Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 43 Daftar Favorit Milik Ibu
Kami mendapatkan libur empat hari karena ujian nasional telah dimulai. Aku memutuskan untuk mengisi liburanku dengan mempelajari bab-bab yang kurang aku kuasai. Targetku di kelas ini jelas: mengalahkan Kenji sebagai peringkat pertama. Oleh karena itu, waktu yang dimiliki harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
“Astaga Leoooooon, kamu enggak bosen apa belajar terus.” kata Gita waktu aku menjawab pertanyaannya tentang apa yang akan aku lakukan ketika liburan.
“Selalu ada hal baru dari yang kita pelajari, bagaimana aku bisa bosan?”
“Ya tapi kan manusia butuh refreshing dari rutinitas. Hari sekolah kamu belajar. Libur juga kamu belajar. Kamu manusia kan? Jangan-jangan kamu robot lagi?”
“Ia adalah pangeran kegelapan, ia memiliki stamina tak terbatas. Ia gunakan kemampuannya tersebut untuk mempelajari buku-buku sihir yang sudah tersegel selama ribuan tahun.” Rika tiba-tiba ikut dalam pembicaraan kami.
“Jadi, kamu belajar ilmu sihir ya Le?” tanya Gita dengan nada mengejek.
Aku hanya tersenyum tipis mendengar celotehan mereka. Mungkin bagi sebagian orang aneh, namun bagiku belajar adalah candu. Aku akan merasa gelisah jika satu hari saja tidak belajar. Seandainya tidak ada bahan yang bisa dipelajari, maka aku akan merenung tentang alam semesta ini, termasuk mengapa aku dilahirkan di keluarga yang berantakan. Terkadang aku membaca buku, karena itu juga membutuhkan kerja otak. Intinya, otakku yang cemerlang ini tidak boleh nganggur terlalu lama.
“Kadang aku juga baca novel kok.”
“Oh ya? Novel apa?” tanya Gita dengan penasaran.
“Novel detektif.”
“Astaga, bahkan bacaan pun kamu memilih buku yang bikin otak kita mikir. Kamu enggak suka baca teenlit gitu?”
“Apa itu teenlit?” tanyaku polos.
“Novel remaja, biasanya tentang percintaan.”
“Apa menurutmu wajah sepertiku akan membaca novel romantis?”
“Iya sih.” Gita memanglingkan wajahnya, mungkin karena menahan tawa membayangkan diriku membaca novel percintaan.
“Oh iya Le, dulu aku janji mau kasih saran novel Agatha Christie ya?” tanya Rika.
“Iya.”
“Coba baca The Murder of Roger Ackroyd deh. Tubuhmu pasti bergetar ketika mengetahui siapa pelakunya.”
“Baik Rika, terima kasih untuk sarannya.”
“Rika juga baca novel begituan?” tanya Gita kepada Rika.
“Aku membaca semua macam buku Git, semua buat referensi novelku.” jawab Rika dengan riang.
Aku tersenyum menyaksikan dua teman perempuanku ini berkenan untuk mengajakku berbicara. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku bisa berinteraksi dengan teman seperti ini. Sejak kecil, aku tidak punya teman karena mereka semua takut dengan ayahku yang bisanya hanya menyuruhku belajar, belajar, dan belajar. Ketika SMP, mereka memusuhiku karena iri dan dendam. Baru di SMA inilah, aku baru merasakan betapa bahagianya memiliki teman. Tidak hanya satu, tapi semua yang ada di kelas ini.
“Kenapa Le, kok wajahmu kayak senang gitu?” tanya Gita lagi, memecah lamunanku.
“Ah tidak, kau sendiri mau ke mana Git liburan?”
“Aku? Paling ya jalan-jalan Le, cari obyek gambar. Aku paling suka ke alun-alun atau bangunan tua, terus bikin sketsanya.”
“Kalau kau Rika?”
“Mau jawaban serius apa jawaban imajiner?”
“Serius.”
“Aku mau membuat cerita baru tentang seorang pahlawan wanita yang rela berkorban demi teman-temannya.”
“Terinspirasi Sica ya.” gumam Gita sambil menunduk.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Meskipun sudah lama berlalu, tetap saja kami merasa sedih jika teringat Sica. Aku yang bermental paling kuat harus bisa membelokkan topik pembicaraan.
“Ah Rika, katamu kau ingin kolaborasi dengan Gita kan, buat bikin komik?”
“Udah kok, cuma komik pendek sih. Nanti kita minta tolong Nita buat dimasukin ke majalah sekolah.”
“Itu pertama kali aku ngirim karya buat majalah lo, untuk kamu aja Rik. Ceritamu keren dan kocak lo.”
“Gambarmu juga keren Git, kayak pembuat manga profesional.”
Akhirnya kami membicarakan komik tersebut hingga panjang lebar. Syukurlah, aku berhasil mengganti topik pembicaraan. Mereka sudah mau menerimaku apa adanya sejak aku masuk kelas ini. Aku tidak ingin mereka, setidaknya di hadapanku, terlihat murung ataupun sedih. Aku ingin melindungi mereka semua.
***
“Iya Le, aku kenal. Orangnya cantik dan baik hati, tapi perasa, hahaha.” kata Kenji waktu aku menanyakan kak Nani.
“Untunglah waktu itu ada dia, entah apa yang akan terjadi jika kak Nani tidak ada.”
“Kamu takut mengamuk seperti dulu? Tapi kamu yang sekarang sudah jauh lebih pandai menguasai diri kok.”
“Iya, terima kasih.”
“Omong-omong sebentar lagi tahun ajaran baru akan dibuka, Gisel sudah siap sekolah?”
“Siap dong kak!” kata adikku dengan semangat.
“Oh iya, bukannya kau bilang punya cara agar Gisel bisa sekolah?”
“Iya Le, dan aku akan bongkar rahasianya hari ini! Hahaha.” jawabnya dengan ceria.
“Jadi?”
Kenji membetulkan posisi duduknya. Dengan sedikit berdehem, ia memulai menceritakan cara agar Gisel bisa bersekolah kembali.
“Aku mendapatkan informasi dari Ve, ibunya yang kepala sekolah akan pindah ke SD dekat sini. Nah, kita bisa menjelaskan baik-baik kepada ibunya tentang kondisi Gisel, semoga saja ia bisa membantu kita.”
Aku diam sesaat, lalu bertanya.
“Hanya itu?”
“Memang apa lagi Le? Hehehe.”
“Entahlah, aku kira kau punya rencana super yang bagaimana gitu.”
“Ah tidak kok Le, rencanaku hanya rencana sederhana yang memanfaatkan peluang.”
“Eh, baiklah jika itu yang terbaik untuk Gisel.”
“Nah Gisel, meskipun kemampuanmu sudah setara dengan anak SMP, kamu harus sabar di kelas ya. Perhatikan gurumu, dan jangan bertanya di luar konteks pelajaran. Jika ada, simpanlah untuk ditanyakan di rumah.”
“Siap kak Kenji, Gisel masuk ke kamar dulu ya, ngantuk nih.”
“Kau yakin ibunya Ve bisa membantu kita?” tanyaku setelah Gisel masuk ke kamarnya.
“Sebenarnya 50:50 sih.”
“Lalu?”
“Kamu tahu kalo Ve anaknya baik kan?”
“Iya, lalu?”
“Semoga saja ibunya Ve juga baik seperti anaknya, hahaha.”
Aku tidak ikut tertawa. Ini jelas bukan cara Kenji yang seperti biasa. Aku yakin masih ada yang ia simpan. Kudesak ia untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
“Hahaha, baiklah Le, sebenarnya aku sudah membicarakan masalah ini ke Ve. Ia berkata, selama ini ibunya tidak pernah menerima segala macam bentuk KKN. Tentu saja kita tidak akan memasukkan Gisel melalui sogokan bukan? Kita juga tidak mungkin memasukkan Gisel hanya karena kenal kepala sekolahnya. Lantas bagaimana caranya? Ya melalui jalur seperti biasanya, melalui tes.”
“Masalahnya Kenji, Gisel akan bosan bukan? Bahkan ia sudah mulai penasaran dengan pelajaran SMA.”
“Rekomendasi.”
“Rekomendasi?”
“Iya, dengan rekomendasi dari wali kelas, Gisel bisa meloncat beberapa kelas Le. Jika semua guru memberikan rekomendasi, maka Gisel dapat naik kelas lebih cepat.”
“Ah, aku mengerti sekarang. Itulah mengapa kau terus mewanti-wanti Gisel untuk sabar di kelas.”
“Betul Le. Aku memperkirakan setidaknya butuh dua minggu agar Gisel mendapatkan rekomendasi.”
“Lantas, apa hubungannya dengan ibunya Ve? Toh Gisel bisa tetap ikut tes masuk SD.”
“Usia Gisel Le yang menjadi masalah. Tahun ini ia 10 tahun bukan?”
“Kalau tidak salah, iya.”
“Tidak wajar bukan anak usia 10 tahun baru mendaftar SD. Itulah yang harus kita terangkan pelan-pelan kepada ibunya Ve, agar Gisel diberi kesempatan untuk mengikuti tes. Kita hanya meminta diberi kesempatan, bukan meminta bantunnya untuk memasukkan Gisel ke sekolah yang ia pimpin.”
Aku mengangguk mendengar penjelasan Kenji. Benar juga, Biasanya anak SD paling tua masuk usia tujuh tahun, sedangkan Gisel harusnya sudah duduk di kelas empat. Lagi-lagi Kenji bisa memikirlah langkah-langkah yang dibutuhkan secara sistematis. Semua dipikir secara runtut, memudahkan pendengarnya memahami rencananya. Jelas Kenji bukan anak biasa, ia diberkahi dengan kemampuan otak yang luar biasa, mungkin melebihiku.
***
Aku mencoba menutup hariku yang bahagia ini dengan membaca buku yang direkomendasikan Rika. Kucari di antara deretan buku, ada. Nampaknya ibuku benar-benar penggemar Agatha Christie, sehingga ia memiliki koleksi yang lengkap. Sewaktu aku membuka halaman pertama, tidak ada angka di sudut halamannya seperti yang kutemukan dulu. Aku menjadi penasaran untuk membuka satu per satu koleksi buku ibuku. Mumpung besok libur.
Setelah mengecek hampir delapan puluh buku yang ada, aku menemukan 10 buku yang diberi angka. Aku menumpuknya sesuai dengan urutan angkanya, dari yang terkecil hingga yang terbesar. Agar tidak lupa, aku membuat catatan buku-buku tersebut dan memberi tanda centang untuk buku yang telah selesai kubaca.
1. And Then There Were None (V)
2. Why Didn’t They Ask Evans 3. After the Funeral 4. Nemesis 5. Murder on the Orient Express (V) 6. Sad Cypress 7. Hercule Poirot’s Christmas 8. Halloween’s Party 9. Death Comes at the End 10. Poirot Investigates |
Baiklah, setelah membaca buku rekomendasi dari Rika ini, aku akan secara urut membaca buku-buku ini dari urutan ke sepuluh, sesuai dengan daftar favorit milik ibu ini.
You must be logged in to post a comment Login