama mereka. Akan tetapi Kia sadar, dirinya akan menjadi beban ekonomi keluarga ini. Dengan pekerjaan yang tidak tetap, jelas pak Kusno akan kesulitan membiayai empat orang, meskipun sudah dibantu oleh bu Imah.
Di dalam hatinya, Kia berjanji akan berpikir bagaimana cara membantu keluarga ini sebisanya. Idenya tadi untuk membuka tempat kursus menjadi perhatian utamanya. Ia akan mencoba untuk memulainya secepat mungkin, walaupun ia tidak tahu harus memulai dari mana. Yang jelas, segala kebaikan yang terima ia terima harus ia balas berkali-kali lipat. Ia harus bisa bertahan hidup di keluarga ini, di kerajaan Jawa ini.
You must be logged in to post a comment Login