Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 2 Perkenalan
Jam di tanganku menunjukkan pukul 06.45, menandakan Masa Orientasi Siswa akan segera dimulai. Dalam bayanganku, hari-hari MOS akan membosankan karena hanya ada penjelasan tentang kepemimpinan, budi pekerti, atau apalah itu namanya. Sesuatu yang hanya masuk telinga kiriku, lalu ke luar melalui telinga kiriku juga.
Bukankah peribahasa mengatakan “masuk ke telinga kiri, ke luar lewat telinga kanan”? Tentu tidak, karena jika ke luar lewat telinga kanan, pasti akan ada yang akan hinggap di otak cemerlangku ini. Aku tidak ingin mengotori pikiranku dengan sesuatu yang tidak penting seperti itu. Masih banyak yang jauh berharga daripada itu, seperti Biologi, Fisika, Matematika, Kimia atau bahkan pelajaran yang tidak begitu aku suka seperti Kewarganegaraan maupun Bahasa Indonesia. Aku yakin dengan kemampuanku, aku akan menguasai semua pelajaran yang akan diberikan di sini.
Beberapa saat setelah aku masuk, datang dua orang wanita. Yang satu nampak seperti ketakutan, mungkin was-was karena merasa terlambat. Pasti ia baru saja kena semprot penjaga yang mencegatku di gerbang tadi. Yang satunya lagi wanita dengan muka yang menengadah ke atas. Ia memasang wajah tersombong yang dapat ia kenakan. Ketika Kenji berusaha untuk berkenalan, ia hanya membuang mukanya. Bagus, ternyata bukan hanya aku yang risih dengan keramahan si dungu.
Kudengar bel sekolah berbunyi, sudah waktunya untuk para guru atau mungkin kakak-kakak OSIS yang gila hormat untuk masuk ke kelas kami. Anak-anak lain menjadi tenang untuk sementara waktu. Mungkin mereka takut dengan apa yang akan mereka hadapi. Aku tersenyum sinis melihat ekspresi ketakutan mereka. Anak-anak bodoh yang takut menghadapi sesuatu yang baru, seperti anak kecil yang baru melihat serangga berbulu merayap di ranting pohon. Hanya aku yang tampak bisa mengontrol diri.
Tok tok! Tiga orang berpakaian putih abu-abu masuk ke kelas, satu pria dan dua wanita, didahului dengan salam mereka mengenalkan diri mereka masing-masing.
“Perkenalkan kami dari pihak OSIS MPK disini sebagai kakak pembimbing kalian di masa orientasi siswa ini.” kata perempuan berkerudung dan berkacamata tersebut. Mereka memperkenalkan dirinya masing-masing. Wanita berkerudung itu bernama Rina, wanita yang sibuk dengan rambutnya bernama Desy, sedangkan yang laki-laki bernama Joko. Bukannya aku berniat menghafal nama mereka, hanya saja dengan kemampuan mengingatku yang luar biasa, mau tidak mau aku jadi hafal nama mereka.
“Jadi sekarang, sebaiknya kita membuat kepengurusan kelas dulu supaya nanti jadi gampang. Siapa yang mau menjadi ketua kelas?” Rina bertanya kepada kami semua.
Suasana kelas menjadi hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan dari Rina. Aku sama sekali tidak tertarik menjadi pengurus kelas karena itu hanya akan menjadi penghambat dalam hidupku. Aku juga tidak mau mengurusi bocah-bocah ingusan ini.
“Saya bersedia kak!” jawab seseorang dengan suara lantang, ternyata anak yang bertubuh kekar itu.
“Bagus! Siapa namamu dek?”
Dek? Dia memangilnya dek? Menyeniorkan dirinya sendiri. Karena itulah aku menganggap semua anak OSIS atau MPK dan sejenisnya adalah kumpulan orang sok senior dan sok berkuasa. Memang tidak ada nama panggilan selain dek? Atau panggil saja dengan kamu. Menggelikan.
“Nama saya Bejo.” jawab anak itu dengan penuh keyakinan
“Baik Bejo, bagaimana dengan yang lain? Setuju Bejo menjadi ketua kelas?” tanya wanita berkacama itu dengan nada persis dengan guru TK.
“Setuju!!” semua menjawab dengan serentak, selain aku tentunya.
“Jadi sekarang kita akan menunjuk siap wakil, sekretaris dan bendahara.”
“Kak Rina, sebaiknya sebelum menunjuk, semua siswa harus memperkenalkan dirinya di depan kelas agar kita juga tahu siapa mereka.” sanggah wanita satunya, sambil merapikan rambutnya yang tampaknya baru di-rebonding.
“Baik kak Desy, mulai dari depan. Kamu berdiri. Sebutkan nama, asal sekolah, tujuan kamu sekolah disini dan terakhir hobi.” ujar Rina yang menunjuk anak konyol itu.
Benar dugaanku, nama panggilannya adalah Kenji. Ternyata ia keturunan Jepang, yang artinya bocah tersebut keturunan penjajah. Itu semakin menambah kebencianku kepadanya, apalagi ketika ia diminta untuk memperkenalkan dirinya dalam bahasa Jepang. Ingin rasanya memenggal lehernya dan meletakkan kepalanya di depan sebagai peringatan untuk yang lainnya.
Setelah itu, perkenalan kelas pun berjalan secara berurutan. Aku tidak terlalu memperhatikan perkenalan mereka, toh aku sama sekali tidak ingin berkenalan mereka. Aku hanya ingin segera lulus dari sini dan menjadi orang hebat. Memiliki teman hanya akan memperlambat diriku.
Walaupun berusaha mengabaikan perkenalan diri mereka, beberapa cukup menyita perhatianku. Wanita yang duduk di belakang orang yang sok hebat dengan menyalonkan diri menjadi ketua kelas menggunakan gue lo gue lo. Jelas dia bukan berasal dari sini. Selain itu, di sebelahnya, wanita yang tadi berani memarahiku, diminta untuk bernyanyi sedikit. Ingin muntah aku mendengarnya.
Orang yang duduk di sebelahku begitu lambat dalam menjawab pertanyaan. Aku heran, mengapa ia bisa masuk kelas aksel ini? Bukankah kelas ini diperuntukkan untuk anak-anak dengan kemampuan otak yang jenius seperti aku? Lalu mengapa anak idiot seperti dia bisa masuk di kelas ini? Benar-benar kacau kelas ini. Lalu, terbesit sebuat ide di kepalaku, sebuah ide yang akan membuat kelas ini menjadi kacau balau.
“Sekarang yang terakhir, yang duduk di pojok, silahkan perkenalkan diri kamu.” tunjuk Desy yang seolah-olah baru saja keluar dari salon, dan salon tersebut gagal membuatnya bertambah cantik. Dengan ogah-ogahan aku berusaha mengangkat tubuhku dari rasa malas, karena aku ingin melihat mereka marah di depan semua anak cengeng ini.
“Saya tidak mau memperkenalkan diri.”
“Kenapa!?” tanya si laki-laki dengan nada yang meninggi. Tampaknya rencanaku berhasil.
“Karena tidak penting. Segeralah panggil guru-guru dan segera ajari diriku dengan Fisika, Kimia atau apalah!” erangku dengan nada yang ikut tinggi.
“Hei, kamu itu anak baru disini. Jangan sok jagoan kamu. Kamu mau saya kasih pelajaran!?” sentak Joko dengan langkah yang mendekat ke diriku.
“Jika kau mau memberiku pelajaran berkelahi, maaf, aku sudah ahli.” kataku dengan tersenyum sinis.
“Joko, sudah sudah.” Rina menarik Joko kembali ke depan kelas, kekagetan terpancar dari wajahnya.
“Ingat dek, kamu di sini itu murid baru, jangan cari masalah.” kata wanita salon itu.
“Aku sudah bilang tadi kepada laki-laki yang dengan sombongnya merasa mampu jadi ketua kelas itu, masalah adalah teman baikku, lalu mengapa aku tidak boleh mencarinya?” jawabku dengan ekspresi yang kubuat semenyebalkan mungkin.
“Kamu yang hormat ya kalau ngomong sama kakak kelas.” Joko menambahi, suaranya sudah menurun setelah dibisiki oleh Rina.
“Orang-orang seperti kalian tidak layak untuk dihormati. Apa dasarnya aku harus hormat? Nonsense.”
Mereka terdiam, mungkin sudah kehabisan akal. Setelah itu tanpa banyak babibu mereka langsung keluar kelas tanpa mengatakan apapun kepada kami. Suasana kelas menjadi sangat tegang karena diriku. Aku justru bangga akan prestasiku ini.
“Pak ketua kelas, saya usul untuk menghajar anak yang duduk di belakang saya ini, bagaimana pak?” ujar si kembar yang laki-laki. Dia berdiri dari bangkunya dan mengepalkan kedua tangannya.
“Jangan! Kalian tidak boleh berkelahi di dalam kelas.” Bejo berteriak dengan lantangnya sehingga membuat kami semua terkaget.
“Lagipula ini masih di lingkungan sekolah, jaga emosi kalian.” tambah Bejo
“Dia benar bung, ini masih lingkungan sekolah.” ujar saudara kembarnya yang perempuan dengan menekankan dua kata terakhir.
“Ya, kamu benar.” jawab saudaranya sembari kembali ke tempat duduknya. Ekspresiku dingin, seolah-olah tidak terjadi apapun.
“Kalian mau menghajarku? Kusarankan jangan, atau kalian akan terluka.”
“Diam kamu.” jawab si kembar yang perempuan.
“Kau itu perempuan, berlakukah seperti perempuan, walaupun aku tak segan memukul perempuan.”
“Jadi,” Kenji, maksudku si dungu, tiba-tiba memotong percakapan, “kita sekarang sudah saling kenal. Aku harap kita semua bisa menjadi teman yang akrab dan saling membantu untuk meraih cita-cita kita masing-masing.” katanya penuh dengan motivasi-motivasi omong kosong itu membuatku muak.
Tidak ada merespon dia, nampaknya tidak mudah menghilangkan emosi yang disebabkan olehku. Bagus, begini lebih bagus dibandingkan tadi. Membencilah, tanamkan kebencian kalian ke diriku, itu hanya akan menjadi penambah energiku untuk mengalahkan sekumpulan kerbau seperti kalian.
Kesuraman kelas bertambah ketika ada suara dobrakan pintu membuat semua anak terlonjak dari bangkunya masing-masing. Sepuluh orang berpakaian putih abu-abu berwajah seram memasuki kelas kami. Perkenalan selesai.
You must be logged in to post a comment Login