Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 32 Hasil Ulangan Matematika
Akhirnya selesai juga ulangan matematika terakhir sebelum kenaikan kelas. Bu Ratna tidak main-main, soal yang diberikan benar-benar susah dan tidak biasa, sehingga aku tidak bisa mengerjakan satu soal. Sebenarnya sudah selesai setengah perhitungan, hanya saja aku kesulitan untuk melanjutkannya. Sayang sekali, aku tidak akan mendapatkan nilai sempurna.
Nilai akan langsung dibagikan setelah selesai dikoreksi oleh beliau, bisa jadi nanti setelah jam tambahan sore hasil ulangan kami telah dibagikan. Aku tidak khawatir dengan nilaiku, aku lebih khawatir kepada nilai Sica. Semoga saja ia berhasil mendapatkan nilai, minimal, di atas Sarah. Aku tidak pernah memperhatikan kemampuan otak Sarah, sehingga tidak bisa memprediksi berapa nilainya. Dari kepercayaan dirinya menerima tantangan Sica, percayalah aku bahwa ia memiliki tingkat kepandaian yang di atas rata-rata.
Begitu bu Ratna keluar, aku melihat Sarah menyeringai kepada Sica, lalu keluar kelas. Tatapannya begitu arogan, apakah seperti itu ekspresi wajahku dulu? Jika iya, betapa menyeramkan diriku yang dulu. Sorot mata yang seolah-olah ingin memusnahkan nyawa orang lain hanya dengan memandangnya.
Beberapa teman mencoba untuk mengajak bicara Sica, mungkin untuk sekedar menyemangatinya. Belajar saja sudah cukup berat, apalagi jika ditambah beban sebagai pelindung harga diri kelas. Tapi aku yakin hasil tidak akan mengkhianati usaha, Sica pasti bisa mengalahkan iblis betina itu.
***
Jeda antara waktu pulang sekolah reguler dan jam tambahan sore aku gunakan untuk membahas soal yang tidak bisa aku kerjakan tadi dengan Kenji. Aku yakin dia bisa mengerjakan semua soal dengan baik. Ia hanya tertawa renyah sewaktu mendengarkan permintaanku, dan dengan senang hati menjelaskan cara menjawabnya.
“Heran deh sama anak pinter, satu soal gak bisa jawab bingungnya minta ampun.” kata seseorang dari arah belakang. Ternyata Ve.
“Bukan begitu Ve, aku hanya ingin membunuh rasa penasaranku.” jawabku dingin.
Ve tidak merespon dengan suaraku, melainkan dengan matanya yang membentuk isyarat untuk melihat ke sebelah kanannya. Waktu aku toleh, terlihat olehku Sica dengan tatapan kosongnya. Ah, aku paham sekarang, Ve tidak ingin aku membahas ulangan tadi di dekat Sica. Aku tidak terlalu mengenal Ve, bahkan jarang bercakap-cakap dengannya, tapi yang aku tahu dari Kenji, Ve adalah anak yang perhatian kepada temannya.
Kenji juga menangkap isyarat yang diberikan, sehingga ia meletakkan pensilnya. Dari ekspresinya ia seperti hendak mengatakan ‘nanti saja Le di rumahmu’. Aku pun menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan, lalu kembali melihat Sica di bangkunya. Mungkin lebih baik aku mengajaknya berbicara daripada ia terus melamun tak karuan.
“Sica, Sica, Sica?” butuh tiga kali panggilan agar ia dapat mendengarkan suaraku. Ia nampak sedikit bingung karena secara tiba-tiba ditarik kembali begitu saja ke dunia nyata. Setelah bisa mengusai dirinya, barulah ia bersuara.
“Eh Leon, ada apa?” tanyanya dengan mencoba tersenyum, yang aku tahu itu sedikit dipaksakan.
“Tidak apa-apa, hanya sekedar ingin mengajakmu bicara.”
“Ah, iya, hehehe.” Sica nampak bingung bagaimana harus membalas, yang artinya aku harus menjadi sedikit cerewet.
“Jangan terlalu memikirkan ulangan tadi Sica, aku yakin kau dapat nilai yang lebih bagus dari Sarah.”
“Iya Le, hanya saja tadi aku agak susah untuk konsentrasi. Kecapekan mungkin ya.”
“Iya, kau terlalu keras kepada dirimu sendiri Sica, sekarang tenangkan diriku dan buang jauh-jauh pikiran tentang ulangan tadi.”
Baru saja aku menutup mulut, Bejo masuk ke dalam kelas sembari membawa setumpuk kertas jawaban. Bejo membaginya dalam sunyi, sama sekali tidak bicara. Ia hanya memberikan hasil ulangan satu per satu kepada teman-teman atau meletakkannya di bangku jika yang bersangkutan tidak ada di tempat.
Aku mendapatkan nilai 97, sedangkan Kenji bulat 100 seperti yang sudah kuduga. Sica belum menerima kertasnya, mungkin ada di tumpukan bawah sendiri. Apakah Bejo sudah mengecek siapa pemenang antara Sica dan Sarah, sehingga ia meletakkan kertas mereka di bawah sendiri.
Pada akhirnya, Sica mendapatkan kertasnya. Ia mendapatkan nilai 90, nilai yang cukup bagus. Sarah tidak ada di kelas sehingga Bejo masih memegang miliknya. Aku segera menanyakannya kepada Bejo berapa nilai Sarah karena Sica nampak takut menanyakannya.
“92 Le, Sarah mendapatkan nilai 92.”
***
“So, cewek udik, lu siap kan lari keliling lapangan?” tanya Sarah dengan mulut yang menggariskan kekejaman bagaikan ibu tiri. Ia mengatakan ini ketika pulang sekolah. Sewaktu ia kembali ke kelas dan mengetahui bahwa ia menang, ia tertawa dengan begitu angkuhnya. Kedatangan guru lah yang membuat moncongnya terdiam.
Sica terdiam sebentar, menarik nafas dalam lalu membalas tatapan Sarah.
“Aku siap menerima hukuman itu, tapi aku minta hukuman dilaksanakan besok ketika jam olahraga. Aku tidak mau terjatuh karena lari menggunakan rok.”
“Huh, terserah lo aja, yang penting udah gue buktiin kalo gue lebih pinter dari lo.”
“Tapi kau kalah dengan Kenji perempuan. Bahkan kau kalah oleh Juna.”
Aku tidak tahan melihat temanku dihina seperti itu, memutuskan untuk berdiri untuk membelanya. Kusebutkan nama Juna untuk merendahkan Sarah yang selama ini sering menghina kelemotan Juna. Kutatap Sarah dengan sorot mata yang paling keji, sorot mata yang sudah menemaniku selama tiga tahun terakhir. Terbukti, Sarah terlihat getir melihatku, tanpa mengucap apapun ia pergi keluar kelas.
Hening. Kenji yang biasanya pandai mengendalikan situasi kelas pun lagi-lagi tampak bingung harus berbuat apa. Tidak ada yang meninggalkan kelas selain Sarah, mungkin karena semua sedang menahan geram melihat kelakuan Sarah. Tentu yang paling terlihat berada di dalam tekanan adalah Sica yang harus rela menerima hukuman. Aku berusaha menahan emosi, lalu duduk di tempat Sarah untuk berbicara dengan Sica.
“Kekalahan ini bukan apa-apa Sica. Kau hanya terlalu terbebani sehingga tidak bisa fokus belajar. Sarah sudah merasa percaya diri dari awal dan yakin bisa mengungguli dirimu, dan itu membuatnya lebih lepas dalam belajar.” kataku membuka percakapan.
Sica tetap terdiam, terlihat ingin menangis. Teman-teman yang lain pun bingung harus berbuat apa. Rena, yang duduk di belakang Sica persis, mengusap-usap punggung Sica seolah-olah ingin memberinya kekuatan. Akhirnya, tangis Sica pun pecah, dan kelas pun terasa mendung seketika.
***
“Aku jarang sekali kehabisan ide seperti itu Le. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.” kata Kenji ketika pulang sekolah dan aku bertanya padanya kenapa ia diam saja tidak seperti biasanya.
“Itu bukan salahmu Kenji, tidak perlu merasa bersalah.”
“Meskipun begitu aku merasa kasihan sekali kepada mereka berdua.”
“Berdua? Maksudmu Sarah?” tanyaku keheranan.
“Iya Le, Sica dan Sarah.”
“Untuk apa kau mengasihani anak seperti itu? Dia jelas-jelas membuat sekat yang membuat kita tidak bisa mendekat kepadanya.” tanyaku lagi dengan nada yang agak meninggi.
“Mungkin kalian semua sebal melihat kelakuan anak Jakarta itu, tapi aku bisa melihat lebih dalam lagi Leon. Aku tahu ada sesuatu yang membuatnya seperti itu. Dia berperilaku demikian karena ada faktor yang mempengaruhi, dan aku yakin faktor tersebut bersifat eksternal. Bukankah kamu biasanya jago menilai orang? Apa kamu tidak bisa melihat hal tersebut?”
Aku hanya terdiam mendengar penuturannya, atau lebih tepatnya tidak peduli. Bagaimana mungkin kita bisa mengasihani orang yang tak perlu dikasihani seperti Sarah? Selain itu, aku sama sekali tidak pernah melihat Sarah sebagai orang yang perlu diamati. Siapa yang tertarik mengamati hama? Tentu saja orang-orang yang merasa dirugikan dan ingin membasminya. Aku hanya ingin membasminya tanpa perlu mengamatinya.
***
Sekitar jam tujuh malam, aku memutuskan untuk menghubungi Sica. Aku ingin mengetahui apakah dirinya sudah merasa lebih baik. Akan tetapi, karena keterbatasan pulsa, aku hanya mengirimkan pesan singkat.
- Hei Sica, sudah merasa baikan?
Aku menunggu sekitar 15 menit belum juga ada balasan. Tentu ini membuatku khawatir karena aku belum terlalu mengetahui sifat-sifat Sica. Bagaimana jika ternyata Sica adalah tipe orang yang mudah depresi lalu memutuskan untuk bunuh diri? Kemungkinan itu bisa terjadi, toh ibuku yang termasuk wanita kuat juga memutuskan untuk bunuh diri. Atau mungkin aku ke rumahnya saja? Bukannya rumahnya dekat dengan pasar? Dengan sedikit bertanya aku akan menemukan rumahnya.
Setelah mengumpulkan niat untuk mencari rumahnya, tiba-tiba saja dering handphoneku berbunyi. Telepon dari Sica.
“Halo?”
Hening disana, hanya terdengar samar-samar suara tangis. Aku tidak berusaha untuk mendesaknya berbicara, mungkin ia butuh waktu untuk mengumpulkan suaranya.
“Ma..maaf Le, aku meneleponmu malam-malam. Hanya saja, aku butuh teman.” katanya dengan sesekali berhenti untuk menarik ingusnya.
“Iya tidak apa Sica, kau jangan sedih ya. Kau pasti bisa menyelesaikan tantangannya besok.”
“Bukan itu permasalahannya Le.”
“Lalu?”
“Aku takut.”
“Takut apa?”
Lagi-lagi hening, dan lagi-lagi aku memutuskan untuk tidak mendesaknya berbicara.
“Entahlah Le, aku merasa akan ada sesuatu yang buruk setelah ini.”
“Tidak usah takut Sica, kami semua dibelakangmu. Istirahat saja sekarang, untuk menjaga stamina untuk besok.”
“Baiklah Le, terima kasih.” katanya langsung menutup telepon. Apakah Sica marah terhadapku? Akan tetapi apa alasannya? Bagiku yang belum begitu mengetahui dunia feminis, semua terasa gelap, tanpa ada cahaya sedikitpun sebagai petunjuk. Mungkin ia hanya merasa kesal terhadap dirinya sendiri, sehingga mudah terpancing emosi. Tidak apa-apa, aku bisa memaklumi hal tersebut.
Ketika aku beranjak tidur, aku tiba-tiba terpikirkan, mengapa Sica memutuskan untuk menelepon diriku? Apa karena aku mengirimnya SMS? Lalu jika kuingat-ingat lagi, Sica sangat jarang sekali berkumpul dengan sesama perempuan, meskipun aku juga tidak pernah melihat Sica cekcok dengan mereka, selain Sarah tentunya. Apakah Sica tipe wanita yang lebih nyaman menjalin persahabatan dengan teman laki-laki?
Berbagai teori mengiang di kepalaku hingga akhirnya aku tertidur, melupakan hasil ulangan matematika yang pahit hari ini. Semoga saja, besok Sica kuat untuk lari keliling lapangan sepuluh kali.
You must be logged in to post a comment Login