Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 22 Mabuk Kepayang
Gara-gara perkataan Jessica di rumahku, aku jadi ingin memiliki handphone agar bisa menghubunginya di luar sekolah. Aku bukan orang yang senang mengeluarkan uang kecuali kondisi darurat. Sayangnya, ini adalah keadaan emergency, sehingga aku memiliki dasar yang kuat untuk mengeluarkan tabunganku. Aku belum tahu handphone seperti apa yang kuinginkan karena dalam hal teknologi, aku memiliki keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itu, aku akan bertanya kepada anak yang sangat paham dengan teknologi, Pierre.
Pulang sekolah, setelah meminta Kenji pulang terlebih dahulu, aku menghampiri Pierre yang belum beranjak dari bangkunya. Ia sedang mengutak-atik handphonenya yang terlihat sangat canggih dan mahal.
“Hai Pierre, sedang apa?” sapaku mengganggu keasyikannya.
“Oh, kamu Le. Aku sedang cari-cari artikel tentang pameran komputer bulan ini di Internet.” jawabnya hanya dengan sedikit menoleh ke diriku.
“Memangnya bisa?” tanyaku polos. Meskipun sering memuji kecemerlangan otakku, harus kuakui bahwa aku sangat buta terhadap teknologi.
“Heh? Apa maksudnya?”
“Eh, bisakah kita mencari informasi melalui handphone?”
“Leon, kamu sedang bercanda kan?”
Sebagai jawaban, aku memasang wajah seriusku, walaupun aku tidak yakin wajah tersebut memiliki perbedaan dengan wajahku sehari-hari. Pierre agak bergidik melihat ekspresi wajahku yang aslinya sudah seram menjadi berlipat keseramannya.
“Bisa dong Le, kan handphone ada browser-nya.” jawabnya dengan diiringi tawa canggng.
“Maaf Pierre, kuakui kalau aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang teknologi.”
“Lalu, ada yang bisa aku bantu? Tidak biasanya kamu menghampiriku.”
“Begini Pierre, aku ingin membeli handphone, tapi aku bingung. Aku ingin meminta pendapatmu, karena kau sangat mengetahui perkembangan teknologi.” kata-kata terakhirku membuat ia mengembangkan senyum kebanggaan karena kecintaannya pada dunia teknologi sudah diakui.
“Itu kan tergantung darimu, kamu menginginkan handphone yang seperti apa.”
“Kalau seperti milikmu bagaimana?” jawabku sambil melihat handphonenya. Jujur, handphone itu bagus sekali, dan aku ingin memilikinya.
“Apa?” akhirnya Pierre memandangku, ”kamu yakin Le?”
“Memangnya kenapa?”
“Pengoperasiannya sangat sulit untuk orang yang sama sekali tidak mengerti tentang teknologi seperti dirimu.”
“Tapi aku bisa belajar Pierre, memang apa sulitnya?”
Pierre tidak langsung menjawab, tapi memutar badannya sehingga ia menghadap ke diriku langsung.
“Leon, dengarkan. Handphone ini adalah . . . .”
Entah apa yang diucapkannya, aku sama sekali tidak mengerti. Sekali-kali aku mendengar kata-kata seperti 3G dan hal-hal lain yang sama sekali tidak pernah aku dengar. Tapi karena aku membutuhkan dirinya, kutahankan diriku untuk mendengar semua kicauannya. Selama lima belas menit dia berbicara sendiri menjelaskan handphonenya. Aku hanya meresponnya dengan menganggukkan kepala.
“Itulah spesifikasi dari iPhone 3G milikku ini, bagaimana?” kata Pierre yang sudah kutunggu-tunggu
“Oh jadi namanya iPhone ya, nama yang bagus untuk barang yang bagus.”
“Oh tentu saja. Ini adalah mahakarya dari Steve Jobs.”
“Siapa dia?”
“Penemunya Le! Pendiri perusahaan teknologi terbesar di dunia. Jangan-jangan kamu tidak tahu perusahaan apa yang memproduksi benda ini?”
Aku menggelengkan kepala
“Kamu tak tahu Apple? Astaga Le, parah sekali.” katanya dengan wajah yang menunjukkan belas kasihan yang dalam.
“Aku tahu apple, buah apel kan? Apa hubungannya buah dengan handphone?” jawabku polos.
“Oh my God Leon, Apple adalah nama perusahaan yang membuat iPhone ini. Yang begini lho lambangnya.”
Dia menggambar bukunya dengan sepotong apel yang tergigit.
“Ini logo dari Apple, masa enggak pernah lihat?” tanyanya dengan kesal.
“Mengapa apelnya tergigit?”
“Karena aku yang menggigit!”
Tampaknya Pierre sudah kehabisan kesabaran menghadapi keterbelakanganku akan teknologi. Kesabaranku pun sudah semakin tipis menghadapi anak berkacamata yang menyebalkan ini. Dengan segera aku mengalihkan pembicaraan.
“Berapa haraga iPhonemu Pierre?”
“Karena ini hanya bermemori delapan giga, jadi harganya cuma lima juta.”
“Cu . . cuma?
“Ya, masih ada yang lebih mahal.”
“Apa tidak ada handphone yang lebih murah?”
“Beli saja telepon mainan, murah kan?” katanya dengan muka meledek
“Ayolah Pierre, aku membutuhkan pertolonganmu.”kataku memelas.
Ia menghela nafas panjang. Mungkin ia merasa sedang mengajari kakeknya bagaimana pengoperasian handphone. Akhirnya, keluarlah saran yang berguna darinya, setelah penantian panjang.
“Kusarankan tidak perlulah secanggih punyaku ini. Carilah handphone yang memiliki papan ketik fisik, toh kamu hanya butuh untuk sms dan telepon kan. Carilah merek-merek Korea atau Jepang, harganya masih realtif terjangkau. Bila setelah beli kamu masih bingung, tanyalah kepadaku.”
***
Setelah mendapat informasi yang kuinginkan (walaupun diiringi dengan rasa kesal) aku bergegas menuju rumah Kenji untuk menemaniku membeli handphone.
“Hei Le, ada apa?” sapanya begitu ia membukakan pintu.
“Hei Kenji, apakah kau mau menemaniku untuk membeli sebuah handphone?”
“Di mana?”
Aku terdiam. Karena terlalu bersemangat, aku melupakan sesuatu yang penting. Dimana aku akan mencarinya? Ah, aku benar-benar merasa menjadi orang yang bodoh.
“Aku tak tahu, dan aku tidak punya handphone untuk menanyakannya ke Pierre, maaf sudah mengganggu Kenji.” jawabku lemas
“Kamu sudah terlanjur kemari, mampirlah dulu sebentar.”
Aku melemaskan diriku di kursi ruang tamu sementara Kenji pergi ke dapur. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Ini seperti bukan diriku yang sebenarnya. Alexander Napoleon Caesar adalah manusia yang berlandaskan rasionalitas dan logika. Pasti ada penyebab hingga aku berbuat sesuatu yang sama sekali tidak terencana dengan baik.
“Ini, minumlah teh hangat ini, mungkin sedikit meringankan pikiranmu.” kata Kenji dengan meletakkan secangkir teh di meja ruang tamu.
“Terima kasih.” jawabku dingin, mungkin bisa mendinginkan teh yang dibuatkan Kenji ini.
“Boleh aku menebak sesuatu Le?”
“Apa?”
“Menurutku kamu sekarang berada di bawah pengaruh cinta.”
Aku menatapnya kosong, tidak memahami perkatannya.
“Itu lo, masa kamu enggak tahu.”
“Tidak.”
“Jatuh cinta Le, kamu jatuh cinta kepada seseorang.”
“Yang kau katakan tempo hari itu? Aku rasa tidak.”
“Ke Jessica?”
Begitu ia mengucap nama itu, lidahku rasanya kelu, jantung bedebar sedikit lebih cepat. Aku tidak bisa berbicara, bagaikan ada yang menempelkan lakban ke mulutku. Mungkin itu bukan analogi yang tepat, tapi intinya aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara.
“Dari ekspresi dan gesturmu, nampaknya kamu enggak perlu jawab deh Le. Wajahmu itu kayak kunci jawaban, hahaha.” Kenji tertawa renyah menertawakan diriku.
Jatuh cinta? Sebuah konsep yang belum pernah aku rasakan sebelumnya karena bertahun-tahun aku tidak merasakan cinta dari siapapun. Jelas tidak ada cinta dari orang tua. Mungkin ada dari Gisel, namun aku sama sekali mengabaikannya. Aku memberikan cinta kepada orang lain? Kepada seorang wanita? Kepada Jessica?
“Kamu tidak punya kewajiban untuk membenarkan pernyataanku kok Le. Tenang aja, aku tidak akan cerita ke siapa-siapa.”
Aku tetap diam mendengar apapun yang Kenji katakan. Entah karena malas merespon atau bingung harus berkata apa. Yang jelas selain masalah teknologi, cinta adalah salah satu bidang yang tidak aku kuasai. Tapi jelas, kenyataan ini menurunkan semangatku untuk membeli handphone. Mungkin karena malu.
“Mungkin sebaiknya aku tidak membeli handphone, masih banyak kebutuhan lain yang memerlukan tabungan lain.”
“Yakin? Aku rasa memiliki handphone memiliki banyak manfaat lo untukmu. Misalnya kamu bisa telepon Gisel jika kamu tidak langsung pulang ke rumah.”
“Iya Kenji, tapi rasanya masih belum terlalu urgent. Aku rasa aku akan menunda untuk sementara waktu keinginanku ini.” jawabku dengan suara yang terdengar mantap.
Dok dok, terdengar suara pintu diketuk dari luar. Kenji beranjak dari tempat duduknya, dan membukakan pintu.
“Selamat sore mas, saya sales penjual handphone bekas murah. Harga antara seratus ribu hingga lima ratus ribu. Harga handphone termasuk charger dan baterainya, tertarik?”
Tidak boleh, harus tahan, aku sudah janji tidak akan membeli handphone, sales biasa seperti ini mana bisa membujuk diriku yang terkenal dengan kekerasan hatinya, kataku dalam batin.
***
Bahkan sampai pulangpun aku masih tidak percaya bahwa aku bisa dirayu oleh sales itu untuk membeli handphone yang termurah. Entah ini seri apa, namun di layar kacanya yang mungil bertuliskan “Samsung”. Warnanya biru muda dan banyak goresan sana sini. Di pojok kanan ada lampu kecil berkedip-kedip dengan berbagai warna. Harganya cuma seratus ribu, dan membuatku melupakan apapun yang tadi kukatakan dengan berkobar-kobar. Unbelieveble.
Itulah mengapa aku tidak begitu menyukai sales. Mereka pandai memainkan lidah agar orang-orang membeli apa yang mereka jual. Semakin pandai sales, semakin banyak orang-orang yang terbujuk akan rayuan sang sales, termasuk aku. Ingin aku menghina diriku sendiri (bahkan Kenji pun menahan tawa saat melihat aku membeli handphone). Tak kusangka selemah itu tekadku, tapi handphone sudah terlanjur di tanganku, tak boleh disesali.
Kumasukkan tanganku ke dalam saku celana untuk mengambil kartu perdana yang menjadi satu paket dengan handphone ini. Untungnya aku sudah diajari oleh sales sialan itu bagaimana cara aktivasi kartu perdana. Kalau tidak, bisa jadi handphone ini sudah masuk tempat sampah karena aku tipe yang tidak sabaran. Kutekan tombol warna merah bergambarkan telepon, ditahan sesaat, munculnya gambar-gambar berwarna di layar mungil ini. Handphone siap untuk digunakan, tapi pengguna belum siap menggunakan. Sabar, ini memang bukan keahlianku, jadi sebaiknya besok handphone ini kubawa dan minta diajari Pierre untuk menggunakannya.
“Kakak, tadi katanya mau masak buat Gisel? Jadi apa enggak?” permintaan Gisel menyadarkanku bahwa aku belum memasakkan makanan untuk adikku. Segera kusimpan handphone di kamarku, dan menuju dapur untuk segera masak. Bukan hanya adikku yang berteriak, perutku pun demikian. Oh Jessica, kau benar-benar membuatku mabuk kepayang.
You must be logged in to post a comment Login