Sosial Budaya

Mengapa Tidak Pernah Ada Istilah “Laki-Laki Independen”?

Published

on

Belakangan ini, Prilly Latuconsina sering menjadi bahan pembicaraan. Bukan karena judul film baru yang ia bintangi, melainkan karena pernyataannya yang dianggap sedikit kontroversial: wanita independen makin banyak, tapi laki-laki mapan makin sedikit.

Tentu pernyataan tersebut berhasil menimbulkan pro dan kontra di antara netizen, bahkan sampai dianggap “memecah belah” antara laki-laki dan perempuan. Diskusi panas di mana masing-masing pihak merasa paling benar sering Penulis temukan.

Lantas, Penulis masuk ke kubu yang mana? Penulis berusaha untuk berada di posisi netral, walau mungkin Penulis tidak akan bisa benar-benar netral untuk topik yang berhubungan dengan gender. Namun, itu tak menghalangi Penulis untuk memberikan opininya.

“Independen” dan “Mapan”

Gambaran Wanita Independen (Andrea Piacquadio)

Ada dua kata kunci dari pernyataan Prilly, yakni “Wanita Independen” dan “Laki-Laki Mapan”. Coba mari kita tengok terlebih dahulu apa arti kata independen dan mapan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):

  • Independen: 1) yang berdiri sendiri; yang berjiwa bebas 2) tidak terikat; merdeka; bebas
  • Mapan: mantap (baik, tidak goyah, stabil) kedudukannya (kehidupannya)

Jika diterjemahkan secara bebas, manusia independen itu berarti mereka yang sudah bisa hidup mandiri untuk menghidupi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung kepada orang lain. Caranya bagaimana? Ya, memiliki sumber penghasilan.

Di sisi lain, mapan kerap dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang intinya tidak akan membuat kita pusing memikirkan uang. Mau belanja? Ada. Mau sekolahin anak? Ada. Bahasa kerennya, orang bisa disebut mapan kalau sudah mencapai finansial freedom.

Mengukur tingkat independen seseorang mungkin lebih gampang dibandingkan dengan mengukur tingkat kemapanan seseorang. Alasannya, persepsi tentang seberapa jauh orang dianggap mapan bisa berbeda-beda.

Mungkin bagi A, punya penghasilan tetap tiap bulan sudah dianggap mapan. Bagi B, mapan minimal punya rumah dan mobil. Bagi C, mapan berarti bisa berlibur ke luar negeri setidaknya sekali satu tahun. Standarnya masing-masing bisa berbeda.

Antara Realistis dan Matrealistis

Prilly Latuconsina (WowKeren)

Kalau yang bicara Prilly, bisa jadi standar mapan yang ia miliki ya setidaknya laki-laki memiliki kekayaan di atasnya. Tentu hal tersebut sangat masuk akal karena Prilly memiliki karier yang sangat baik sebagai aktris dan public figure.

Justru aneh bukan, kalau ia menikahi orang dari kaum ekonomi lemah yang tidak memiliki value apa-apa? Mungkin alasan pernyataan Prillly tersebut adalah ungkapan kekesalannya di mana ia kesulitan mencari pasangan yang se-value dengan dirinya.

Bagi Penulis, Prilly hanya bersikap realistis. Sebagai orang yang sukses, tentu ia ingin memiliki pasangan yang setara dengan dirinya dan itu sangat wajar. Itu tidak membuatnya terlihat sebagai sosok yang matrealistis alias matre.

Orang baru bisa dianggap matre, menurut Penulis, jika dirinya berusaha mendapatkan pasangan dengan value tinggi, tapi dirinya sendiri memiliki value yang rendah. Ingin punya istri kaya, tapi dirinya sendiri masih pengangguran.

Dengan kata lain, orang matre itu adalah ketika dirinya berusaha mencari pasangan kaya demi meningkatkan taraf hidupnya sendiri. Ia ingin mengangkat derajat dirinya (dan mungkin juga keluarganya) dengan “memanfaatkan” orang lain.

Teman Penulis yang sering membahas seputar feminisme memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, matre itu tidak melulu soal value, tapi ke jenis relantionship-nya. Kalau secara kasat mata beda value tapi saling mencintai, ya tidak bisa dianggap salah satunya matre.

Ia juga memberikan contoh lain. Anggap ada seorang perempuan pintar yang sedang meneruskan pendidikan S2-nya. Sebenarnya ia mampu bayar biayanya sendiri, tapi ia memanfaatkan pasangannya yang gaji masih UMR untuk membiayainya. Itu matre.

Mungkin yang bisa dikritisi dari pernyataan Prilly adalah bagaimana gaya bicaranya yang seolah merendahkan laki-laki. Tentu ini penilaian subjektif, karena kita tidak akan pernah benar-benar tahu apa intensi Prilly mengeluarkan pernyataan tersebut.

Mengapa Tidak Ada Istilah Laki-Laki Independen?

Independen Secara Default (Yuri Kim)

Sekarang mari kita kembali lagi ke kata independen. Dalam beberapa dekade terakhir, istilah “wanita independen” atau “wanita karier” memang sering mencuat seiring berubahnya budaya peradaban manusia, yang dulu kerap mengerdilkan peran perempuan.

Wanita independen dikaitkan dengan wanita yang mampu membiayai dirinya sendiri tanpa perlu bergantung kepada suaminya atau orang lain. Tentu ini hal yang bagus. Namun, ini jadi menimbulkan satu pertanyaan: mengapa tidak pernah ada istilah laki-laki independen?

Awalnya, Penulis berpikir kalau alasannya adalah karena bagi laki-laki, independen bukan pilihan, melainkan kewajiban. Sudah tugas bagi seorang laki-laki untuk bisa bekerja dan mencari nafkah untuk keluarganya. Ini doktrin yang sudah diajarkan sejak kecil.

Tanpa diberi label “independen”, laki-laki sudah sewajarnya untuk bisa mandiri. Dari sisi agama pun, kewajiban memberi nafkah jatuh kepada suami. Gimana bisa memberi nafkah, kalau seorang laki-laki tidak bisa independen? Jadi, laki-laki itu sudah otomatis harus bisa independen.

Namun, menurut teman yang sama yang memberikan pendapat di atas, istilah wanita independen atau wanita karier justru muncul sebagai anomali atas dunia yang begitu patriarki selama berabad-abad.

Seperti yang kita tahu, perempuan memang sering dipinggirkan sejak lama. Lihat saja di berbagai sejarah, di mana para ilmuwan dan pemikir mayoritas dari laki-laki, seolah perempuan dianggap tak cukup cakap untuk berpikir.

Tak hanya itu, coba cek sejarah baru kapan perempuan mendapatkan hak untuk melakukan voting. Bayangkan, Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan hak suara untuk perempuan, itu pun baru terjadi di tahun 1893!

Baru di era modern inilah perempuan akhirnya mendapatkan kesempatan yang lebih besar di berbagai bidang. Makin banyak pilihan karier yang bisa dipilih oleh perempuan. Alhasil, makin banyak wanita independen di dunia ini.

Lantas, apakah itu menjadi masalah? Menurut Penulis tidak. Perempuan punya hak untuk menjadi independen dan menetapkan standar kemapanan pasangan bagi diri mereka sendiri. Kalau mereka memaksakan keyakinan mereka untuk orang lain, baru itu menjadi salah.

Contoh, ada perempuan yang memutuskan untuk full menjadi ibu rumah tangga. Eh, ternyata perempuan-perempuan yang merasa “independen” justru julid kepadanya dan menganggapnya kuno. Ini kan pemaksaan standar ke orang lain.

Sekarang ini kan permasalahannya banyak yang tergiring oleh standar TikTok, sehingga banyak penggunanya menetapkan standar-standar yang tidak masuk akal. Yang repot kan kalau enggan menjadi independen, tapi berharap punya pasangan mapan biar bisa bermalas-malasan sepanjang hari.


Lawang, 3 Desember 2024, terinspirasi setelah ramai di media sosial membahas pernyataan Prilly Latuconsina

Foto Featured Image: Wikipedia

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version