Distopia Bagi Kia

Bagian 9 Keluarga Baru

Published

on

Aroma tanah begitu kental mengambang di udara. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat siapapun yang terkenanya akan terbuai ke dalam sebuah ketenangan.  Oh, bukan hanya aroma tanah, aroma rumput juga lumayan mendominasi corak udara. Mungkin bukan rumput, lebih tepatnya padi. Kia tidak pernah melihat padi secara langsung, namun ia merasa padi adalah jawaban yang lebih tepat.

Kepala Kia terasa sangat sakit sewaktu ia terbangun. Dengan memegangi bagian belakang kepalanya, ia berusaha mengumpulkan kesadaran untuk memahami apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah matanya telah sanggup menangkap cahaya, Kia menyadari bahwa dirinya tengah berada di tengah-tengah sawah. Ia berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang ada, berusaha melihat lebih jauh lagi.

Tidak ada siapapun di sekitar tempat Kia berada. Mungkin para petani sedang beristirahat, atau memang mereka hanya sedang menunggu waktu panen. Merasa perlu melakukan sesuatu, Kia berjalan perlahan-lahan agar tidak tergelincir lumpur yang licin. Ia tidak tahu di mana atau pada masa apa ia berada sekarang. Yang jelas, ia butuh bertemu dengan seseorang untuk menjelaskan semuanya. Karena tidak ada petunjuk apapun, Kia melangkahkan kakinya mengikuti instuisinya yang selama ini jarang terpakai.

Setelah berhasil keluar dari sawah tersebut, ia mengikuti jalan setapak yang mengarah entah ke mana. Posisi matahari menunjukkan bahwa malam akan tiba tak lama lagi. Hal tersebut membuat Kia mempercepat langkahnya, meskipun tenaga yang ia miliki hanya tersisa sedikit. Perutnya sangat lapar dan ia tidak tahu harus mencari makan di mana. Terang saja, selama ini makanannya selalu tersaji begitu saja di hadapannya tanpa perlu usaha. Tiba-tiba terdampar di sebuah negeri antah berantah membuat ia tak bisa berbuat banyak untuk mengganjal perutnya yang terus berbunyi.

Kurang lebih 30 menit ia berjalan ke arah selatan, Kia menemukan sebuah gubuk tua yang nampaknya terlantar. Ia memutuskan untuk mengecek gubuk tersebut, siapa tahu ada orang yang tinggal di sana. Sayang, harapan Kia tidak terkabul. Gubuk berukuran sekitar 4 x 4 itu tidak berpenghuni. Karena merasa pegal, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak.

“Astaga, di manakah aku sekarang.” ujar Kia sambil mengamati interior gubuk tersebut.

Jelas terdampar di tempat asing tanpa ada tanda-tanda kehidupan bukan sesuatu yang dibayangkan oleh Kia sebelum ia memasuki dunia ini melalui cermin antik tersebut. Ia jelas-jelas berusaha menggambarkan sebuah kehidupan yang ideal, di mana ia bisa tinggal bersama orang-orang yang mencintainya. Lantas mengapa ia bisa terdampar di tempat ini?

Karena takut langit akan semakin gelap, Kia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dari tadi Kia sama sekali tidak menemukan lampu ataupun sumber pencahayaan lainnya di sepanjang jalan setapak, sehingga ia khawatir akan tersesat apabila berjalan di malam hari. Akan tetapi, berdiam diri di gubuk tanpa melakukan apapun juga bukan keputusan yang tepat. Jadi, Kia akan terus berjalan hingga hari gelap.

Baru di ambang pintu, ia melihat sesosok laki-laki yang sedang memanggul sekarung rumput. Mata mereka bertemu, namun tak sepatah kata pun terucap dari bibir Kia. Semua pertanyaan yang menggantung di pikirannya seolah lenyap begitu saja. Jelas bertanya kepada orang asing bukan hal yang sering ia lakukan, sehingga ia tak sanggup melontarkan daftar pertanyaan yang telah ia susun.

“Eh, adik siapa? Ngapain di gubuk sendirian kayak gitu?” tanya laki-laki yang kira-kira berusia tiga puluh tahunan itu.

“Eh . . . itu . . .” Kia tergagap tak karuan karena tidak tahu harus menjawab apa. Tak mungkin ia menjawab bahwa ia berasal dari dunia lain.

“Rumahmu di mana? Apa tersasar?” tanya laki-laki itu lagi.

“Eh, maaf pak, saya kayaknya hilang ingatan. Saya enggak ingat rumah saya di mana. Begitu sadar, tau-tau saya sudah di sini.” jawab Kia pada akhirnya, membuat laki-laki tersebut sedikit merinding karena sempat menganggap Kia adalah sesosok penampakan makhluk gaib.

“Kalau gitu, mau mampir rumah saya? Saya tinggal sama istri dan satu anak saya yang masih kecil. Untuk sementara, kamu nginep dulu aja di rumah saya.” kata laki-laki tersebut setelah meyakinkan diri bahwa yang sedang diajaknya bicara adalah manusia sungguhan.

“Boleh pak?”

“Boleh, dari pada kamu kenapa-napa di sini. Kalau gitu, ayo, nanti keburu gelap.”

Kia pun menurut dan melangkah di belakang laki-laki tersebut. Ia memberanikan diri untuk bertanya kepadanya, diawali dengan basa-basi singkat.

“Nama bapak siapa?”

“Panggil saja Kusno, saya tinggal di kaki bukit ini.”

“Bapak kerja sebagai apa?”

“Saya kerja serabutan dek, apa yang bisa dikerjakan ya bapak kerjakan. Ini tadi ada yang minta tolong cariin rumput untuk kudanya, ya saya kerjakan.”

“Oh gitu ya pak. Omong-omong ini di mana ya pak?”

Sang bapak pun menjawab dengan nama daerah yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Kia jadi berpikir, apakah dirinya hanya berpindah tempat namun masih berada di dunia tempat ia tinggal? Ia ingin bertanya apakah bapak tersebut pernah mendengar nama Labdajaya Group, namun niat tersebut ia urungkan karena merasa ia tidak akan mendapatkan jawaban tidak tahu darinya. Rakyat kecil seperti pak Kusno tidak akan terlalu peduli dengan para konglomerat, begitu pula sebaliknya.

“Sekarang tahun berapa pak?”

“Astaga, kamu bahkan tidak bisa mengingat sekarang tahun berapa? Sekarang tahun 2018.”

Berarti sekarang ia berada di tahun yang sama dengan tahun dari mana ia berasal. Sekarang yang Kia butuhkan adalah beradaptasi dengan lingkungan baru yang akan ia hadapi, serta mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya.

“Kamu bisa ingat namamu?” tanya pak Kusno.

“Nama saya Kia pak. Maaf tadi lupa memperkenalkan diri.”

“Kia? Bagus juga namamu ya. Qila pasti senang bisa punya teman baru.”

“Qila?”

“Itu nama anak saya. Kan dia selama ini di rumah cuma sama ibunya. Kalau ada kamu kan dia jadi ada teman mainnya.”

“Emang umur berapa pak anaknya?”

“Baru lima tahun, harusnya sebentar lagi masuk Tk, tapi gimana ya, bapak ini kan kerjanya serabutan jadi enggak tahu bisa nyekolahin dia atau enggak.”

Kalimat dari pak Kusno membuat dada Kia terasa sesak. Dirinya bisa masuk di salah satu sekolah paling mahal, sedangkan anak pak Kusno untuk sekedar masuk TK saja tak mampu. Satu hal lagi yang membuat Kia terhenyak adalah kebaikan pak Kusno untuk mau menampung dirinya untuk sementara waktu, padahal kondisi ekonominya pas-pasan bahkan cenderung kurang. Timbul rasa bersalah karena dirinya akan menambah beban hidup pak Kusno.

“Kia kayaknya enggak jadi nginep di rumahnya bapak ya.” kata Kia sambil menghentikan langkahnya. Jika sudah kenal dengan orang, Kia memang menggunakan namanya untuk menggantikan kata saya atau aku.

“Lho kenapa dek?”

“Kia takut ngerepotin.”

“Oh enggak kok, enggak apa-apa. Emangnya kamu mau ke mana? Kan kamu hilang ingatan.”

“Eh, Kia balik ke gubuk tadi untuk sementara.”

“Terus makanmu?”

“Itu…” Kia tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

“Sudahlah, percaya sama bapak. Untuk sementara kamu tinggal sama kami.”

Kia memutuskan untuk menurut dan berusaha mengabaikan rasa bersalahnya. Memang benar kata pak Kusno, tidak mungkin Kia bisa bertahan hidup sendirian di gubuk tersebut. Untuk makan pun ia tidak tahu harus berbuat apa. Kia berpikir, apa yang bisa ia lakukan untuk membantu keluarga pak Kusno agar rasa bersalahnya bisa berkurang.

***

Akhirnya Kia bisa melihat tempat yang memiliki tanda-tanda kehidupan. Terdapat beberapa rumah di hadapannya, walaupun beberapa rumah terlihat kurang layak huni, setidaknya dari kacamata Kia yang terbiasa tinggal di daerah elit. Beberapa orang yang mereka jumpai menyapa dan menanyakan tentang dirinya. Pak Kusno menjawab bahwa Kia tersesat dan kehilangan ingatan. Sorot mata mereka menunjukkan rasa penasaran. Kia merasa bahwa dirinya akan dengan segera menjadi bahan gunjingan.

“Nah, ini dia rumah bapak. Memang kecil dan kurang nyaman, tapi semoga kamu betah ya.”

Rumah pak Kusno memang kecil dan belum berdinding batu bata. Pintunya terlihat reyot, hingga seolah-olah tenaga yang dimiliki Kia pun bisa mendobraknya. Warna rumahnya terlihat pudar, entah kapan terakhir kali dicat. Rumah tersebut berada di ujung yang berbatasan langsung dengan perkebunan. Kia sama sekali tidak merasa keberatan tinggal di tempat seperti ini. Cukup mengherankan, mengingat Kia selama ini selalu hidup dengan segala kemewahan yang dimilikinya.

“Bu, lagi di rumah kan?” panggil pak Kusno mencari istrinya. Yang dipanggil muncul dari balik dapur. Istri pak Kusno merupakan wanita mungil yang berparas manis. Postur tubuhnya sama dengan Kia. Begitu melihat Kia, ia nampak keheranan.

“Ini namanya Kia, bapak ketemu dia di atas. Katanya, dia hilang ingatan, jadi sama sekali enggak ingat di mana rumahnya, Untung dia masih ingat namanya. Jadi buat sementara, biar dia tidur di sini sampai dia ingat.”

“Oh begitu. Hai Kia, nama ibu Fatimah, tapi biasa dipanggil bu Imah. Semoga kamu kerasan di sini ya.” kata istri pak Kusno tersebut sambil menyorongkan tangan kanannya.

“Nama saya Kia bu, maaf merepotkan.”

“Oh enggak kok, tenang aja. Qila pasti senang, bentar ibu panggilkan dulu. Qila, di mana kamu nak.” bu Imah mencari anaknya sambil berjalan ke belakang.

“Kamu duduk aja dulu, bapak mau ke kamar mandi sebentar.”

Kia menuruti kata pak Kusno dan duduk di ruang tamu sambil memperhatikan lebih detail rumah tersebut. Kia mengira-ngira luas rumah ini, yang mungkin sama besarnya dengan kamarnya. Bahkan sepertinya masih lebih luas kamarnya. Tidak banyak perabot yang dimiliki rumah ini, dan kebanyakan sudah kurang layak pakai dan memiliki kerusakan. Kia belum pernah melihat kehidupan yang seperti ini, sehingga ia merasa antusias sekaligus pedih.

“Nah, Qila, kenalin dirimu ayo ke kakak.” bu Imah masuk ke ruangan di mana Kia menunggu sambil membawa seorang anak perempuan kecil yang terlihat sangat menggemaskan.

“Halo kak, nama aku Qila, salam kenal.” kata Qila sambil mengemut telunjuk kirinya.

“Aku Kia dek, sama kenal.” balas Kia sambil tersenyum. Ia jatuh cinta kepada Qila pada pandangan pertama. Mungkin seorang adik yang sering ia bayangkan berwujud seperti Qila, sehingga ia merasa senang ketika bertemu dengannya.

“Malam ini kamu tidur sama saya ya, kami cuma punya satu kamar soalnya.”

“Satu ranjang berempat?” tanya Kia tanpa menunjukkan ekpresi terkejutnya.

“Bertiga, pak Kusno bisa tidur di mana aja, hahaha.”

“Tapi saya jadi enggak enak bu.” kata Kia sambil melipat-lipat tangannya.

“Udah enggak apa-apa, tenang aja. Kamu fokus istirahat dulu aja sampai ingatanmu kembali. Kalau kamu sudah ingat, nanti kami antar ke rumahmu.”

Kia tidak bisa membantah ucapan bu Imah. Ia merasa tidak berdaya untuk menghadapi kehidupan yang benar-benar berbeda dari kehidupan sebelumnya. Ia memutuskan untuk patuh dan tidak lagi banyak bertanya ataupun mengajukan protes. Seharusnya ia merasa bersyukur bahwa masih ada orang baik yang bersedia menampung dirinya yang tidak memiliki latar belakang yang jelas.

“Kamu pasti lapar kan? Ini ibu udah masakkan nasi sama telur dadar. Kamu makan dulu ya, terus mandi dan istirahat.” kata bu Imah sambil membawakan sepiring nasi dan telur.

“Qila juga mau telur bu.” Qila tergoda mencium aroma telur yang harum.

“Qila kan sudah makan tadi, gantian, sekarang biar kakaknya yang makan.”

“Qila mau makan sama kakak? Ayo sini makan bareng.” tawar Kia.

“Enggak usah dek, kamu makan aja.” jawab bu Imah, wajahnya menunjukkan sedikit keresahan karena anak semata wayangnya sedikit rewel.

“Enggak apa-apa bu, Kia juga enggak bisa makan banyak-banyak. Sini dek, makan sama kakak.”

Pada akhirnya, Kia dan Qila makan sepiring berdua dengan lahapnya. Sedikit demi sedikit, Kia bisa merasa nyaman berada di antara keluarga pak Kusno. Kehangatan yang mereka berikan belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun harus banyak beradaptasi, Kia merasa dirinya mulai mendapatkan apa yang ia inginkan dari dulu. Dengan keluarganya yang baru ini, ia merasa bisa mendapatkan kasih sayang keluarga yang tulus.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version