Distopia Bagi Kia
Bagian 3 Burung di Dalam Sangkar
Sepulang sekolah, Kia mencari kucing yang ia temui tadi pagi. Sayang, nampaknya kucing tersebut telah berkelana ke daerah lain. Ia telah membeli beberapa roti isi ikan yang harganya cukup mahal di kantin, dan ia berencana untuk memberikan isinya kepada kucing tersebut. Karena kucing tersebut telah pergi, ia memutuskan untuk memakannya sendiri.
Dari dulu, Kia ingin memelihara seekor kucing. Ia tak peduli mau dari ras apa, yang penting ia punya peliharaan untuk disayang. Sayang, orangtuanya melarang. Alasannya, takut binatang-binatang tersebut membawa penyakit. Kia melampiaskan pelarangannya tersebut dengan menyapa semua binatang yang ia temui di jalan. Jika sedang membawa makanan, ia tak segan untuk memberi mereka makan.
Kia memasukkan kembali rotinya ke dalam tasnya dan berjalan ke tempat di mana biasanya pak Tejo menunggu.
“Sore nona, gimana sekolahnya hari ini?” sapa pak Tejo sambil membukakan pintu untuk Kia.
“Biasa.” jawab Kia dengan nada yang sama seperti tadi pagi.
“Mohon maaf nona, jalan yang biasa kita lewati sore ini ditutup karena ada perbaikan jalan, makanya tadi saya berangkat lebih awal supaya tidak telat. Kita lewat jalan lain ya, tidak apa-apa kan non?”
“Iya.”
Maka meluncurlah mereka melewati jalan alternatif yang tidak pernah Kia lewati. Ia sedikit penasaran, perjalanan seperti apakah yang akan ia lewati. Salah satu sifat anak kecilnya yang belum hilang adalah mudah antusias dengan hal baru. Buruknya, ia segera mengusir perasaan itu dengan menanamkan pikiran-pikiran yang berhawa negatif. Seperti sekarang, ia langsung berpikir bahwa semua akan terlihat sama saja, seperti jalan-jalan lainnya.
Kia tidak tahu, bahwa ia akan melewati jalan yang akan membuatnya banyak merenung malam ini.
***
Jalan alternatif yang diharapkan lancar nyatanya justru menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Nampaknya jalan ini sudah bukan rahasia lagi, sehingga semua pengemudi kendaraan memilihnya ketika jalan utama harus ditutup. Meskipun sudah dibantu oleh polisi cepek, tetap saja arus kendaraan mengalir bak air bah. Belum lagi ditambah ketidakteraturan yang ditunjukkan oleh pengemudi lainnya.
Kia yang merasa bosan memandangi jalan yang itu-itu saja memutuskan untuk menyalakan televisinya. Sama seperti tadi pagi, ia ingin menonton siaran NatGeo Wild kembali. Ia sedikit berharap bisa menonton lanjutan penyelamatan bayi jerapah. Sayang, saluran tersebut sedang menayangkan tentang sebuah acara televisi tentang pelatih anjing sedang berusaha menjinakkan seekor anjing yang nampak lepas kendali karena suatu masalah. Kia jadi teringat sedikit tentang keinginannya untuk memiliki hewan peliharaan.
Suara keras membuat Kia terhentak dan segera mencari sumber suara, walaupun mobilnya telah dilengkapi kaca yang bisa meredam kebisingan dari luar. Ternyata ada sedikit tabrakan antara pengendara sepeda motor dengan seorang kakek yang sedang menarik gerobak. Terjadi sedikit pertengkaran antara mereka, atau lebih tepatnya sang pengendara motor yang memarahi kakek tersebut. Kia mencoba untuk menerka apa yang sedang diomongkan oleh mereka.
Nampaknya sang pengendara motor menyalahkan sang kakek karena telah berjalan dengan lambat sehingga terjadi tabrakan. Sang kakek lebih banyak diam, dan memutuskan untuk pasrah menerima makian. Untunglah karena banyak bel bersautan di belakangnya, sang pengendara motor memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan gusar.
Rasa iba muncul pada diri Kia. Ia merasa kasihan melihat seorang kakek di usia yang seharusnya sudah waktunya untuk menikmati masa tua masih harus banting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi. Ia jadi merasa bersyukur bahwa dirinya hidup penuh dengan keberlimpahan. Ia tak pernah merasa kelaparan atau kekurangan uang. Yang ia tidak miliki adalah waktu dengan keluarga dan persahabatan yang hangat dari teman-temannya.
Kia jadi berpikir, apakah ia mau menukar kehidupannya demi mendapatkan apa yang hilang dari dirinya. Apakah ia bisa bertahan hidup dalam kemiskinan namun memiliki orangtua yang begitu mempedulikannya? Apakah ia akan bahagia dengan memiliki banyak teman walaupun perut terasa melilit karena tidak ada yang bisa dimakan hari ini?
Tanpa sadar sang kakek sudah berada di samping mobilnya sewaktu Kia melamun. Dari dekat, terlihat dengan jelas gurat wajah sang kakek yang menunjukkan rasa lelahnya. Apakah kakek itu sudah makan, tanya Kia dalam hati. Lalu ia teringat dengan roti yang ia beli tadi. Maka tanpa meminta ijin supirnya, Kia langsung membuka jendela dan memberikan roti tersebut kepada sang kakek. Karena kondisi jalan sedang macet total, Kia bisa mengulurkan tangannya tanpa takut akan tertabrak oleh kendaraan lain.
“Kek, ini Kia ada roti buat kakek.” panggil Kia dengan suara yang sedikit dikeraskan, karena ia khawatir sang kakek tidak bisa mendengarnya. Untunglah sang kakek menoleh sebagai tanda ia mendengar panggilannya. Dengan menunjukkan giginya yang tinggal sedikit, ia menerima roti tersebut.
“Makasi ya nak, semoga dibalas berkali-kali lipat sama Tuhan.” gumam kakek tersebut penuh bersyukur. Mungkin ia tak menyangka, seseorang dari dalam mobil yang begitu mewah masih mempedulikan seorang renta seperti dirinya.
“Amin, kakek hati-hati ya, tadi kan habis ditabrak.” kata Kia sambil menutup kembali jendelanya.
“Nona, tadi itu tindakan yang berbahaya sekali. Kalau ada apa-apa gimana?” tegur pak Tejo yang tadi tak sempat bereaksi dengan cepat.
“Enggak apa-apa kok pak, toh posisi mobil lagi berhenti.”
“Tapi tetap aja bahaya non, kalau nona sampai terluka saya bisa dipecat sama papa. Kan nona bisa minta tolong saya, nanti saya yang turun dan ngasih roti itu.”
Bahkan untuk perbuatan baik saja masih dibatasi, batin Kia. Ia hanya spontan ingin memberikan apa yang ia miliki untuk orang yang membutuhkan. Kia ingin berbuat baik melalui tanganya sendiri tanpa perantara orang lain. Bahkan hal sekecil itu saja dipermasalahkan, dan semua selalu menyebut papanya. Seolah gerak sekecil apapun harus diketahui oleh papanya.
Akhirnya mobil kembali jalan. Kia berusaha mencari kakek yang tadi, namun ia tidak berhasil menemukannya di antara kerumunan kendaraan bermotor yang ada di sekitarnya. Ia memutuskan menyalakan sleep mode yang dimiliki mobilnya dan memutuskan untuk tidur sejenak, melupakan pertemuan dengan sang kakek tersebut.
***
Sesampainya di rumah, Kia langsung menuju kamarnya untuk mandi dan segera mengerjakan pekerjaan rumahnya. Waktunya sudah banyak terbuang di perjalanan tadi, dan Kia sama sekali benci mengerjakan tugas di mobil karena ketidaknyamanannya, walaupun mobil yang ia naiki bisa mencegahnya dari guncangan-guncangan kecil.
Segera setelah selesai membersihkan diri, Kia mulai membuka dan mengerjakan soal lembar demi lembarnya. Sekolahnya terkenal kejam jika berurusan dengan tugas. Ia sering mendengar teman-temannya mengeluhkan masalah ini, walaupun bagi Kia tugas-tugas ini masih bisa dikerjakan tepat waktu asal menggunakan waktu dengan bijak. Meskipun memiliki guru privat, Kia lebih suka mengerjakan tugasnya sendiri. Ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak bertanya kepada orang lain.
Ketika mengerjakan tugas bahasa Indonesia, Kia menangkap sebuah kalimat yang mengandung kata kakek, membuatnya membayangkan nasib sang kakek tersebut. Ke manakah ia akan pergi? Apakah ia masih memiliki keluarga? Berapa penghasilan yang ia dapatkan dalam satu hari? Apa pekerjaannya dan apa guna gerobak itu?
Menggaungkan banyak pertanyaan dalam pikirannya sendiri merupakan salah satu hobi Kia. Walaupun kebanyakan dari pertanyaan tersebut tidak terjawab, Kia tidak mempermasalahkannya. Tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban, itu yang ia yakini. Termasuk pertanyaan mengapa ia hidup seperti kondisinya saat ini. Kia percaya tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. Ia memilih untuk terseret arus begitu saja, tanpa tahu arus tersebut akan membawanya ke mana.
Kia memutuskan untuk berdiri dan menengok jendela sebentar. Pemandangan yang sama setiap hari, panorama halaman depannya yang begitu hijau dan luas. Lampu taman menambah kecantikannya. Seingat Kia, mamanya lah yang begitu peduli dengan urusan taman, walaupun mama sendiri jarang menikmati karena kesibukannya. Justru Kia yang lebih sering menikmatinya. Ia sering mengintip dari kamarnya ketika merasa jenuh, baik oleh tugas maupun pikirannya sendiri.
Melihat pagar yang menjulang tinggi di sana, Kia kembali menanyakan dirinya sendiri. Apakah ia berani untuk kabur dari rumah melewati pagar tersebut? Jika berani, dengan cara apa ia bertahan hidup? Bukankah ia selama ini hidup dengan uluran tangan orang untuk hampir setiap kegiatannya? Belajar menjadi mandiri jelas bukan agenda orangtuanya. Ia difasilitasi berbagai hal, dari yang memang dibutuhkan hingga sesuatu yang remeh temeh.
Rika memutuskan kembali ke meja belajarnya, kembali ke realita hidupnya yang bagaikan burung di dalam sangkar.
***
Ketika salah seorang pembantunya mengantar makan malamnya ke kamar, ia mendapatkan laporan bahwa orangtuanya akan mampir besok karena ada sedikit urusan di Jakarta. Kia tidak memberikan respon apapun dan kembali melanjutkan belajarnya. Ia merasa heran, bagaimana seseorang bisa disebut mampir ke rumahnya sendiri. Bukankah tujuan dibangunnya sebuah rumah adalah untuk dihuni, bukan sekedar tempat beristirahat sejenak?
Konsenterasi belajar Kia menjadi sedikit terganggu. Ia meletakkan pensilnya dan mengintip menu makanan yang baru saja diantarkan. Nampaknya chicken fillet dengan saus keju. Kia memakannya satu iris dan mengunyahnya secara perlahan. Ia sangat jarang makan di ruang makan yang sebenarnya begitu nyaman. Kia lebih memilih makan di kamar, karena toh makan di sana pun ia akan sendirian.
Kia sedikit merasa kesal mendengar laporan dari pembantunya tersebut. Mengapa ia tahu kepulangan orangtuanya dari orang lain? Mengapa mereka tidak meneleponnya sendiri? Buat apa ia memiliki ponsel pribadi jika tidak untuk berkomunikasi di saat jarak memisahkan? Tiba-tiba muncul di kepala Kia sebuah pikiran, mungkin hal tersebut tidak terjadi karena ia tidak mendengar ponselnya berbunyi.
Ia segera mengambil ponselnya yang terletak di dalam tas. Segera ia cek daftar panggilan yang masuk. Nihil. Tidak ada panggilan yang tidak terjawab. Artinya, orangtuanya memang tidak meneleponnya. Mungkin bagi mereka, memberitahu kepala pelayan sudah cukup, biar nanti sang kepala pelayan yang menyebarkan beritanya kepada seluruh anggota rumah, termasuk dirinya.
“Sebegitu tidak pentingkah aku bagi orangtuaku?” kata Kia sambil merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Air mata mulai menetes dari kedua matanya, ia genggam erat guling yang ia pegang. Pertanyaan yang menggantung tadi siang menemukan jawabannya. Ia rela menukar segala kehidupannya sebagai anak orang kaya dengan kasih sayang orangtua.
***
“Udah telepon Kia pa?” tanya mama Kia kepada suaminya sewaktu mereka mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta.
“Tadi udah telepon si Budi, nanti juga dia yang kasih tahu ke Kia.” jawab suaminya yang masih fokus dengan telepon genggamnya.
“Lo gimana sih, tadi katanya mau ngabari Kia langsung? Nanti dia kepikiran yang aneh-aneh lo.”
“Kalau gitu mama aja yang telepon dia sekarang. Tadi papa enggak sempat waktu kita masih di Narita.”
Mamanya Kia hanya bisa memandang suaminya tersebut dengan perasaan kesal. Tadi ia ingin menelepon anaknya, tapi dilarang. Katanya, ia yang akan memberitahukannya. Eh, ternyata malah cuma telepon pak Budi, kepala pelayan di rumahnya. Maka sang mama pun berusaha menelepon Kia, yang tidak dijawab karena ponsel milik Kia sedang berada dalam kondisi mati. Kia sengaja tidak mengisi ulang baterainya karena merasa perbuatan tersebut percuma.
Merasa khawatir dengan anaknya, bu Labdajaya sebenarnya ingin langsung pulang ke rumah. Hanya saja, mereka ada janji untuk bertemu dengan salah seorang rekan bisnis di Bekasi. Meskipun sudah terlarut untuk sebuah pertemuan, hal tersebut sudah biasa bagi mereka karena padatnya jadwal mereka. Stamina mereka berdua sudah teruji oleh waktu menghadapi tingginya ritme kerja mereka.
Sebenarnya, bu Labdajaya sudah berpikir untuk pensiun dini dari kerjanya. Ia ingin mencurahkan lebih banyak perhatian untuk anak sematawayangnya. Ia sadar, bahwa Kia dibesarkan dengan kondisi yang kurang ideal walaupun dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Sayang, hasrat kerjanya membuat ia memilih untuk lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bisnis dan menemani suaminya untuk bertemu dengan klien-klien penting. Hal tersebut penting untuk menebar jaring lebih luas demi kelancaran usaha mereka. Sehingga, meskipun rencana pensiun tersebut muncul, realisasinya masih jauh sekali.
Bu Labdajaya pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas tangannya dan merangkul lengan suaminya. Ia khawatir suaminya yang sedang membaca laporan-laporan melalui ponselnya akan tersandung karena tidak memperhatikan jalan.
You must be logged in to post a comment Login