Leon dan Kenji (Buku 2)

Chapter 56 Sepucuk Surat dari Ayah

Published

on

“Ibu, dari tadi sedang sibuk apa sih?”

“Hahaha, rahasia Leon. Nanti kalau kamu udah gede ibu kasih tahu.”

“Hmm, emang Leon harus segede apa bu?”

“Minimal tingginya seibu lah.”

“Yah, masih lama dong.”

“Hehehe, makanya Leon harus rajin makan dan olahraga.”

“Ayah belum pulang bu?”

“Iya, ibu belum dapat kabar dari ayah, doakan aja ya nak.”

“Adik kapan keluarnya bu?”

“Beberapa bulan lagi Leon, udah enggak sabar ya?”

“Hehehe iya, Leon pengen cepet-cepet punya adik.”

“Maunya cowok apa cewek?”

“Sama aja sih bu, yang penting Leon punya temen belajar di rumah!”

“Hehehe, kata dokter kemungkinan perempuan Le.”

“Pasti cantik kayak ibu.”

“Hahaha, bisa aja kamu. Terima kasih ya. Nanti kalau adik udah lahir, tolong dijaga baik-baik ya. Kamu harus bisa merawatnya dengan penuh kasih sayang, karena kita enggak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan.”

Aku terbangun dengan keringat bercucuran di dahiku. Setelah kesadaranku telah pulih seutuhnya, aku memeriksa sekitarku. Aku masih berada di kamarku. Tidak ada yang berubah. Ternyata pembicaraanku dengan ibu hanya mimpi. Mimpi yang sangat terasa nyata. Aku melirik jam yang terpasang di dindingku, masih jam empat pagi.

Aku berusaha mengingat-ingat, apakah percakapan tersebut benar-benar terjadi? Harusnya banyak hal yang bisa aku ingat tentang kenanganku dengan ibu, tapi nampaknya kebencian bertahun-tahun telah menghapus semua memori itu. Kuputuskan untuk tidak melanjutkan tidur dan mengambil segelas air putih untuk meredakan keteganganku, walaupun mimpiku bukan mimpi yang menakutkan.

***

Gisel berhasil lulus dalam tes masuk sekolah dasarnya, walaupun hal itu sama sekali tidak mengejutkan diriku. Aku sempat kebingungan bagaimana caranya mengantar Gisel ke sekolah, sedangkan aku harus berangkat lebih pagi dari dia. Untunglah Kenji menawarkan solusi yang luar biasa dengan mengenalkan diriku dengan penjaga masjid dekat rumahnya bernama Mamad atau akrab disapa cak Mad. Ia bersedia antar-jemput Gisel dengan upah yang murah. Karena Kenji yang menyarankan, aku sama sekali tidak mencurigai orang tersebut akan berbuat hal berbahaya ke Gisel.

Beberapa hari berselang, liburan usai dan aku melanjutkan kehidupan sekolahku. Akhirnya kami pindah ke kelas, ke tempat kakak tingkat akselerasi kami yang dulu. Akan tetapi, ternyata kelas kami dipindahkan ke kelas bawah, dekat dengan tangga menuju perpustakaan. Aku tak tahu apa alasan perpindahan tersebut, dan aku juga tidak terlalu terpengaruh dengan itu. Komposisi duduk kami tidak berubah, aku tetap duduk di pojok belakang seperti di kelas lama.

Walaupun ini hari pertama, kami tetap menjalani jam ke-0. Berada di kelas akselerasi membuat kami harus siap menjalani hal-hal demikian. Aku yakin teman-teman yang lain juga tidak terlalu keberatan dengan jadwal yang demikian karena tuntutan untuk lulus satu tahun lagi. Saat jeda sebelum memasuki jam pertama, aku baru sadar bahwa bangku Yuri kosong. Apakah ia terlambat karena harus membantu ibunya?

Pertanyaanku terjawab ketika Yuri masuk ke dalam kelas, tiga menit sebelum bel masuk kelas reguler berbunyi. Benar dugaanku, Yuri datang terlambat. Ia langsung menghampiri Kenji dan berbisik kepadanya. Jauhnya posisi dudukku dari bangku Kenji membuatku tidak bisa menangkap apa yang dibisikkan Yuri kepada Kenji. Kenji terlihat mengangguk-anggukkan kepala, lantas berdiri di depan kelas.

“Teman-teman mohon perhatiannya sebentar.” kata Kenji dengan senyum khasnya.

Teman-teman mematuhi perintah Kenji dan suasana hening seketika. Padahal tubuhnya kecil, tapi kharisma yang dimilikinya begitu besar. Mungkin lebih besar dari kharisma ketua kelas, Bejo. Aku yakin kecerdasan yang terpancar dari kedua matanya lah yang mengeluarkan aura tersebut.

“Seperti yang telah kita ketahui bersama, sebelum liburan kemarin nilai kita satu kelas bisa dianggap aman untuk bertahan di kelas ini, termasuk Yuri. Nah, sayangnya Yuri memutuskan untuk mengundurkan diri dari kelas ini dan masuk ke kelas reguler.”

Sontak kelas menjadi heboh, bertanya dengan suara yang saling bersahutan. Yuri nampak malu dengan perhatian yang ia dapatkan, namun ia berusaha untuk menjawab satu persatu pertanyaan yang ditujukan kepadanya.

“Maaf teman-teman, tapi aku rasa kelas ini kurang cocok untukku. Aku butuh lebih banyak waktu agar bisa membantu ibu. Selain itu, aku juga sering merasa tertekan dengan beratnya jadwal kelas ini.”

“Tapi bukankah kami selalu membantumu belajar?” tanya Nita yang duduknya persis di depan Yuri. Selama ini, mereka berdua memang sering terlihat dekat.

“Tentu, dan aku sangat berterimakasih terutama kepada Kenji dan Leon yang menginisiasi kelas tambahan sepulang sekolah. Itu sangat membantuku. Tapi, seperti yang aku sebutkan tadi, aku butuh lebih banyak waktu kosong.”

“Kenapa begitu mendadak?” tanya Rena.

“Hehehe, karena aku juga butuh waktu untuk memikirkannya baik-baik. Aku juga sudah diskusi dengan ibuku, dan beliau setuju dengan keputusan yang sudah aku buat.”

Tak ada lagi yang mengajukan pertanyaan ke Yuri. Setelah ditutup dengan ucapan terima kasih dan permohonan maaf, Yuri melangkah keluar kelas. Aku sedikit menyayangkan kejadian itu karena Yuri telah bekerja keras agar tetap bertahan di kelas ini. Namun, apabila ia merasa nyaman belajar di kelas reguler, tentu aku tak punya hak untuk melarangnya. Aku menghitung jumlah murid yang tersisa di kelas ini. Sebelas orang. Kenji, Pierre, Bejo, Sarah, Ve, Nita, Rena, Juna, Rika, Gita, dan aku. Meskipun Yuri anak yang pendiam, tetap saja aku merasa kehilangan.

***

Pada jam petama, beberapa petugas sekolah nampak mengambil kursi dari kelas kami karena beberapa kelas membutuhkan bangku tambahan. Hal tersebut tentu membuat kami harus berpindah posisi. Semula Bejo memintaku yang bangkunya telah dipindah untuk duduk dibelakang Pierre, alias dua dari depan. Aku mengeluarkan keenggananku karena sudah terlanjur nyaman duduk di pojok, walaupun bangkuku sudah diambil.

Pada akhirnya Gita lah yang bersedia pindah ke depan dengan alasan matanya mulai minus, sehingga ia butuh lebih dekat dengan papan tulis. Alhasil, aku menempati bangku paling belakang tengah, bersebelahan dengan Rika. Aku mengajak Rika untuk bertukar posisi agar aku duduk di pojok lagi, dan Rika justru meresponnya dengan fantasinya.

“Apa yang akan kamu berikan kepadaku sebagai upeti, wahai pangeran kegelapan?” katanya sambil menunjuk tongkat-entah-apa-gunanya ke wajahku.

“Singkirkan tongkatmu dari wajahku Rik.” kataku ketus.

“Hehehe, kamu lucu ya kalau digodain.” jawab Rika sambil menyingkirkan tongkatnya dari wajahku. Rika setuju dan akhirnya kami pun bertukar bangku.

“Itu tongkat apa?” tanyaku berusaha mengajaknya berbicara sebagai tanda terima kasih.

“Ini tongkat properti dari anak teater. Aku kebagian peran menjadi seorang penyihir cantik untuk lomba bulan depan.”

“Ya, itu cocok untukmu.”

“Maksudmu aku cocok jadi orang cantik?”

“Bukan, jadi penyihir.”

“Ih, Leon enggak seru ah.” kata Rika sambil memonyongkan bibir.

Aku tertawa ringan melihat ekspresi polosnya. Siapa yang menyangka, baru beberapa bulan yang lalu Rika harus menghadapi masalah yang begitu berat. Nampaknya semua beban tersebut telah terangkat dari pundaknya, dan ia sudah merasa nyaman tinggal bersama Sarah. Hanya saja, ia masih mengenakan seragam lengan panjang.

“Kau sudah tidak mengiris-iris tanganmu lagi kan?”

“Udah enggak kok Le.”

“Kenapa masih pakai seragam lengan panjang?”

“Karena udah kebiasaan aja sih.”

“Begitu.”

“Aku juga hampir aja pindah ke kelas reguler karena nilaiku yang turun gara-gara peristiwa kemarin. Untunglah Sarah membantuku mengejar ketertinggalan itu.” ujar Rika melanjutkan kata-katanya.

“Kau sudah bisa mengusir segala pikiran enggak enakmu ke keluarga Sarah ya?”

“Hehehe, lumayan sih Le. Dengan lingkungan yang nyaman, aku semakin produktif menulis. Cerpen-cerpen yang sudah pernah aku tulis aku perbaiki dan aku kirim ke berbagai lomba. Selain itu, aku sedang menyusun mahakaryaku, huahahaha.” Rika bercerita dengan gestur yang sejujurnya kekanakan.

“Tentang apa itu?”

“Rahasia dong, nanti aja kalau udah berhasil diterbitkan aku kasih tahu.”

“Semoga segera terbit ya, aku janji akan jadi pembeli pertamamu.”

Rika mendadak terdiam begitu aku mengatakan kalimat tersebut. Matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar. Dengan satu tarikan nafas panjang, ia mengucapkan terima kasih dengan senyum termanis yang bisa ia buat.

 

***

“Gimana tadi sekolahnya Gisel? tanyaku sewaktu pulang sekolah. Kenji kali ini tidak mampir ke rumah karena ada urusan dengan tempat kerjanya.

“Ya agak bosen sih kak, pelajarannya bener-bener gampaaang banget. Apalagi jam sepuluh udah pulang. Gisel jadi belajar sendiri deh di rumah.”

“Hehehe, sabar ya, inget pesannya Kenji.”

“Siap kak.”

“Temen-temennya gimana?”

“Hmm, belum banyak kenalan sih kak. Tapi begitu tahu Gisel usianya udah hampir sepuluh tahun pada diketawain.”

Ini yang aku khawatirkan. Aku tidak tahu bagaimana sopan santun anak sekarang, tapi dari yang aku dengar banyak sekali kasus bullying yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini. Menertawakan adikku aku anggap sebagai salah satu contoh kasusnya. Aku menjadi sedikit geram mendengar cerita Gisel tersebut.

“Tapi Gisel enggak apa-apa, kan?”

“Enggak apa-apa kok kak, mungkin emang butuh waktu. Gisel kuat kok.”

Aku mengelus lembut rambut Gisel. Semoga ia bisa tahan dengan segala cobaan yang ia hadapi di awal sekolahnya. Semoga ia bisa menahan kesabarannya untuk mempelajari materi-materi yang sebenarnya sudah ia kuasai sejak lama. Semoga teman-temannya tidak sampai berlaku kasar kepadanya. Gisel anak yang rapuh, ia akan dengan sangat mudah disakiti secara fisik walaupun mentalnya kuat.

Aku memutuskan untuk mengakhiri hari dengan membacakan dongeng kepadanya, seperti yang ibu lakukan dulu. Gisel dengan bersemangat mendengarkan aku bercerita. Sayang, aku bukan pembuat cerita yang baik sehingga Gisel berkali-kali protes dengan alur cerita yang sudah kubuat. Mungkin aku akan minta tolong Rika untuk membuatkan dongeng anak yang akan disukai oleh Gisel.

Berbicara tentang dongeng, aku jadi teringat surat yang aku temukan di gudang. Sampai saat ini aku belum berhasil menemukan petunjuk apapun tentang surat itu. Termasuk kombinasi angka untuk membuka peti peninggalan ibuku. Setelah Gisel tertidur, aku mengambil kedua barang tersebut dan memangkunya. Siapa yang kira-kira bisa memecahkan misteri kecil ini?

Lalu mataku menangkap sepucuk surat dari ayah yang kuletakkan di atas meja belajar. Semenjak menerimanya dari Kenji, belum sekalipun aku membacanya. Apakah ayah mengerti kunci kombinasi ini? Apakah ayah mengerti makna tersirat dari surat berbentuk fabel ini? Kemungkinan itu ada, dan rasanya aku harus mengambil keputusan yang kubenci, bertemu dengan ayah.

Tapi sebelumnya, aku merasa perlu untuk membaca sepucuk surat dari ayah yang sebenarnya tak ingin kubaca itu.

Fanandi's Choice

Exit mobile version