Distopia Bagi Kia
Bagian 5 Kota Tua Jakarta
Barang yang dipandang oleh Kia sewaktu bangun tidur adalah sebuah kotak kecil yang berada di atas meja belajarnya. Setelah kepergian orangtuanya kemarin malam, salah satu pelayan rumahnya memberitahu bahwa mereka menemukan sebuah kotak kecil di ruang keluarga. Rupanya orangtua Kia lupa memberikan hadiah tersebut ke Kia secara langsung, mungkin karena kepergian mereka yang serba mendadak. Kia menerima kotak tersebut tanpa ekspresi dan memutuskan untuk tidak membukanya langsung.
Walaupun tidak merasa senang dengan hadiah tersebut, Kia tetap merasa penasaran apa yang ada di dalam kotak berwarna merah muda tersebut. Kemarin perasaannya masih campur aduk sehingga ia bisa membuang rasa penasaran tersebut, namun pagi ini ia sudah merasa lebih tenang. Kia berdiri dari tempat tidurnya dan memutuskan untuk membuka bingkisan tersebut, melepas pitanya yang berwarna merah darah.
Isinya adalah sebuah gantungan kunci berbentuk kucing. Meskipun bentuknya kecil, Kia yakin bahwa barang ini lebih mahal dari penghasilan kakek tua dalam satu minggu yang ia temui tempo hari di jalan raya. Kia tidak tahu mengapa ia tiba-tiba teringat kepada kakek tersebut. Senyum tulusnya sewaktu menerima roti pemberian Kia masih terngiang di kepalanya. Ia begitu bahagia sewaktu menerima sebungkus roti yang harganya tidak seberapa. Lantas, mengapa dirinya tidak bahagia sewaktu mendapatkan hadiah dari orangtuanya yang mahal ini?
“Karena kebahagiaan bukan diukur dari materi.” ujar Kia menjawab pertanyaannya sendiri di dalam hati.
Kia memutuskan untuk menggunakan gantungan tersebut di tasnya. Ia menerka apa tujuan orangtuanya, lebih tepatnya mama karena papa tidak akan memikirkan hal-hal seperti itu, membelikan dirinya hadiah berbentuk kucing. Apakah karena mamanya tahu bahwa dirinya menginginkan seekor binatang peliharaan namun tidak mendapatkan ijin, sehingga sebagai gantinya ia mendapatkan gantungan lucu ini? Kia merasa jawaban tersebut tidak tepat karena bagaimanapun makhluk hidup tidak akan bisa digantikan dengan benda mati.
Sayang Kia tidak cukup teliti memeriksa kotak tersebut. Padahal, di dasarnya terdapat sepucuk surat ucapan selamat ulang tahun dari mamanya. Surat tersebut dilipat sedemikian rupa hingga seukuran luas dari alas kotak, seolah-olah memang menjadi bagian dari kotak. Kia tidak menyadari hal ini dan ia membuang kotak tersebut begitu saja.
Setelah cukup lama termenung memandangi gantungan yang telah terpasang di resleting depan tasnya, Kia beranjak dari duduknya dan mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Di dalam hatinya, ia berharap gantungan kunci ini akan membawa keberuntungan bagi dirinya.
***
Pelajaran sejarah hari ini mengharuskan satu kelas membantuk lima kelompok yang terdiri dari empat anggota. Kia selalu membenci tugas yang dikerjakan secara berkelompok. Pertama, ia lebih suka mengerjakan tugas sendiri. Kedua, teman-temannya seringkali memanfaatkan Kia untuk mengerjakan tugas tersebut. Kia yang pada dasarnya kurang bisa berkomunikasi dengan orang lain, tidak bisa mengajukan protes dan memilih untuk mengerjakannya sendiri. Bantuan yang diberikan teman-temannya seringkali tidak lebih dari membuat sampul atau sekedar mencetak laporan. Sebenarnya banyak siswa rajin dan pandai di kelas Kia, hanya saja para guru sering memisahkan mereka agar komposisi kelompoknya seimbang.
Hari itu, Kia harus berkelompok dengan tiga orang perempuan yang terkenal sebagai bintang sekolah karena kecantikan mereka. Hanya kecantikan fisik saja, karena di dalamnya sama sekali tidak berisi. Mereka bertiga sangat malas, tidak ada kemauan kuat untuk belajar, dan hanya mementingkan reputasi di mata orang lain. Kekayaan orangtua mereka berhasil membuat mereka terbuai sehingga mereka cenderung berbuat seenaknya.
Harapan Kia untuk mendapatkan keberuntungan sirna sudah. Ketiga wanita tersebut memang selalu meminta Kia bergabung dengan kelompoknya apabila guru memerintahkan siswanya untuk membentuk kelompok sendiri. Seingat Kia, begitu memasuki kelas sebelas ini, dirinya sudah sering diajak bergabung apabila terdapat tugas kelompok, meskipun ia tak pernah merasa mengiyakan ajakan mereka. Sebenarnya Kia sadar bahwa dirinya sudah dimanfaatkan, namun ia memutuskan untuk pasrah menerimanya. Yang bisa ia lakukan hanya mengerjakan tugas sebaik mungkin, bahkan tanpa bantuan mereka sekalipun.
“Hei Kia, seperti biasa, kita satu kelompok ya.” ujar Melissa, yang seringkali dianggap sebagai ketua dari trio tersebut.
“Iya.” jawab Kia pendek seperti biasa.
“Tugasnya parah nih, masa kita disuruh cari lokasi-lokasi bersejarah di Jakarta. Gila, masa gue disuruh panas-panasan. Kalau tempat bersejarahnya ada di mall sih gue mau-mau aja.” tambah Cindy yang berambut pendek.
“Iya nih, lu mau enggak Zas yang pergi ngumpulin data? Entar kita bantuin ngerjain laporannya.” giliran Enza yang gemar memakai bando dengan harapan menambah keimutan dirinya.
Kia suka dengan tempat bersejarah. Museum adalah tempat favoritnya jika mendapatkan ijin untuk jalan-jalan, yang sayangnya jarang ia dapatkan. Akan tetapi, jika kondisinya seperti ini, tentu ia merasa sedikit jengkel. Kira-kira sama dengan perintah papanya agar ia berlatih piano, dipaksa melakukan sesuatu yang ia senangi dengan tujuan menyenangkan yang memberi perintah, bukan demi kebahagiaan dirinya.
“Eh kok lu enggak jawab sih Zas, kalo keberatan ngomong dong.” kata Melissa dengan nada meninggi. Kia menyadari bahwa pertanyaan tersebut ditujukan untuk mengintimidasi dirinya. Kia tidak takut dengan gertakan seperti itu, hanya saja ia memilih untuk menghindari konflik sejauh mungkin.
“Iya enggak apa-apa.”
“Nah gitu dong. Seneng deh punya temen kayak loe.”
Teman? Kia hanya bisa tertawa kecil di dalam hatinya. Sampai kapanpun, mereka tidak akan pernah menganggap Kia sebagai teman. Di mata mereka, Kia adalah sebuah pion yang bisa mereka manfaatkan untuk bersantai dan tetap mendapatkan nilai bagus. Kia menyadari itu semua, Kia tidak bodoh. Kia hanya terlalu lemah untuk bisa memberikan perlawanan. Ia terbiasa untuk diam dan menerima segala bentuk perintah, dari siapapun.
***
Kia adalah tipe siswa yang tidak suka menunda-nunda untuk mengerjakan tugas sekolah. Oleh karena itu, sepulang sekolah ia minta pak Tejo untuk mengantar dirinya ke kawasan kota tua Jakarta. Kia sudah pernah ke sana, dan ia merasa yakin bisa menemukan bahan risetnya di sana. Baginya, tugas kali ini bisa membuat dirinya lepas dari kepenatan rutinitas harian. Satu-satunya yang mengganjal pada diri Kia sekarang adalah bagaimana cara meyakinkan pak Tejo agar tidak mengikuti dirinya sepanjang ia menelusuri museum.
“Pak, antar Kia ke kota tua ya, ada tugas dari guru.” pinta Kia sewaktu dirinya telah berada di dalam mobil.
“Eh, saya telepon papa dulu ya.” jawab pak Tejo sambil melihat bayangan Kia pada spion tengah.
“Enggak usah pak, kan kalau buat tugas sekolah papa enggak pernah ngelarang.”
“Kalau gitu saya ikut masuk ke dalam museum ya non.”
“Jangan pak, saya enggak bisa fokus kalau ada orang lain.”
“Tapi non..”
“Udahlah pak, percaya sama Kia.”
Baru kali ini Kia bisa setegas itu kepada orang lain. Bayangan akan kebebasan di tempat favoritnya untuk waktu yang sebentar memberinya kekuatan untuk itu. Pak Tejo pun sedikit terkejut melihat anak majikannya yang penurut tiba-tiba bisa memberi perintah selugas itu. Sebagai supir, tentu beliau tidak berani menentang tuannya meskipun hanya gadis yang baru berusia 17 tahun. Pak Tejo akan tetap menghubungi pak Labdajaya setelah mereka sampai di lokasi, dengan segala resiko dimarahinya.
Perjalanan ke Kota Tua tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama, hanya sekitar 30 menit melalui jalan tol. Kia terlihat antusias melihat banyaknya bangunan kuno peninggalan Belanda. Ia berusaha mencari informasi tentang sejarah kawasan ini di dalam benaknya. Seingatnya, kompleks ini merupakan pusat pemerintahan VOC ketika Belanda datang untuk menjajah Indonesia. Letaknya yang dekat dengan pelabuhan memiliki andil dalam pemilihan tempat tersebut.
Pak Tejo nampak sedikit kesulitan menemukan tempat parkir yang pas untuk mobilnya. Beberapa orang mulai melirik mobil yang ia kendarai. Terang saja, karena tidak setiap hari ada sebuah mobil mewah yang terlihat ingin mencari parkir di kawasan tersebut. Setelah satu kali memutari kawasan tersebut, akhirnya pak Tejo menemukan tempat parkir yang pas, di dekat salah satu museum bank. Kia sudah menentukan tujuannya, Museum Sejarah Jakarta. Sebenarnya Kia ingin menjelajahi satu per satu museum yang ada di sana, hanya saja hari yang sudah sore membatasi keinginannya tersebut. Kia harus bergegas, atau museum akan segera tutup.
Didampingi pak Tejo, Kia berjalan kaki menuju destinasinya. Matanya berkeliaran memandangi bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya. Karena hari ini hari kerja, maka tidak banyak pengunjung di kawasan kota Tua. Kia membayangkan betapa penuhnya area ini jika weekend. Tentu keramaian tersebut akan membuat Kia merasa tidak nyaman. Ia akan berdesak-desakan dengan orang-orang yang tidak ia kenal, sehingga ia juga tidak bisa santai memandangi panorama yang terbentang di kanan kirinya.
“Non, biarkan bapak ikut masuk museum ya, bapak janji enggak akan ngganggu non.” pinta pak Tejo dengan sedikit panik, karena usahanya untuk menghubungi pak Labdajaya belum berhasil.
“Enggak usah pak, Kia udah gede, enggak perlu didampingi segala.”
“Tapi non, nanti kalau nona kenapa-napa saya bisa dipecat sama papa.”
“Enggak pak, tenang aja, Kia udah 17 tahun lo.”
Kehabisan bahan untuk berargumentasi, pak Tejo memutuskan untuk pasrah mengikuti keinginan nona muda ini. Ia sebenarnya bisa memahami perasaan Kia yang sering merasa terkekang. Terkadang ia iba terhadap Kia yang harus menjalani hidup layaknya robot. Namun bagaimanapun, yang menggaji dirinya adalah tuan besar Labdajaya dengan nominal yang lebih besar dari gaji supir rata-rata, sehingga ia harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Ia harus bisa melaksanakan perintah untuk menjaga Kia sebaik mungkin.
Begitu membeli tiket yang harganya begitu murah, Kia mulai menjelajahi ruang ke ruang. Setiap ada informasi menarik tentang sejarah yang terpampang di tembok, ia akan membacanya sampai tuntas. Jika ada pak Tejo di sampingnya, Kia tidak aka bisa tenang membaca karena merasa diawasi. Kebebasan kecil seperti inilah yang selalu didambakan oleh Kia. Kebebasan untuk melakukan apa yang ia inginkan tanpa ada orang lain di dekatnya.
Selain informasi sejarah, museum ini juga menyediakan beberapa diorama tentang suasana Jakarta ketika masih bernama Batavia, di bawah pemerintahan Belanda. Terlihat perlawanan pribumi melawan penjajah. Kia mengamati diorama tersebut dengan begitu detail dan mengabadikannnya melalui ponselnya. Tentu tak lupa ia mencatat informasi-informasi penting yang berguna untuk laporannya. Puas menjelajahi lantai pertama, Kia melanjutkan pengamatannya ke lantai dua.
Di lantai dua, tidak begitu banyak informasi yang bisa Kia tambahkan. Lantai tersebut hanya berisikan perabot-perabot kuno dan beberapa lukisan orang Belanda. Kia menyukai barang-barang antik, meskipun ia tidak ingin kamarnya didekorasi dengan perabot yang dipajang di museum tersebut. Kia terus menelusuri dari ruangan ke ruangan, hingga ia menemukan sebuah cermin raksasa yang bisa memantulkan bayangannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Meskipun sudah melintasi entah berapa dekade, cermin tersebut masih berfungsi dengan baik meskipun sudah sedikit buram. Kia masih bisa melihat dirinya di cermin tersebut. Ia bisa melihat ekspresi dirinya yang sedang antusias, sesuatu yang jarang ia lihat. Cermin tersebut membuat kebahagiannya sedikit berkurang, karena membuatnya teringat bahwa setelah ini ia akan menjalani hidup yang terkekang seperti biasa. Kebahagiaan sesaat ini hanya sementara, bahkan tak sampai satu jam lamanya. Seolah sekarang ia memasuki dunia fantasi yang berbatas waktu.
“Cermin ini dulu digunakan oleh nyonya-nyonya Belanda untuk berias sebelum menghadiri acara-acara penting.”
Kia tersentak karena tiba-tiba mendengar suara seseorang di sampingnya. Begitu ia menoleh ke sumber suara, nampak seorang kakek tua sedang mengamati cermin itu sebagaimana dirinya, meskipun dari samping sehingga bayangannya tidak nampak oleh Kia. Sewaktu memperhatikan dengan seksama, ternyata kakek tersebut adalah kakek yang tempo hari mendapatkan roti dari Kia.
“Kakek yang waktu itu narik gerobak kan?” tanya Kia takut-takut. Sejak kecil, ia sudah diajari untuk tidak bicara dengan orang yang tak dikenal.
“Hahaha, kamu masih ingat ya. Terima kasih ya nak, kebetulan waktu itu kakek memang belum makan.”
Kia kembali mengamati kakek tersebut. Penampilannya sekarang tidak selusuh waktu mereka bertemu untuk pertama kali. Sang kakek terlihat bersih dan rapi, dengan pakaian yang mirip dengan pakaian veteran. Apakah kakek ini adalah seorang mantan tentara sewaktu Indonesia berperang melawan Belanda?
“Maaf kek, apa kakek dulu seorang tentara?”
“Ah, itu tidak penting nak. Yang penting sekarang adalah kamu.”
“Aku?” tanya Kia kebingungan, tidak memahami maksud kakek tersebut.
“Iya, kakek tahu kamu sering merasa kesepian dan terkekang oleh keluargamu. Kakek ingin berterimakasih kepadamu atas kebaikan yang telah kamu lakukan.”
Kia mulai sedikit merasa takut dengan kakek tersebut karena bisa menebak apa yang terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan ia mulai melangkah mundur. Kia melihat sekitar, tidak ada siapapun yang bisa ia mintai tolong. Pak Tejo mungkin akan mendengar suaranya apabila ia teriak, tapi Kia masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Tidak usah takut nak, kakek sama sekali tidak berniat buruk ke kamu.”
“Lalu, apa mau kakek?”
Kakek tersebut membalik badannya agar menghadap Kia. Cahaya matahari tipis masuk ke dalam ruangan tersebut, senja akan tiba sesaat lagi. Dengan tersenyum ramah, ia menjawab pertanyaan Kia.
“Mengabulkan keinginan nak Kia untuk bisa hidup bebas.”
You must be logged in to post a comment Login