Distopia Bagi Kia
Bagian 2 Kehidupan di Sekolah Elit
Senin pun tiba, Kia akan menjalani aktivitas sekolahnya seperti biasa. Dengan sedikit malas-malasan, ia bangkit dari tempat tidurnya dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sebelum menggosok gigi di depan wastafel, Kia suka memandang cermin dan mengamati dirinya sendiri cukup lama. Banyak sekali yang dipikirkannya, walaupun kebanyakan hanya sesuatu yang acak sama sekali. Kadang ia berimajinasi untuk bertukar tempat dengan bayangannya.
“Enak menjadi bayangan di cermin, tidak perlu susah menjalani hidup, dan muncul hanya jika pemilik bayangan sedang bercermin.” gumamnya dengan suara yang rendah.
Ia raih pasta gigi yang memiliki sensasi rasa mint dan mengoleskannya ke sikat giginya yang berwarna merah muda. Kia tidak ingat apakah sikat tersebut ia yang memilih, karena biasanya semuanya telah tersedia begitu saja. Begitu pula deretan pakaian dan sepatu yang ada di lemarinya, ia merasa tidak pernah memilih sendiri style seperti apa yang ia suka. Semua dipilihkan orang lain, kebanyakan orangtuanya, yang merasa pilihan mereka merupakan yang terbaik untuk Kia.
Begitu pula sekolah. Kia tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih sekolah mana yang ia inginkan. Tiba-tiba saja ia diharuskan menjalani tes masuk di sekolah pilihan orangtuanya, diiringi ancaman dari papanya jika ia sampai gagal. Untunglah, Kia dianugerahi kemampuan belajar dengan ceoat, sehingga segala tuntutan tersebut bukan sesuatu yang berat bagi dirinya. Setidaknya, sampai saat ini ia belum pernah sekalipun mengecewakan orangtuanya terkait masalah nilai di sekolah.
Kia jadi terbayang-bayang pengalaman satu setengah tahun di sekolahnya yang sekarang. Sama seperti sekolah-sekolahnya yang dulu, murid-muridnya berasal dari kalangan yang berada. Hampir tidak ada murid dari ekonomi kelas menengah ke bawah di sana. Nampaknya sekolah-sekolah elit enggan untuk memberikan beasiswa ke murid yang kurang mampu namun diberkahi kemampuan otak yang cerdas. Yang lebih mereka pikirkan adalah kemampuan orangtua untuk membayar biaya sekolah yang setara dengan biaya kuliah kedokteran di universitas negeri.
Setelah mengguyur sikatnya dengan air, Kia memulai menggosok giginya dengan gerakan yang telah ia ulang-ulang semenjak kecil. Ia lupa siapa yang mengajarinya gosok gigi, yang jelas bukan mamanya. Mungkin salah satu pengasuhnya sewaktu ia masih kecil. Berkali-kali ia coba mengingatnya, tak muncul satu pun wajah orang yang dengan senyum dan sabar mengajarinya menggosok gigi. Kia berpikir, mungkin saja orang tersebut memang tidak pernah ada. Semua terjadi begitu saja.
***
Supir dan mobil pribadinya sudah siap begitu Kia melangkah ke luar rumah. Mobil Mercedes Benz S 450 L yang dibelikan papanya khusus untuk mengantarnya sekolah dibeli dua bulan kemarin, mengantikan mobil lama yang telah berusia dua tahun. Bagi tuan besar Labdajaya, mobil dengan usia segitu sudah termasuk tua, sehingga butuh diganti. Kia tidak terlalu peduli. Baginya, semua mobil rasanya sama saja, berapa pun harganya. Mau mobil apapun, ia pasti duduk di belakang sambil mengamati apa saja yang mereka lewati dalam perjalanan.
“Selamat pagi nona Kia, sudah siap untuk berangkat?” kata pak Tejo, supir pribadi yang dikhususkan untuk mengantar Kia ke manapun. Ada supir-supir lainnya juga, tapi mereka memiliki tugas yang berbeda-beda. Tentu saja, Kia tidak ikut memilih supir mana yang akan mengantar dirinya. Semua sudah diatur, atau bagi Kia, dipaksakan.
“Pagi.” jawab Kia dengan ekspresi yang tetap datar.
Bahkan Kia tak perlu repot-repot membuka pintu, pak Tejo dengan sigap membukakan pintunya. Ketika Kia sudah duduk di dalam, pintu pun akan tertutup dengan selembut mungkin. Hal pertama yang akan dilakukan oleh Kia setelah masuk mobil adalah menyalakan televisi di dalam mobil yang telah dilengkapi oleh internet. Bukan untuk menonton acara gosip, melainkan untuk menonton saluran favoritnya sebelum berangkat sekolah, National Geographic Wild.
Kia senang melihat binatang-binatang yang bisa lari bebas di alam liar. Mungkin, hal tersebut terjadi karena ia merasa kehidupannya berbanding terbalik dengan singa, zebra, antelope hingga gajah yang ia lihat. Memang, beberapa binatang pada akhirnya akan tewas menjadi mangsa predator, namun Kia meyakini bahwa hal tersebut memang sudah menjadi takdir. Setidaknya, mereka pernah menjalani hidup sebagai makhluk yang memiliki kebebasan untuk berbuat sesuai dengan keinginannya.
Ironi sebenarnya, mengapa binatang bisa begitu bebasnya, sedangkan aku yang manusia harus terkekang di dalam kurungan yang dibuat oleh orang tuaku, tanya Kia di dalam hati. Entah berapa kali Kia merasa seperti itu, dan tidak ada tanda-tanda ia bosan dengan terus membandingkan dirinya dengan binatang, bayangan di cemin atau apapun yang ia rasa lebih bahagia dari dirinya. Yang jarang ia lakukan adalah membandingkan dirinya dengan manusia lainnya. Bukan karena manusia lain yang ia tahu lebih tidak bahagia darinya, melainkan karena Kia tidak tahu apa-apa tentang mereka. Sekedar nama pun jarang Kia ingat karena proses perkenalan yang paling konvensional hampir tidak pernah ia lakukan.
Kia merasa dirinya adalah manusia yang diciptakan untuk terkekang, sehingga usaha untuk berontak sekeras apapun tak akan berguna. Ia merasa lebih baik menurut untuk melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Tak pernah muncul sekalipun protes dari bibirnya untuk segala perlakuan yang ia terima. Ia telah memasrahkan diri untuk menerima kenyataan hidup yang pahit. Kebisuannya itulah yang membuat pikirannya sering sibuk tak karuan dan lama kelamaan menyebabkan depresi tingkat tinggi.
Saluran NatGeo Wild hari itu menampilkan penyelamatan beberapa orang untuk menolong bayi jerapah yang akan dilahirkan oleh induknya. Kia membayangkan, betapa berat harus melahirkan dengan kondisi berdiri seperti itu, apalagi jika kakinya panjang dan kurus. Pikiran baru muncul di kepala Kia, berharap ada beberapa orang akan menyelamatkan dirinya seperti bayi jerapah tersebut. Ia tahu bahwa itu bukan perbandingan yang tepat, akan tetapi ia tidak peduli.
Masalahnya, jika diselamatkan oleh orang lain, diselamatkan yang seperti apa? Pindah ke pasangan yang tidak bisa punya anak namun sangat sayang dan peduli kepada anak angkatnya? Atau menjalani hidup mandiri dan melepas nama besar Labdajaya yang disandangnya? Kia sendiri tidak bisa mendeskripsikan definisi diselamatkan dari kehidupannya saat ini. Bahkan ia tak tahu ia harus diselamatkan dari apa. Dari dunia yang ia anggap sebagai distopianya?
Induk jerapah tersebut belum berhasil melahirkan anaknya ketika Kia telah sampai di sekolah. Sebelum turun, ia berdoa agar induk dan anak jerapah tersebut diberi keselamatan dan kesehatan. Ia juga berdoa, semoga para penyelamat jerapah tersebut bisa menjalankan tugasnya dengan baik walaupun ia tak mengenal mereka. Jangankan mereka, bahkan orang-orang yang yang ada di dekatnya pun banyak yang tidak ia kenal.
***
Sewaktu melangkah ke gerbang sekolah, Kia melihat ada seekor kucing yang sedang mengendus-endus mencari makanan. Ia segera membuka ranselnya dan memeriksa bekalnya hari ini. Untunglah, hari ini pembantunya membuatkan menu sapi lada hitam. Ia ambil beberapa iris dan memberinya kepada kucing tersebut. Sayang, kucing tersebut enggan memakannya. Mungkin kucing tersebut tahu bahwa makanan tersebut cukup pedas untuk mamalia seperti dirinya.
Kia merasa sedih pemberiannya ditolak oleh kucing tersebut. Bahkan untuk sekedar menjalin hubungan baik dengan hewan pun susah baginya. Ia memasukkan kembali bekalnya dan berbalik untuk masuk ke dalam sekolah. Kia berbalik dengan cepat, sehingga ia sempat melihat tatapan-tatapan sinis teman-teman satu sekolahnya kepada dirinya sewaktu ia berusaha mendekati kucing yang terlihat kumuh tersebut. Tak perlu memiliki kemampuan membaca pikiran untuk mengetahui apa yang ada di pikiran mereka.
“Ih, jijik banget mau deket-deket sama binatang najis kayak gitu. Jangan dekat-dekat sama dia deh kalo gitu.”
Dengan berusaha tidak mempedulikan pikirannya sendiri, Kia bergegas masuk ke dalam sekolah sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia heran, apakah kekayaan orangtua layak dijadikan alat untuk membuat kita memandang hina makhluk lain termasuk manusia? Kia ingin meneriaki mereka semua, bahwa kesombongan mereka tersebut tidak pada tempatnya. Mereka bisa masuk ke sekolah ini karena kerja keras orangtua mereka sehingga bisa membiayai tingginya uang sekolah di sini. Lantas, mengapa mereka memandang dengan jijik kucing yang hanya berusaha menyambung hidup itu? Dan mengapa mereka lantas juga memandang dirinya dengan jijik?
Kia memutuskan untuk tidak langsung ke kelas. Ia mampir ke kamar mandi dan masuk ke dalam toilet. Di sana, ia tumpahkan beberapa tetes air mata karena perasaannya telah terluka.
***
Bangku Kia terletak di sudut belakang sebalah kanan,. Bahkan di sekolah pun, tempat ia harus duduk diatur oleh orang lain. Karena nama depannya Zaskia, ia harus duduk di belakang, sedangkan yang berawalan A duduk di depan. Ia tak pernah tahu apa alasannya, dan tidak pernah tertarik untuk menanyakan alasannya. Toh dengan ia duduk di belakang, ia jarang menjadi pusat perhatian. Kehadirannya seolah-olah sama dengan ketidakhadirannya.
Sebagai sekolah yang bertaraf internasional, tentu bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar. Hal tersebut bukan masalah bagi Kia, yang telah belajar bahasa tersebut sejak umur lima tahun secara privat. Aksennya sudah seperti aksen orang Inggris. Jika berbicara melalui telepon, pasti orang akan percaya jika lawan bicaranya merupakan orang asli Inggris. Walaupun tentu saja, Kia jarang mendapatkan telepon.
Setelah bel berbunyi, masuklah guru yang mengajar di jam pertama. Masalah kedisiplinan, jangan pernah meragukannya di sekolah Kia. Keterlambatan sama sekali tidak diberi toleransi. Begitu pun peraturan-peraturan yang lain, dijalankan dengan sangat ketat. Mungkin karena sekolah sadar bahwa murid-muridnya kebanyakan calon penerus perusahaan, sehinga mereka harus melatih kedisiplinan mereka.
Guru perempuan dengan kacamata tipis tersebut memulai kelas dengan mengabsen kelas-kelas tersebut. Sebenarnya tidak perlu menyebutkan nama-nama, guru siapapun akan langsung mengerti berapa murid yang hadir pada hari itu karena tiap kelas jumlah muridnya hanya 20 orang. Pemanggilan nama hanya sekedar formalitas dan Kia selalu dipanggil terakhir.
“Zaskia Anjani Putri Labdajaya.”
“Present.” jawab Kia dengan intonasi yang sama seperti biasanya.
“Baik anak-anak, keluarkan kertas dan alat tulis. Kita ujian hari ini.” perintah guru tersebut dengan wajah yang sedikit mendongak.
Ulangan mendadak bukan hal yang mengejutkan bagi siswa-siswa yang bersekolah di sana. Dengan standar yang sangat tinggi, mereka tak segan untuk mengeluarkan murid yang dirasa tidak bisa memenuhinya. Akan tetapi, alasan mengapa mereka menggunakan standar tinggi tersebut adalah untuk memeras wali murid yang anaknya memiliki nilai di bawah standar. Jika tidak ingin anak mereka dikeluarkan, maka berilah sedikit sumbangan, nanti nilainya bisa diatur agar memenuhi nilai minimum. Sedikit sumbangan itu sama dengan biaya pembuatan satu gedung.
Kia tidak pernah mengetahui fakta ini. Ia hanya belajar dan berusaha untuk memenuhi ekspetasi papanya. Mau ulangan yang telah dijadwalkan maupun tidak, Kia selalu rajin belajar. Bagaimana tidak, jika di rumah ada guru privat yang selalu mengingatkannya untuk belajar pada jam-jam tertentu. Untunglah pada dasarnya Kia anak yang rajin, sehingga tidak ada keterpaksaan yang berlebihan ketika ia belajar.
“Kia, boleh pinjam alat tulis? Punyaku ketinggalan.”
Kia menoleh ke sumber suara. Teman laki-laki yang duduk di sebelahnya nampak sedang berpose meminta bantuan. Ia tak bisa mengingat namanya, walaupun nama laki-laki tersebut selalu disebut sebelum namanya. Hal ini terjadi karena Kia selalu melamun sebelum namanya dipanggil. Untunglah telinganya cukup responsif ketika mendengar namanya disebut, sehingga ia tak pernah dimarahi karena tidak menjawab sewaktu dipanggil.
Kia mengambil satu buah pensil dan penghapus dari kotak pensilnya, dan menyerahkannya kepada laki-laki tersebut tanpa bersuara. Laki-laki tersebut mengucap banyak terima kasih sembari tersenyum. Ujian pun dimulai.
***
“Bawa aja dulu, nanti kamu butuh lagi.” kata Kia sewaktu laki-laki yang duduk di sebelahnya tersebut mengembalikan alat tulisnya.
“Heee, ini kayaknya pertama kali gue denger lo ngomong deh.” cetus laki-laki tersebut. Kia tidak memberikan jawaban. Ia memang jarang berinteraksi dengan teman sekelasnya.
“Setiap dipanggil untuk absen aku selalu ngomong. Setiap presentasi aku juga ngomong.” kata Kia lagi tanpa menatap laki-laki tersebut.
“Iya maksudku ngomong di luar yang lo sebutin tadi. By the way thanks ya udah mau minjemin, entar pulang sekolah gue balikin.”
Kia tidak memberi respon walaupun hanya ucapan sama-sama. Kia ingat, teman sebelahnya itu sering mencoba untuk berbicara dengannya, namun selalu ditanggapi dengan jutek olehnya. Salah satu kesusahannya untuk berinteraksi dengan teman-temannya adalah ia tak terbiasa menggunakan lo gue yang umum digunakan orang-orang Jakarta. Sejak kecil, ia banyak dilatih untuk menggunakan bahasa yang formal. Sejak ia diejek karena menggunakan aku kamu, Kia semakin merasa rendah diri dan berusaha untuk meminimalisir percakapan dengan teman-temannya.
Terbit sedikit rasa bersalah di hati Kia karena telah mengabaikan temannya tersebut, namun tak cukup kuat untuk membuatnya berbicara. Susahnya untuk berinteraksi membuat kehidupan Kia di sekolah elit tersebut sangat menyiksa.
You must be logged in to post a comment Login