Distopia Bagi Kia

Bagian 16 Ruang Belajar

Published

on

Tidak disangka kegiatan mengajar yang diinisiasi oleh Kia ternyata berjalan sukses. Kabar mengenai kepandaian Kia tersebar dengan cepat hingga orang-orang banyak yang penasaran dengan kegiatan ini. Pada hari kelima, ada beberapa warga yang menyaksikan kegiatan tersebut. Tentu Kia merasa malu dengan semua mata yang tertuju padanya, namun Yoga bisa memberikan semacam ketenangan dan meminta Kia untuk fokus mengajar saja.

Dua bulan berlangsung, Yoga akhirnya memutuskan untuk membuka kegiatan mengajarnya untuk anak-anak kecil yang berada di rentang usia sekolah dasar. Hal tersebut ia sampaikan ketika rapat Karang Taruna bulanan berlangsung, di mana tentu saja Kia juga diundang untuk mengikuti rapat tersebut. Ia juga meminta bantuan kerjasama dari anggota lainnya untuk membantu Kia. Maklum, sudah sekitar satu bulan ia jarang hadir karena kesibukan kuliahnya.

“Jadi, teman-teman sekalian, seperti yang telah kita ketahui bersama kegiatan mengajar kita cukup berhasil. Kalian merasakan sendiri bagaimana dampak positif dari kegiatan ini. Oleh karena itu, aku mengusulkan untuk memulai kegiatan ini untuk anak-anak kecil.” ujar Yoga seusai membuka rapat dengan salam.

“Aku sih setuju mas, cuma kayaknya kita butuh nama, deh.” sahut Eni menimpali pernyataan Yoga.

“Aku setuju, ada yang punya ide?” Yoga bertanya kepada para anggotanya.

Hening seketika menghampiri balai RW tempat mereka rapat. Meskipun sudah lumayan terbentuk, memberikan usul masih menjadi hal yang berat untuk mereka. Bukan karena tidak mampu menjawab, mereka hanya takut ide mereka menjadi bahan olok-olokan karena terlalu aneh. Begitu pula Kia, yang diam dengan mengamati satu per satu wajah para anggota lainnya. Ia sudah hafal semua anggota Karang Taruna yang jumlahnya mencapai 17 orang anggota aktif.

“Kalau diberi nama Kia Mengajar gimana mas?” usul Adam, salah satu anggota Karang Taruna yang jarang aktif karena sibuk dengan kegiatan sekolahnya.

“Jangan dong, kan mas Yoga juga ngajar, bukan cuma kak Kia.” sanggah Ana yang berkacamata dan sedikit cerewet.

“Wah iya, gimana sih.” timpal yang lain ikut memanaskan suasana. Hal-hal seperti inilah yang membuat mereka ragu untuk berpendapat.

“Ya tinggal ditambah Kia dan Yoga Mengajar, atau disingkat KY Mengajar. Gitu aja kok repot?” balas Adam tak mau kalah. Anggota yang satu ini memang terkenal pandai dalam mempertahankan argumennya berkat keaktifannya di organisasi sekolah.

“Sudah, kita tampung dulu usulnya Adam. Ada usul lain?”

Karena sudah ada yang berani mengeluarkan suaranya, maka yang lain pun mendapat dorongan untuk berani mengeluarkan idenya. Ada yang memberikan usul sekadarnya, ada yang memberikan makna filosofisnya meskipun sedikit mengarang bebas. Semua jawaban dicatat oleh sang sekretaris, Lala. Kia menikmati kejadian ini, hingga tak sadar dirinya sedang diamati oleh Yoga.

“Kalau Kia sendiri punya ide apa?” tanya Yoga tiba-tiba, memecah lamunan Kia.

“Eh, aku, eh, lagi enggak ada ide kak.” jawab Kia dengan sedikit tergagap.

“Oh gitu, ya udah kita lakukan vote aja ya kalau begitu. Ini udah ada 12 usul nama. Kebanyakan enggak sih?”

“Kebanyakan sih kalau menurutku.” Lala menjawab.

“Ya udah, kita diskusikan dulu mana yang menurut kalian layak menjadi nama dari kegiatan kita.”

Mereka semua pun berdiskusi untuk memilih nama-nama yang layak untuk digunakan. Kia mendengarkan dengan sekasama, hingga terlintas sebuah nama yang bisa dibilang rangkuman dari semua usulan nama.

“Ruang Belajar.” celetuk Kia tiba-tiba, membuat semua anggota mengarahkan mata kepadanya.

“Maaf, kenapa Kia?” tanya Yoga yang kurang mendengar apa yang diucapkan oleh Kia.

“Tadi dari yang aku dengar ada yang mengusulkan Belajar Bersama dan Ruang Kelas. Menurutku kedua nama itu bagus, kenapa enggak digabungkan aja menjadi ruang belajar? Kita gunakan balai ini sebagai ruangan untuk siapapun yang ingin belajar.” kata Kia dengan jelas.

Semua terperangah mendengar kalimat yang meluncur dengan lancarnya dari bibir Kia. Penjabarannya sangat jelas dan alasannya juga rasional. Bahkan Kia sendiri pun juga terkejut mendengar kata-katanya sendiri, apalagi ia mendapatkan tatapan-tatapan keheranan dari anggota lainnya.

“Ruang Belajar ya? Bagus sih, aku suka. Sederhana dan maknanya dapat. Yang lain gimana?” Yoga sekali lagi bertanya kepada anggotanya, entah sudah berapa kali ia bertanya malam itu.

Semua menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Sama sekali tidak ada tanda-tanda mereka mengajukan keberatan atas nama yang diusulkan oleh Kia. Tidak ada satupun anggota yang berkata bahwa usulnya lebih bagus dar usul Kia, entah karena memang merasa nama tersebut yang terbaik atau terlalu malu untuk mengajukan protes. Melihat tidak ada sanggahan, Yoga pun memutuskan untuk menggunakan nama Ruang Belajar sebagai nama kegiatan mereka. Setelah itu, Yoga beralih ke topik lain.

“Aku mendapatkan laporan, kalau semenjak aku jarang datang waktu karena sibuk di kampus, kalian jadi malas-malasan buat belajar. Siapa yang merasa seperti itu?”

Tidak ada satu pun anggota yang mengangkat tangannya. Ketidakhadiran Yoga memang cukup membuat Kia kewalahan. Ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengajari mereka berbagai macam pelajaran. Apalagi, beberapa anggota tampak ogah-ogahan belajar ketika Yoga tidak ada. Tentu tidak mungkin Kia menegur mereka karena ia merasa tidak memiliki hak untuk itu. Alasan lainnya, ia tidak pernah berani menegur orang lain. Sekali melakukan itu, ia mendapatkan salah satu pengalaman terburuk dalam hidupnya.

Kia sebenarnya ingin menjawab, namun merasa tidak enak hati. Toh, bukan Kia yang melapor ke Yoga, entah siapa. Beberapa anak laki-laki berusia tanggung yang ada di ruangan ini memang sedikit membuat Kia kesal karena hanya datang tapi tidak memperhatikan dirinya mengajar. Bahkan, mereka ramai sendiri sehingga menganggu suasana belajar. Beberapa anggota lain yang berani seperti Ana sudah berusaha untuk menegur mereka, yang sayangnya hanya dianggap sebagai angin lalu.

“Kalau tidak ada yang mengaku, aku sebutkan satu per satu.”

Maka Yoga pun menyebutkan satu per satu nama. Yang dipanggil segera menundukkan kepala, mungkin merasa malu. Sebenarnya Kia khawatir bahwa dirinya lah yang dianggap memberitahu Yoga, namun ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa.

“Aku minta kepada kalian untuk sedikit serius ketika kegiatan mengajar ini berlangsung meskipun aku enggak ada. Kasihan Kia harus mengajar sendirian, sedangkan anggota yang seumuran denganku harus kerja mencari nafkah. Jadi, aku peringatkan ke kalian semua untuk lebih menghargai kegiatan ini, juga menghargai Kia yang sudah meluangkan waktunya untuk mengajar kita semua.”

Semua anggota dengan serempak menjawab iya, meskipun beberapa di antara mereka menyimpan dendam ke Kia. Kia tidak menyadari hal ini, sama halnya ketika hari pertama ia berada di sini dan diantar Qila untuk pergi ke kamar mandi umum. Mata yang memandangi Kia dari kejauhan waktu itu sedang berada di ruangan ini, dengan kecurigaan dan kebencian yang membesar.

***

Ruang Belajar untuk semua anak resmi dimulai satu minggu setelah rapat tersebut. Karang Taruna menyebarkan undangan tersebut ke rumah-rumah untuk memberitahu orang tua tentang adanya kegiatan ini. Karena untuk anak kecil, Yoga memutuskan untuk mengadakan kegiatan ini di sore hari. Anggota yang memiliki waktu luang diharapkan membantu Kia mengajar, karena seperti yang sudah dibahas pada rapat kemarin, Yoga sudah mulai kuliah kembali sehingga ia tidak bisa selalu ada untuk kegiatan ini. Kegiatan mengajar untuk anggota internal tetap dilakukan malam hari seperti biasa.

Ketika hari pertama kegiatan Ruang Belajar, Kia dibantu oleh Ana, Eni, dan Lala. Yang laki-laki pada beralasan harus membantu orang tua mereka bekerja, entah benar atau tidak. Sebagian yang lain juga memiliki alasannya masing-masing. Kia tidak terlalu mempedulikan hal tersebut karena dirinya hanya ingin fokus mengajar. Sampai saat ini, harapannya untuk bisa membantu perekonomian pak Kusno belum terwujud karena belum pernah ada yang membayar jasanya baik dengan uang maupun sembako. Beberapa memang memberikan hasil kebunnya, tapi kata bu Imah warga sini memang sudah sering melakukannya.

Ia berharap dengan kegiatan Ruang Belajar yang dibuka untuk umum ini, para orang tua akan menyadari perannya dan dengan berbaik hati memberikan sumbangan seikhlasnya. Kia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menggunakan apapun pemberian orang untuk dirinya sendiri. Semua akan ia berikan untuk pak Kusno sekeluarga.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tapi belum terlihat tanda-tanda kedatangan anak-anak. Kia mulai sedikit khawatir, jangan-jangan mereka enggan datang karena masih ingin bermain.

“Kak Kia kenapa kok tegang kayak gitu?” tanya Eni.

“Oh, enggak kok Eni, aku cuma bingung kok belum ada yang datang sama sekali. Padahal udah jam empat.”

“Paling juga masih main kak, nanti adikku pasti datang bawa teman-temannya kok. Qila juga datang kan?” kata Ana berusaha menenangkan Kia.

“Iya, mungkin aku aja yang emang sedikit berlebihan ya, hahaha.”

Ucapan Ana terbukti. Beberapa menit kemudian, datanglah Qila, adiknya Eni, dan teman-teman lainnya. Semua terlihat antusias mengikuti kegiatan ini. Maklum, namanya anak kecil selalu semangat dengan hal baru, termasuk kegiatan mengajar ini. Dari informasi yang ia dapatkan dari anggota Karang Taruna, mereka semua masih sekolah. Rata-rata anak di kampung ini putus sekolah setelah lulus SD karena orang tua mereka tidak mampu membiayai lagi. Setelah lulus SD, mereka biasanya bekerja serabutan membantu orang tua mereka.

Tentu Kia sedikit sedih mendengar kabar ini karena ia bisa bersekolah di sekolah elit. Bahkan, ia sudah mendaftar kuliah di salah satu universitas bergengsi di Amerika Serikat. Awalnya ia ingin mencari beasiswa, namun papanya bilang enggak perlu. Kayak enggak mampu bayar aja, begitu kata papanya. Dengan kepandaian yang dimiliki, ia yakin bisa meraih beasiswa walaupun ia memang meragukan kemampuannya untuk mengikuti tes wawancara yang disyaratkan.

Kia jadi membayangkan berapa orang yang bisa disekolahkan dengan biaya sekolahnya. Ia tidak perlu masuk ke sekolah yang mahal, cukup sekolah-sekolah umum saja. Toh mau sekolah di manapun, semua tergantung kepada diri kita sendiri mau belajar dengan giat atau tidak. Percuma sekolah di tempat mahal tapi kitanya justru bermalas-malasan. Tiga orang temannya yang pernah merundung Kia di kamar mandi adalah bukti nyatanya.

“Kak Kia kok malah melamun, anak-anak udah pada kumpul nih.” tegur Eni yang melihat Kia tengah melamun.

“Eh, iya, maaf ya. Yuk adik-adik, kita mau belajar apa hari ini?”

Maka kegiatan Ruang Belajar tersebut resmi dimulai. Beberapa mengeluarkan pekerjaan rumahnya, beberapa ingin diajari membaca dan menulis. Kia membagi tugas kepada anggota Karang Taruna yang lainnya. Kia meminta Ana dan Eni membantu mereka yang membawa PR dari sekolah. Ia dan Lala bertugas untuk mengajari anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis seperti Qila. Semua berjalan dengan lancar sampai sejauh ini.

***

“Qila ke mana bu?” tanya pak Kusno kepada istrinya.

“Oh, itu, lagi ikut kegiatan mengajarnya Kia.” jawab bu Imah.

“Oh mulai hari ini ya? Bagus deh kalau begitu.”

“Iya pak, tapi jujur ibu punya perasaan enggak enak pak.”

“Kenapa? Kan kegiatannya Kia bagus.”

“Bukan masalah kegiatannya, tapi enggak tahu kenapa ibu merasa ada yang enggak suka sama Kia.”

“Siapa emangnya?”

“Enggak tahu ya, mungkin anggota Karang Taruna. Mungkin juga itu…” bu Imah urung melanjutkan kata-katanya.

“Bu Dewo maksudnya?”

Bu Imah menganggukkan kepalanya.

“Enggak baik loh bu berburuk sangka itu, udah jangan mikirin itu lagi.”

Meskipun suaminya berkata seperti itu, bu Imah tetap merasa khawatir terhadap Kia. Insting seorang ibunya mengatakan Kia akan mengalami kejadian buruk tidak lama lagi, dan itu dipicu oleh kegiatan mengajar yang dilakukannya. Karena tidak memiliki cukup bukti untuk mendukung kecurigaannya, bu Imah hanya bisa diam sembari berdoa di dalam hati agar Kia dijauhkan dari orang-orang yang berniat buruk kepadanya.

Fanandi's Choice

Exit mobile version