Distopia Bagi Kia

Bagian 13 Rapat Karang Taruna

Published

on

Hari yang telah dinanti-nati Kia pun akhirnya tiba, hari di mana ia harus menjelaskan rencananya untuk mengajar anak-anak kepada para anggota Karang Taruna di mana ia tinggal sekarang. Ia telah mengisi hari-harinya untuk berlatih presentasi di depan cermin. Terkadang, Qila mengamati Kia dari belakang tanpa berani menegurnya. Anak berusia lima tahun tersebut sudah paham, bahwa Kia sedang tidak bisa diganggu.

Kemarin, Yoga kembali berkunjung ke rumah untuk mengantar undangan. Sewaktu bertanya di mana balai RW berada, Yoga justru berkata akan menyusul Kia agar mereka bisa berangkat bersama. Hal ini semakin membuat jantung Kia berdebar, karena ia tak pernah berjalan bersama dengan seorang laki-laki. Ya, ia memang pernah berjalan bersama pak Kusno sewaktu pertama kali mendarat di dunia ini, tapi itu tidak masuk hitungan. Pak Kusno sudah berumur, sehingga ia sama sekali tidak merasa canggung berjalan bersamanya.

Pak Kusno dan bu Imah sama-sama sedang berada di rumah sore hari ini. Pak Kusno sedang tidak ada kerjaan apapun, sedangkan istrinya sudah pulang dari rumah majikannya. Untuk sedikit menenangkan dirinya, Kia memutuskan untuk bercakap-cakap sebentar dengan orang yang dengan baik hati mau menerimanya tersebut.

“Lagi ngapain bu?” tanya Kia membuka pembicaraan.

“Ah, lagi jahit baju aja kok. Kebetulan beberapa bajunya Qila sudah robek, jadi ibu jahit.”

“Kenapa enggak pakai mesin jahit?” mesin jahit yang dijanjikan oleh majikan bu Imah telah datang dua hari yang lalu.

“Sobeknya cuma kecil, sayang kalau pakai mesin. Pemakaiannya harus dihemat supaya awet. Kan rencananya mesin itu mau dipakai untuk cari uang.” jawab bu Imah tanpa menghentikan aktivitasnya.

Kia mengangguk-anggukkan kepala. Ia bingung hendak berkata apalagi. Karena tidak terbiasa basa-basi, Kia susah menemukan topik yang bisa dijadikan topik pembicaraan. Diliriknya pak Kusno yang sedang duduk santai sambil ditemani secangkir kopi panas. Akhirnya, ia menemukan bahan untuk memulai percakapan.

“Pak, kalau boleh tahu, Karang Taruna di sini seperti apa?” tanya Kia sambil duduk di dekat pak Kusno.

“Oh iya, kamu malam nanti ikut rapat mereka ya” pak Kusno bertanya balik.

“Iya pak.”

“Ya gimana ya, intinya mereka sering bantu warga gitu. Kalau ada kerja bakti, pasti mereka ikutan. Setau bapak mereka juga ngumpulkan barang bekas dari warga, terus uangnya dipakai untuk uang kas.”

“Organisasinya udah lama ya pak?”

“Belum kok, baru setahunan ini lah. Yoga itu yang punya ide bikin organisasi. Katanya, gara-gara di kampusnya ia pernah ikut semacam acara anak-anak gitu. Bapak juga kurang ngerti.”

“Bapak dekat dengan mas Yoga ya pak?”

“Lebih tepatnya Yoga dekat dengan semua warga di sini. Ia anak yang ramah, baik hati, dan tidak segan untuk menolong. Ya ibunya memang galak sih, untungnya Yoga anaknya sangat sabar. Kelewat sabar malah.”

“Oh begitu.”

“Jadi, gimana rencana mengajarmu? Ada kesulitan?”

“Enggak kok pak, sudah Kia susun kemarin. Cuma, Kia agak grogi buat ngomong di depan orang banyak.”

“Santai aja, mereka semua anak baik-baik kok. Banyak juga yang seusia kamu. Eh, kamu ingat umurmu?” tanya pak Kusno tiba-tiba, karena baru sadar bahwa dirinya tidak mengetahui umur Kia.

“Kalau enggak salah 17 tahun pak.” jawab Kia sedkit gugup. Pertanyaan tersebut membuatnya teringat bahwa dirinya masih belum memberitahu identitas sebenarnya.

“Oh benar berarti, banyak kok yang seumuranmu. Yang di bawahmu juga ada.”

“Belum ada perkembangan dari pihak polisi pak?” tanya Kia mengalihkan perhatian, meskipun ia sudah tahu jawabannya.

“Belum ada. Karena kamu hilang ingatan, polisi juga kesulitan untuk mencari informasi keluargamu. Hanya dengan mengandalkan foto saja tidak cukup.”

“Maaf ya pak, Kia jadi merepotkan keluarga bapak.”

“Jangan ngomong gitu Kia, kamu sudah kita anggap sebagai anak sendiri.” sela bu Imah tiba-tiba.

“Maaf bu, hanya saja Kia jadi merasa enggak enak.”

“Kamu enggak perlu mikirin itu, kamu sama sekali enggak merepotkan kok. Tolong ya Kia, jangan mikir kayak gitu lagi.” tegas bu Imah dengan raut wajah yang serius.

Kia menganggukkan kepala perlahan, walaupun dalam hati ia merasa bersalah. Walaupun bu Imah berkata seperti itu, ia paham bahwa kehadiran dirinya otomatis akan menambah beban ekonomi keluarga ini. Hal ini yang menguatkan dirinya untuk segera melaksanakan niat baiknya untuk membantu keluarga pak Kusno. Dan malam ini, adalah langkah pertamanya.

***

Sekitar pukul 18:45, terdengar suara ketukan pintu. Kia yang sedang duduk di ruang tamu bersama Qila berdiri dan membukakan pintu. Ternyata, yang datang adalah Yoga bersama seorang perempuan bertubuh gempal.

“Hai Kia, udah siap berangkat?” tanya Yoga dengan antusias

“Sudah kak, kita berangkat sekarang?”

“Boleh kalau kamu sudah siap. Oh ya, kenalkan, ini Lala, sekretarisku.”

“Hai, aku Lala.” kata Lala sambil menyodorkan tangannya.

“Kia, salam kenal kak.” jawab Kia sambil menerima uluran tangan Lala.

“Halah enggak usah pakai kak, kita seumuran kok.”

“Oh iya ka.., maksudku La.”

“Kia, Pak Kusno ada di rumah?” tanya Yoga setelah Kia dan Lala selesai bersalaman.

“Ada di belakang, mau aku panggilkan?”

“Oh enggak usah, cuma ngecek aja kok. Ya udah, yuk berangkat!”

Maka setelah berpamitan kepada pak Kusno dan bu Imah, berangkatlah Kia bersama Yoga dan Lala. Ia berjalan di belakang mereka karena merasa tidak terlalu percaya diri untuk berjalan di sebelah mereka. Sepanjang perjalanan, ia hanya mendengarkan pembicaraan antara ketua dan sekretaris Karang Taruna itu tanpa tahu bagaimana harus mengikutkan diri. Yoga menyadari hal ini dan mulai mengajak Kia berbicara.

“Eh Kia, aku boleh tanya sesuatu?”

“Iya kak?”

“Eh gimana ya tanyanya. Takut bikin kamu enggak nyaman.”

“Gapapa kak tanya aja.”

“Eh, jadi sebenarnya aku penasaran, bagaimana kamu bisa sampai di kampung ini.”

Kia sempat diam sejenak sebelum mengeluarkan jawaban. Tentu, jawaban tersebut telah ia ulang berkali-kali.

“Maaf kak, aku sama sekali enggak ingat. Begitu sadar, aku sudah di tempat ini.”

“Begitu ya, semoga ingatanmu segera kembali ya.”

Setelah percakapan singkat tersebut, tidak ada lagi pembicaraan yang berlangsung di antara mereka. Hening mengiringi langkah mereka menuju tempat rapat. Keheningan tersebut tidak dirasakan oleh Kia, karena di pikirannya tengah berkecamuk berbagai hal, mulai kegugupannya untuk presentasi hingga pertanyaan sampai kapan ia akan berpura-pura seperti ini.

***

Mereka bertiga sampai duluan di balai RW. Setelah membuka kunci balai, Yoga dengan sigap mulai menyusun kursi yang terletak di sisi kiri bangunan. Kia menyadari bahwa meja yang akan digunakan untuk rapat adalah sebuah meja pingpong yang nampaknya buatan warga sendiri. Mahalnya harga meja pingpong ternyata tidak menghalangi keinginan masyarakat kampung ini untuk berolahraga. Dengan kayu dan berbagai bahan material lainnya, jadilah sebuah meja pingpong sederhana lengkap dengan jaringnya.

Kia ikut membantu menyusun kursi meskipun sudah dilarang oleh Yoga. Tangan mungilnya memang tidak pantas melakukan pekerjaan kasar seperti ini, akan tetapi Kia tidak bisa hanya berdiam diri. Apalagi Lala juga ikut membantu, walaupun perempuan itu nampaknya memang memiliki tenaga yang besar. Mau tidak mau Kia jadi sedikit teringat Melissa dan kawan-kawan, yang telah menyiksa dirinya sedemikian rupa. Anehnya, sewaktu masuk ke dunia ini, luka-luka tersebut hilang dengan sendirinya. Hal ini baru ia sadari ketika mandi untuk pertama kali di kamar mandi bersama. Tidak ada segores pun luka yang tersisa di tubuhnya.

Setelah selesai menata kursi, mereka pun duduk menanti kedatangan anggota yang lain. Kia memutuskan untuk duduk di sebelah kanan Yoga, karena Lala telah menempati kursi di sebelah kiri. Ia berusaha menenangkan dirinya sebaik mungkin agar dapat menyampaikan keinginannya. Tidak boleh ada kata gagal, ia harus berhasil meyakinkan seluruh anggota Karang Taruna untuk menyetujui idenya.

Satu persatu para anggota lainnya pun pada berdatangan. Begitu melihat sosok Kia, mereka segera menunjukkan keheranan sekaligus antusiasme yang tidak disembunyikan. Benar kata pak Kusno, anggota Karang Taruna di kampung ini sangat beragam. Dari postur dan penampilannya, terlihat ada yang masih SMP dan SMA. Ada juga yang nampaknya sudah kuliah seperti Yoga. Kia menghitung dalam hati berapa orang yang hadir pada rapat tersebut. 16 orang, tidak termasuk dirinya. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi Kia.

“Malam teman-teman, terima kasih karena sudah menyempatkan waktunya untuk hadir.” ucap Yoga membuka rapat ketika ia merasa sudah tidak ada anggota yang belum datang.

“Seperti yang telah tertera pada undangan rapat, kita akan membahas sebuah ide yang akan disampaikan oleh teman baru yang duduk di sebelah saya. Kia, silahkan perkenalkan dirimu terlebih dahulu.” lanjut Yoga sembari mempersilahkan Kia untuk berdiri.

Dengan menggenggam erat tangannya, Kia menguatkan diri untuk berdiri. Semua mata sedang tertuju padanya, membuat kegugupan yang ia rasakan berlipat ganda. Kia menelan ludah terus menerus hingga tak ada lagi yang tersisa di rongga mulutnya. Kurang lebih 3 menit Kia berdiri dalam diam, seolah apa yang sudah ia latih selama ini hilang tak berbekas.

“Eh, jadi teman kita ini punya keinginan untuk mengajar semua anak yang ada di kampung ini. Tujuannya agar dia bisa membantu keluarga pak Kusno yang sudah berbaik hati menampung dirinya. Bagaimana menurut kalian?” Yoga mengambil inisiatif untuk berbicara ketika melihat Kia tak bisa mengeluarkan isi pikirannya.

“Mengajar kita atau anak-anak kecil?” tanya salah seorang anggota yang berkulit putih dan memiliki bibir tipis.

“Yang diajar siapa Kia?” Yoga mengumpankan pertanyaan tersebut ke Kia, berharap ia sudah bisa mengendalikan dirinya.

“Se…semuanya. Si…siapapun yang ma…mau belajar.” jawab Kia dengan tergagap. Padahal, di dalam konsepnya, ia hanya ingin mengajar anak-anak seusia Qila. Setidaknya, ia akan merasa lebih santai apabila berhadapan dengan anak kecil. Kegugupannya telah membuyarkan semua konsep tersebut.

“Berarti kita juga boleh diajar kan?” tanya perempuan itu lagi.

“Bo…boleh.”

“Maaf, tapi kalau boleh tahu, kakak kelas berapa? Sekolah di mana?” tanya perempuan itu lagi, seolah tidak memberikan jeda Kia untuk menenangkan diri.

“Eni, Kia ini sedang mengalami hilang ingatan. Aku sudah bilang kan?” jawab Yoga dengan sedikit meningikan suaranya. Tanpa disadari oleh Kia, sebenarnya Yoga sudah mengumpulkan anggotanya beberapa hari sebelum rapat. Tujuannya, agar mereka tidak terkejut dengan kondisi Kia. Hanya saja, Eni memang tidak hadir waktu itu karena kesibukannya di sekolah.

“Kalau hilang ingatan, bagaimana bisa mengajar kita?”

Pertanyaan itu begitu menusuk perasaan Kia. Kegugupannya berubah menjadi kesedihan. Dengan kondisinya yang seperti itu, jelas saja ada orang yang meragukan kemampuan akademiknya. Tak mungkin ia berkata bahwa dirinya adalah juara sekolah di tempat ia berasal. Kia memutuskan untuk membatalkan niatnya untuk menjelaskan rencananya, dan berlari ke luar balai. Yoga tak sempat mencegah kepergian Kia yang terlihat sangat terluka.

“Eni, pertanyaanmu itu enggak penting. Kamu enggak mikirin perasaan dia?” bentak Yoga memarahi Eni yang juga terlihat sedikit ketakutan melihat akibat dari pertanyaannya.

“Maaf mas, aku kelepasan.” jawab Eni dengan kepala menunduk, tak berani menatap Yoga secara langsung.

“Kita semua memang belum tahu asal usulnya, akan tetapi kita tidak boleh membuatnya tertekan. Siapa tahu dengan lingkungan yang nyaman, kita bisa membantu mengembalikan ingatannya yang hilang.”

Suasana rapat menjadi hening. Tak satupun berani mengeluarkan suara. Anggota lain sebenarnya sedikit sepakat dengan Eni, bagaimana seseorang yang sedang hilang ingatan bisa mengajari mereka. Namun suara tegas dari Yoga membuat mereka tidak berani mengeluarkan pendapat mereka.

“Besok pagi kita ke rumah pak Kusno. Eni harus minta maaf ke Kia. Rapat malam ini aku tutup.”

Lala menutup buku notulensi rapatnya. Tidak ada satu katapun yang ia tulis malam ini. Rapat Karang Taruna malam ini berakhir dengan buruk, menggoreskan luka kepada seseorang yang memiliki niat tulus untuk membantu keluarga kurang mampu yang telah berbaik hati kepadanya.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version