Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 8 Kiat Menahan Marah
Tok tok. Kuketuk pintu rumah Kenji yang sederhana. Terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Pintu terbuka, dan terlihatlah si dungu, maksudku Kenji. Begitu melihatku, dia tersenyum lebar menyambut kedatanganku.
“Oh, kamu, ada apa? Bagaimana kamu tahu rumahku?” tanyanya dengan riang seolah-olah kemarin tak terjadi apa.apa.
“Eh, itu…” aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Sudahlah itu tak penting, silahkan masuk. Maaf ya kalau rumahku berantakan, hehehe. Aku hanya punya teh, silahkan duduk di kursi ini.”
Kenji berlalu ke dapur. Sambil menunggu Kenji, aku mengamati rumah mungilnya. Rumahnya hanya memiliki tiga ruangan, ruangan seluas 8 x 8 ini, dapur dan kamar mandi. Ruang tamu, kamar, dan ruang belajar menjadi satu. Meskipun sangat mungil, namun rumahnya rapi sekali. Dipojok ruangan terdapat empat lemari buku bersekat lima yang semuanya terisi penuh oleh buku-buku. Terdapat satu lemari pakaian berpintu dua yang kecil. Meja belajarnya bukan meja belajar yang berpasangan dengan kursi, melainkan meja duduk yang rendah. Tidak ada peralatan elektronik apapun kecuali lampu belajar, setrika, magic jar berukuran mungil, dan radio kecil. Tempat tidurnya hanya bealaskan tikar yang ditumpuk kasur busa berwarna biru yang terdapat banyak jahitan disana-sini. Lantainya masih berupa ubin, namun terlihat mengkilat, mungkin karena terlalu sering dibersihkan. Dan di ruang tamu ini hanya ada tiga kursi yang terbuat dari kayu dan sebuah meja bundar kecil. Ada empat jendela, di muka rumah dan di atas meja belajar Kenji. Benar-benar sederhana rumah ini, berarti Kenji anak kurang mampu? Dan terlebih lagi dia hidup sendiri? Tapi mengapa ia masih bisa tersenyum penuh dengan syukur begitu?
“Maaf kawan sudah menunggu lama, hehe, ini tehmu.” Kenji keluar dari dapur sembari membawakan satu gelas teh di atas baki.
“Terima kasih.” hanya itu yang terucap dari bibirku.
Sunyi sekali waktu itu, suasananya benar-benar awkward. Kaku. Aku bingung harus berkata apa, atau mungkin lebih tepatnya aku tidak berani mengeluarkan kata maaf kepadanya. Sedangkan Kenji, walaupun wajahnya tegar, tersirat sedikit ketakutannya yang mungkin disebabkan oleh penganiayaan kepada dirinya kemarin.
“Eee . . . kamu sudah tidak marah kan soal kemarin?” tanya Kenji dengan suara bergetar
“Tidak.” entah mengapa hanya ini yang keluar dari mulutku
“Jadi kamu cuma mampir,kan?”
“Ya.”
“Oh, hehe, baiklah kalau begitu.”
Sunyi menghampiri kami lagi.
***
Entah berapa lama kami berdiam diri seperti itu. Entah mengapa kami betah duduk di sana tanpa melakukan apapun dan tanpa berkata apapun. Kami hanya memandang ke sembarang arah sambil melirik satu sama lain. Aku yang pemberani ini ternyata tidak memiliki nyali untuk mengakui kesalahannya. Aku benar-benar malu, untungnya tertutupi oleh ekspresi wajahku yang senantiasa memasang wajah suram.
“Ee . . . apa kau tak merasa apa yang kita lakukan ini aneh?” Kenji membuka pembicaraan
“Ya.”
“Apa tidak sebaiknya kita lakukan sesuatu, seperti membaca, atau mendengarkan radio atau menggambar?”
“Terserah.”
“Ee . . aku mau ke kamar mandi dulu ya.” Kenji bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamar mandi. Kutengok jam yang melekat pada tangan kiriku. Sudah jam tiga, dan terdengar adzan. Sudah berapa lama aku tidak mendengarkan suara yang indah ini? Sudah berapa lama aku tidak menunaikan ibadah sholatku? Sudah berapa lama aku seperti ini?
“Brrr, airnya segar lo Napoleon, kamu tidak ambil air wudhu? Sudah Ashar lo.” Kenji memotong lamunanku.
“Ya.”
Aku bangkit dari tempat dudukku dan masuk kedalam kamar mandi. Namun apa yang kulakukan di kamar mandi hanyalah berdiam diri. Aku benar-benar malu terhadap diriku. Malu terhadap Kenji. Aku terlalu gengsi menghadapi kenyataan ini. Aku terlalu gengsi untuk menyadari kesalahanku.
Sekuat mungkin aku berusaha untuk menguatkan mentalku. Aku sudah berada disini, aku sudah memutuskan untuk meminta maaf, aku sudah memutuskan untuk mengakui kesalahanku. Lelaki sejati adalah lelaki yang mampu mengakui kesalahannya. Ya, sudah kubulatkan tekadku, kuukir di dalam hatiku agar tak mudah lenyap, aku akan minta maaf setelah aku selesai sholat.
***
Kenji tengah berada di dapur ketika aku selesai sholat. Begitu banyak bacaan sholat yang terlupa olehku karena lamanya aku tidak melakukan ini. Untunglah aku masih hapal gerakannya, jumlah rokaatnya, dan apa yang diucapkan ketika berganti gerakan. Karena Kenji belum kembali, aku kembali duduk di ruang tamu. Terdengar suara panci bergesekan dengan spatula. Terdengar pula suara orang bersiul-siul. Kenji sedang memasak. Ya, sekarang sore, pasti dia sangat lapar, begitu pula aku. Aku belum makan nasi sejak tadi pagi, walaupun biasanya aku memang tidak begitu teratur dalam mengatur pola makanku. Aku tidak begitu senang makan, dan mungkin itu membuatku terlihat sedikit kurus, meskipun bukan berarti aku lemah. Hal itu berbanding terbalik dengan tubuh kenji yang berisi. Padahal dia hanya orang yang sederhana, mengapa ia bisa labih gemuk daripada aku?
“Karena dia pandai bersyukur” jawab hatiku. Oh Tuhan, tampaknya aku mulai mendapatkan hidayahmu, tapi apakah aku sudah siap untuk berubah?
“Makanan siap, meskipun hanya telur mata sapi. Hehehe.” Kenji keluar dari dapur membawa sepiring telur. Dia melangkah menuju magic jarnya, dan bertanya padaku
“Mau nasi seberapa? Banyak atau sedikit?”
Aku terhentak mendengar pernyataan ini. Jadi Kenji memasak untukku?
“Bagaimana dengan kau?” tanyaku masih dengan perasaan shock.
“Ah sudahlah, aku bisa makan nanti malam. Sekarang sudah sore, kamu pasti lapar. Aku ambilkan nasi secukupnya saja ya, nanti kamu bisa kekenyangan dan tak bisa pulang, hehehe”
Meskipun dia bilang secukupnya, nasi yang dia ambilkan melebihi porsi makanku seperti biasanya. Aku semakin tak punya muka untuk bertatap muka dengan Kenji. Dia begitu baik terhadapku, meskipun aku pernah menyakitinya. Dia rela kelaparan asal temannya tidak kelaparan. Teman? Sejak kapan aku menjadi temannya?
“Maaf Kenji, aku tidak bisa menerima ini.” ini pertama kalinya aku memanggilnya Kenji.
“Ah, kamu tak suka telur ya, ya sudahlah ini akan kusimpan buat nanti makan malam.”
“Eh, sebentar kenji.”
“Apa? Kamu berubah pikiran?”
“Tidak, ee. . . sebenarnya tujuanku kemari, mau menanyakan, bagaimana kau bisa mengetahui rumahku?” sebenarnya bukan ini yang mau ku katakan, tapi entah mengapa ini yang keluar.
“Oh, maaf sebelumnya, kemarin malam aku membuntuti dirimu. Aku takut kalau terjadi apa-apa padamu. Kamu kan belum sehat betul.”
“Berarti kau mendengar aku memarahi adikku.”
“Ya, aku mendengar semua ucapanmu. Tenang saja Le, aku tidak mengetahui apa-apa tentang aib keluargamu. Aku tadi ke rumahmu untuk bertemu denganmu dan adikmu, tapi kamu belum pulang. Lalu aku bertemu adikmu. Begitu melihat orang sipit seperti aku, dia langsung menanyakan apakah aku yang kamu maksud. Aku mengiyakannya dan berusaha menghiburnya semampuku. Walaupun begini, aku ini pintar menghibur orang lho, haha.” cerita Kenji ditutup dengan tawa khasnya.
“Ee . . mengenai itu, aku mau minta maaf atas kejadian kemarin.” akhirnya keluar juga permintaan maafku dengan sangat terpatah-patah. Jika saja ada cermin di hadapanku, aku pasti bisa melihat mukaku memerah seperti tomat.
“Oh, tak apa kok, justru yang salah aku.” wajahnya menunjukkan keheranan atas penuturan maafku.
“Tidak, harusnya aku tidak sampai memukulmu, aku benar-benar minta maaf karena telah berbuat kasar kepadamu.”
“Tenang Napoleon, aku pemaaf kok.”
Aku memandangnya, melihat kedua matanya. Kenji tidak pandai berbohong, pasti ketahuan jika ia tidak benar-benar memaafkan aku. Namun, hanya ada ketulusan yang tersorot dari matanya.
“Oh iya, sampai sekarang aku belum tahu nama panggilanmu. Jadi, apa panggilan dari namamu yang terdiri dari tiga penguasa dunia itu?”
“Leon, panggil aku Leon.”
“Ah baiklah Leon, nama yang cocok sekali denganmu.” komentarnya dengan senyum yang tak pudar-pudar dari tadi.
“Bagaimana kau bisa tidak marah setelah mendapat perlakuan seperti itu dariku?”
Kenji tidak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan berjalan menuju ke salah satu lemari bukunya. Dia mengambil salah satu buku dan membawa buku itu ke ruang tamu.
“Yang pertama jelas karena aku selalu ingat sama Allah. Mungkin alasan yang lain adalah ini.”
Kuambil buku itu, dan kubaca judulnya.
“Kiat Menahan Marah”.
You must be logged in to post a comment Login