Distopia Bagi Kia

Bagian 11 Bakat Terpendam Milik Kia

Published

on

Tidur Kia sama sekali tidak terasa nyenyak. Berkali-kali ia terbangun di malam hari sebelum memutuskan untuk mengakhiri tidurnya. Ia hanya menemukan Qila di sebelahnya. Ke mana bu Imah? Kia memutuskan untuk mencarinya di luar kamar. Yang dicari ternyata sudah tertidur di kursi ruang tamu dengan posisi terduduk. Begitu pula pak Kusno. Kia berinisiatif mengambil kain yang ada di dalam kamar untuk menyelimuti mereka dan bergerak sepelan mungkin agar tidak membangunkan mereka berdua. Setelah selesai, Kia bingung harus pergi ke mana, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Ia duduk di tepi ranjang, mencoba menata rencananya membantu keluarga ini.

Kia tidak pernah mengajar sebelumnya. Jangankan mengajar, bahkan berbicara dengan orang lain pun jarang. Ia menjadi sedikit ragu bahwa idenya akan berhasil. Apalagi, dari yang dilihat Kia kemarin, tempat di mana ia tinggal ini hanyalah sebuah perkampungan kumuh. Orang-orang yang tingal di sini kemungkinan tidak mau mengeluarkan uang lebih untuk biaya pendidikan. Bukan karena pelit, hanya karena memang masih banyak kebutuhan hidup lainnya.

Apakah lebih baik dirinya kabur saja sekarang? Tidak, tidak mungkin. Pasti keluarga pak Kusno akan kebingungan dan Kia tidak ingin membebani keluarga ini lebih dari ini. Tidak sampai satu hari Kia tinggal di rumah ini, tapi entah mengapa Kia merasa dirinya sudah begitu merepotkan. Kia menghela napas panjang. Ia jadi berpikir tentang dunia di mana ia berasal. Apakah orangtuanya sudah menyadari hilangnya dirinya? Apakah pihak sekolah memberitahukan bahwa dirinya sudah pulang terlebih dahulu sebelum dijemput pak Iman?

Kia merasa dirinya telah bertindak egois. Tapi perasaan tersebut berhasil ia usir dengan cepat karena ia berkeyakinan bahwa tidak ada seorangpun yang akan peduli dengan hilangnya dirinya. Orangtuanya mungkin akan cemas, tapi bukan karena Kia anak mereka, melainkan mereka akan kebingungan bagaimana menjelaskan hilangnya dia kepada publik. Sebagai public figure, tentu media tidak akan segan melakukan blow up hilangnya anak seorang konglomerat. Masyarakat sangat menikmati berita-berita bombastis seperti itu. Mau ditaruh mana muka keluarga Labdajaya jika salah satu anggota keluarganya hilang secara tiba-tiba.

“Pergi ke dunia ini mungkin memang yang terbaik untuk semua.” gumam Kia.

Setelah mengatakan itu, Kia merasakan ada yang bergerak di sebelahnya. Ternyata Qila juga sudah terbangun. Dengan mata yang masih setengah menutup, Qila melihat Kia yang sedang duduk di hadapannya.

“Kakak lagi ngapain?” tanyanya dengan kurang jelas karena baru saja bangun.

“Enggak kok Qila, kakak enggak ngapain-ngapain.” jawab Kia sambil membelai rambut ikal Qila. Yang dibelai tidak membalas apa-apa. Ia memasrahkan kepalanya untuk diusap-usap oleh Kia. Bagi Qila sendiri, hadirnya Kia secara mendadak masih membingungkan. Ia belum bisa memutuskan untuk menyukai Kia atau tidak.

***

Setidaknya ada 5 warga yang menyertai pak Kusno dan Kia ke kantor polisi. Kia merasa risih harus pergi dengan laki-laki sebanyak ini. Apalagi sejak berangkat tadi, Kia merasa dirinya dilirik terus menerus oleh orang-orang tersebut. Bisa dimaklumi karena jika dibandingkan para perempuan yang tinggal di sana, Kia terlihat paling putih dan bersih, seolah datang dari negara lain. Ia ingin menyampaikan kerisishannya tersebut ke pak Kusno, hanya saja ia tidak tahu bagaimana cara mengutarakannya.

Saat ditanyai oleh pihak kepolisian, Kia lebih banyak menjawab dengan jawaban tidak ingat atau tidak tahu. Jawaban-jawaban pendek dari Kia lumayan membuat frustasi pak polisi yang membuat laporan. Pada akhirnya, pak polisi akan membantu dengan menyebarkan informasi orang hilang. Yang jelas, informasi tersebut hanya berisikan foto dan nama panjang Kia. Ketika ia menyebutkan nama keluarganya, sama sekali tidak muncul reaksi dari polisi tersebut. Berarti, memang tidak ada yang namanya keluarga Labdajaya di dunia ini. Selesai membuat laporan, mereka semua kembali ke rumah masing-masing. Pak Kusno langsung pergi lagi seusai mengantar Kia ke rumah untuk bekerja.

“Titip Qila ya nduk, bapak mau kerja dulu. Tadi pagi ada yang minta tolong buat beresin kebunnya. Enggak lama kok, sebelum gelap bapak udah balik. Ibu juga udah berangkat tadi pagi setelah kita pergi ke kantor polisi.” begitu pesan pak Kusno sebelum meninggalkan Kia. Kia hanya mengangguk diam.

“Selain itu, kalau ada orang asing yang mau masuk, jangan dibukakan. Bapak khawatir mereka berbuat macam-macam ke kamu.”

Kia tidak mengerti apa maksud dari macam-macam tersebut, tapi ia berjanji akan menaati perintah pak Kusno tersebut. Setelah melepas kepergian pak Kusno, Kia mencari Qila. Anak berusia lima tahun itu sedang khusyuk menggambar dengan peralatan seadanya. Melihat hal tersebut, Kia memutuskan untuk bertanya-tanya sedikit kepada Qila tentang rencana mengajarnya.

“Qila, mau kakak ajarin baca tulis enggak?” tanya Kia dengan berusaha membuat nada bicaranya terdengar bersahabat.

“Memang kakak bisa kak?”

“Bisa dong, kan kakak udah besar.”

“Tapi kok orang tua Qila udah besar enggak bisa baca tulis?”

Kia terdiam mendengar pertanyaan polos dari Qila. Ia baru sadar bahwa ia tengah berada di sebuah daerah terbelakang, sehingga ada kemungkinan warganya buta huruf. Kia sama sekali tidak menyangka bahwa bu Kusno dan bu Imah termasuk di antaranya. Mereka terlihat sebagai orang yang terdidik, apalagi mereka baik hati. Kia menelan ludah sebelum bisa menjawab pertanyaan Qila.

“Kakak enggak tahu Qila, mungkin mereka sibuk jadinya enggak sempat belajar. Tapi Qila mau kan belajar baca tulis?”

Qila memberikan anggukan singkat. Maka dengan alat tulis yang digunakan Qila untuk menggambar, ia mulai menulis alfabet A sampai Z. Dengan telaten ia menuntun Qila untuk menghafal keduapuluhenam huruf tersebut. Proses belajar tersebut berlangsung selama kurang lebih setengah jam, dan Qila telah hafal setidaknya setengah dari huruf-huruf alfabet tersebut. Kia sendiri terkejut mengetahui daya tangkap yang dimiliki oleh Qila. Mungkin Qila memang memiliki bakat belajar yang terpendam. Hal ini semakin memotivasi Kia untuk segera membuka kursus untuk anak-anak seusia Qila.

“Qila boleh tanya sesuatu buat kakak?” tanya Qila secara tiba-tiba sewaktu Kia sedang melamun.

“Boleh kok, mau tanya apa?”

“Kakak dari mana?”

Kia sempat terdiam beberapa detik sebelum menjawab. Ia menatap kedua mata polos itu. Kia merasa berat untuk menjawab. Karena tidak mau mengambil risiko, ia terpaksa berbohong, sama seperti yang dilakukannya di kantor polisi tadi.

“Enggak tahu Qila, kakak sama sekali enggak ingat.”

“Oh gitu ya.”

“Iya.” jawab Kia sambil tersenyum, sehingga mengejutkan diri Kia sendiri. Kapan terakhir kali ia melemparkan senyum kepada orang lain? Entahlah, nampak sudah lama sekali hingga Kia tak bisa mengingatnya. Akan tetapi, baru saja ia melakukan itu dengan mudahnya. Kia memegangi kedua belah pipinya, berusaha mengurangi dampak keterkejutan tersebut.

“Kenapa kak?” tanya Qila lagi.

“Eh, enggak, enggak kok. Kakak enggak apa-apa Qila. Yuk, lanjut belajar lagi biar cepet bisa baca.”

Maka siang itu mereka habiskan waktu untuk belajar bersama. Kia tidak menyadari bahwa dirinya begitu mahir dalam mengajar. Bisa jadi, sebenarnya itulah bakat terpendam yang dimiliki. Hanya saja, karena selama ini ia selalu menutup diri dari orang lain, maka bakat tersebut tidak pernah terlihat. Dan di dunia yang ia masuki melalui cermin ini, bakatnya tersebut mulai terlihat, walau hanya diketahui oleh seorang anak kecil berusia lima tahun.

***

Ketika matahari sudah sedikit condong ke arah barat, terdengar suara ketukan pintu. Kia merasa ragu untuk membukakan pintu, teringat pesan dari pak Kusno. Qila yang melihat Kia sedang kebingungan melangkahkan kaki ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Melihat hal tersebut, Kia langsung mencegah Qila.

“Jangan Qila, kata bapakmu kita enggak boleh sembarangan buka pintu.”

“Qila udah biasa kok kak. Paling juga tetangga mau ngantar sesuatu.”

“Tapi Qila…”

“Kakak sembunyi aja, percaya sama Qila. Qila enggak bilang kalau ada kakak kok.”

Kia memutuskan untuk menuruti perkataan Qila. Ia bersembunyi di balik tirai kamar. Terdengar suara pintu dibuka. Kecilnya rumah pak Kusno membuat Kia bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan Qila dengan entah siapapun itu.

“Eh Qila, ibumu udah pulang?” terdengar suara perempuan yang nampaknya berusia 40 tahunan.

“Belum, kayaknya habis ini.”

“Oh gitu, kamu ditinggal sendirian terus ya. Gimana sih ibumu itu.”

“Kan lagi cari uang buat Qila.”

“Duh, kamu itu jadi anak kok baik banget sih, bikin gemes. Oh ya, mana itu anak yang katanya hilang ingatan?”

“Qila engak tahu.”

“Gitu ya, kamu hati-hati ya. Kalau ibu sih enggak bisa percaya sama ceritanya. Masa iya tiba-tiba ada di tengah sawah, terus alasannya hilang ingatan lagi.”

“Kakak itu baik kok.”

“Ya keliatannya aja baik, tapi kan kamu enggak kenal nak. Ya udah, kalau ibumu pulang, bilang hutangnya jatuh tempo dua hari lagi, bisa kan kamu sampaikan?

“Iya bu.”

“Ya udah, ati-ati ya di rumah.”

Setelah mendengar suara pintu ditutup, Kia menjatuhkan dirinya ke lantai. Hanya satu hari berada di sini, ia sudah mendengar suara sumbang tentang dirinya. Ia yang berperasaan sensitif tentu terpukul mendengar kalimat yang dilontarkan ibu tadi. Ia sama sekali niatan buruk kepada keluarga ini. Ia masuk ke dunia ini hanya untuk mencari kebahagiaan yang selama ini ia dambakan. Sama sekali tidak ada niatan yang lain.

“Kakak, kenapa duduk di lantai?” tanya Qila setelah menyibak tirai kamar di mana Kia berada.

“Eh Qila, enggak apa-apa kok. Kakak cuma capek berdiri.”

“Tapi kakak kayak habis nangis.”

“Oh, ini cuma ngantuk kok. Enggak apa-apa, Qila enggak usah khawatir sama kakak.”

“Kakak mau bobok?”

“Mungkin iya, Qila enggak bobok? Ayo sini kakak temenin.”

Maka mereka berdua naik ke atas tempat tidur. Qila seperti kemarin bisa tidur dengan cepat, sedangkan Kia yang sebenarnya tidak mengantuk hanya bisa mengamati Qila yang terlelap. Ia membelai lembut kepalanya, membayangkan ia memiliki adik seperti Qila.

“Seandainya kamu menjadi adikku di duniaku, mungkin aku tak perlu pergi ke dunia ini.” gumam Kia, matanya tak lepas memandang Qila.

***

“Emak, tadi jadi ke tempat Qila?” tanya seorang pemuda kepada ibunya yang tadi berkunjung ke rumah pak Kusno.

“Udah mama bilang berapa kali, jangan panggil mama dengan sebutan emak lagi. Kampungan! Panggil mama!”

“Iya ma, maaf.”

“Jadi, emang kenapa?”

“Ketemu sama anak perempuan misterius itu?”

“Katanya Qila sih enggak ada, tapi kayaknya dia bohong deh. Anak sepolos dia bisa gampang banget ditipu ya, dibilangin harus waspada malah ngebelain perempuan itu terus.”

“Ya mama kan juga belum ketemu orangnya langsung, jadi enggak bisa langsung nuduh gitu dong.”

“He, mama ini udah ketemu sama macam-macam orang, jadi tanpa ketemu pun udah langsung tahu gimana tabiatnya tuh orang. Kamu jadi anak enggak usah sok nasehatin mamanya deh. Belajar aja sana biar bisa jadi sarjana pertama di kampung ini, mama udah bela-belain cari duit buat biaya kuliahmu.”

Sang anak pun hanya bisa terdiam mendengar ucapan emaknya yang galak. Iya, memang mamanya yang membiayai kuliahnya dari hasil menjadi seorang rentenir. Mamanya adalah orang terkaya di kampung miskin ini, walaupun cara yang ia lakukan sama sekali tidak disukai anaknya. Semenjak suaminya meninggal, ia berjuang sendirian untuk membiayai kehidupan dirinya dan anak semata wayangnya, dengan segala cara. Hal tersebut membuat sang anak harus mematuhi segala perkataan sang mama, termasuk mengganti panggilan emak menjadi mama.

“Kira-kira dia mau enggak ya gabung Karang Taruna kampung ini.” gumam anak lelaki tersebut ketika berjalan berbalik menuju kamarnya, melanjutkan belajarnya.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version