Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 59 Rasa yang Menghangatkan Dada
Sewaktu sampai di rumah, aku melihat Kenji sedang fokus mengajar Gisel sehingga tidak menyadari kedatanganku. Terang saja karena pintu terbuka dan aku tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Aku memandangi dua orang yang begitu penting dalam hidupku ini dengan diam. Imajinasiku muncul begitu saja, membayangkan di masa depan Kenji akan menikahi Gisel, sehingga kami benar-benar akan menjadi keluarga, meskipun hal tersebut akan membuat Kenji harus memanggilku kakak. Tentu aku akan memintanya untuk memanggilku seperti biasa saja.
Beberapa menit kemudian, barulah Kenji dan Gisel menyadari kedatanganku dan melemparkan senyumnya masing-masing. Setelah mengucapkan salam, aku pun memasuki rumahku dan menghampiri Gisel untuk mengacak-acak rambutnya. Entah sejak kapan aku melakukan kebiasaan ini untuk menunjukkan rasa sayang ke adikku. Tentu aku tidak pernah melakukan hal tersebut ke Kenji karena menurutku tidak sopan.
Tapi mengapa aku sering melakukan hal tersebut ke Rika walaupun kami seumuran?
“Le, kok malah melamun?” Kenji seperti biasa menarikku kembali dari lamunanku.
“Oh maaf, aku, aku mau ke kamar dulu. Hari ini kau saja ya Ken yang mengajar Gisel, aku agak enggak enak badan.” ujarku ke Kenji sambil berdiri dan melangkah ke kamarku. Kenji hanya memberikan anggukan kecil, namun dari matanya terlihat bahwa ia sedang menganalisa apa yang barusan terjadi padaku.
Begitu berganti pakaian, aku segera merebahkan tubuh lelahku ke kasur. Memandangi langit-langit kamar yang membosan, aku teringat apa yang baru saja terjadi di kelas sepulang sekolah. Sebuah peristiwa yang membuatku tiba-tiba tersenyum sendiri hingga akhirnya tertidur.
***
Sebelumnya, seusai Rika mengutarakan perasaannya dengan jujur, ia tiba-tiba salah tingkah dan mulai meracau tak karuan. Ia berusaha membuatku melupakan perkataannya barusan dengan menarikku ke alam fantasinya.
“Argh, nampaknya Anda menggunakan kekuatan sihir, wahai pangeran kegelapan, sehingga aku mengucapkan hal yang tabu untuk diucapkan.” kata Rika, sambil membuang mukanya yang terlihat memerah, semerah tomat segar.
“Kau sehat Rik?” tanyaku yang bercampur dengan kebingungan.
“Jangan melihatku, aku sedang berusaha menetralkan seranganmu barusan. Jangan-jangan Anda menuangkan ramuan cinta ke dalam minumanku ya?” ia terus berkata hal yang aneh-aneh.
“Bahkan aku tak tahu kau minum apa. Rika, sebenarnya kau ini kenapa?” tanyaku dengan intonasi yang makin lama makin meninggi karena menghadapi situasi yang belum pernah aku alami sebelumnya.
Rika masih membuang mukanya ke arah belakang. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Seharusnya sebagai seorang laki-laki, aku harus lebih peka terhadap perasaan seorang wanita. Rika baru saja mengatakan sesuatu yang cukup membuatnya malu, sehingga ia berusaha mendistorsi ucapannya dengan imajinasinya. Hanya saja, aku terlalu bodoh untuk bisa sepeka itu. Pada akhirnya, keheningan menghampiri kami cukup lama hingga Rika berani untuk menatapku secara langsung.
“Maaf Le, aku barusan ngomong sesuatu yang aneh, aku balik dulu ya.”
Rika segera beranjak dari bangkunya dan berdiri. Aku secara reflek menahan dirinya karena tidak ingin kami bepisah dengan ketidakjelasan seperti ini.
“Tunggu Rika, aku belum selesai, duduklah kembali.”
Rika tidak memberontak untuk melepaskan diri. Ia menuruti perkataanku dan kembali duduk di bangkunya. Aku berusaha merangkai berbagai informasi yang tersedia dan berusaha membuat kesimpulan yang tepat. Setelah beberapa menit, aku akhirnya paham apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Mulai kapan Rika?” tanyaku dengan nada yang kuusahakan agar terdengar selembut mungkin.
“Entahlah Le, mungkin sejak kamu sering baik ke aku. Awalnya aku menganggap biasa, karena kamu juga baik ke semua perempuan. Tapi lama kelamaanaku merasakan hal yang aneh. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.” Rika menjawab dengan kepala tertunduk sehingga aku kesusahan untuk melihat ekspresinya. Yang jelas, ia sedang malu setengah mati.
“Lalu, apa yang kau inginkan?”
“Yang tadi cuma spontan aja Le, aku kebawa suasana. Maafkan aku, tapi tolong jangan dibahas lagi.”
Aku merasa sudah waktunya untuk berhenti mendesak Rika, atau dia akan bertambah semakin tidak nyaman. Setelah menimbang-nimbang di dalam pikiranku, aku memutuskan untuk bercerita sedikit tentang perasaanku kepada Sica agar Rika paham.
“Waktu pertama kali bertemu dengan Sica, kami bertengkar cukup hebat, kau ingat ‘kan Rik?”
Rika menganggukkan kepalanya pelan. Aku rasa ia sedikit tersinggung karena aku membahas wanita lain setelah ia mengungkapkan perasaannya.
“Namun setelah itu, aku merasakan ada debaran aneh di jantungku. Sama sepertimu, aku pun belum pernah mengalami sensasi seperti itu. Aku berusaha mengabaikannya dan gagal. Sica selalu terbayang-bayang di kepalaku.”
Rika mulai mencengkeram roknya, menunjukkan emosinya mulai naik.
“Hingga akhirnya ia harus masuk rumah sakit, dan di depan adikku aku menyatakan perasaanku kepadanya. Bukan secara langsung, aku hanya bilang kalau aku ingin duduk di sampingnya untuk mendampinginya. Keesokan harinya, ia mengatakan hal yang sama. Itu adalah ucapannya yang terakhir sebelum kematiannya.”
Terdengar helaan nafas yang panjang, berusaha untuk mengendalikan emosi. Mungkin Rika merasa bahwa aku belum membuka hatiku untuk wanita lain.
“Ketika ia meninggal, aku sangat marah karena aku baru saja merasakan cinta yang selama ini telah direnggut oleh orang lain. Aku menyalahkan siapapun yang bisa disalahkan, mulai pihak rumah sakit hingga Sarah. Untunglah Kenji, Rena, dan lainnya berhasil menenangkanku. Aku sadar bahwa semua ini telah ditakdirkan. Aku berhasil melepaskan Sica dengan tenang.
“Semenjak itu, aku tidak terlalu memikirkan lagi tentang cinta lagi. Aku hanya ingin kembali fokus belajar untuk mengalahkan Kenji. Lalu tiba-tiba datanglah ayahku yang merusak semuanya. Konsentrasiku sering terganggu ketika belajar dan aku jadi kerap uring-uringan. Kenji gagal meyakinkanku untuk bisa berdamai dengan ayahku.
“Tapi kamu berhasil Rika, ucapanmu tadi membuatku memutuskan untuk berusaha memaafkannya, aku berterimakasih padamu. Kau menunjukkan bahwa bukan cuma aku yang menderita, bahkan bisa dibilang aku lebih beruntung darimu karena masih bisa membela diri. Aku senang bisa berkenalan denganmu.”
Aku memegang kedua tangan Rika, dengan harapan ia mau mengangkat kepalanya. Berhasil, akhirnya ia menatapku dengan kedua matanya.
“Tempo hari Kenji bertanya kepadaku, kamu menganggap Rika sebagai apa? Aku menjawabnya tegas sebagai teman. Tetapi, ketika Kenji meragukan jawabanku, tiba-tiba aku teringat semua perbuatanku kepadamu yang rasanya tidak akan pernah akan aku lakukan untuk perempuan lain. Di saat itulah aku mulai menyadari bahwa aku memperlakukanmu lebih istimewa.
“Ketika aku memikirkannya, aku menganggap perbuatanku tersebut didasarkan karena empati, karena aku tahu bagaimana rasanya diperlakukan kasar oleh orangtua. Aku berusaha melindungimu, berusaha menyelamatkanmu, karena tahu betapa menyiksanya kehidupanmu. Tapi rasanya, bukan hanya sekedar itu, Rik.
“Di antara teman-teman yang lain, aku paling sering berbicara denganmu selain dengan Kenji. Kau begitu apa adanya, sama sekali tidak mempedulikan masa laluku yang kelam dan selalu nampak ceria walau di dalam sebenarnya kau terluka. Kau adalah wanita tangguh, lebih tangguh dari ibuku yang memutuskan untuk bunuh diri. Aku merasa nyaman bercerita denganmu, berbagi denganmu, baik suka maupun duka.
“Aku tidak tahu apa itu cinta atau bagaimana kita harus mengekspresikannya. Tapi yang pasti, aku sayang sama kamu Rika, tak peduli sebagai apa.”
Air matanya yang dari tadi sudah tergenang akhirnya tumpah. Namun aku yakin, itu adalah tangis bahagia. Kami berdua sama-sama telah mengungkapkan perasaan kami satu sama lain secara jujur. Untunglah kami hanya berdua di kelas ini. Tidak mungkin aku bisa berkata sepanjang itu jika ada orang lain karena hal tersebut jelas memalukan.
Rika menarik tangannya dari peganganku dan mengusap air matanya. Masih ada beberapa kata yang ingin kusampaikan kepadanya.
“Mungkin proses sayangku ke kamu berbeda dengan Sica yang tiba begitu saja. Prosesnya jauh lebih dramatis, dengan berbagai kejadian yang kita lalui bersama. Pepatah pernah bilang cinta datang karena terbiasa bukan? Witing tresno jalaran saking kulino.”
Rika tertawa kecil mendengar ucapanku terakhir. Dengan menghela nafas panjang, ia menatapku dengan senyum lebar. Nampaknya ada hal penting yang ia ingin ucapkan.
“Dengerin kamu ngomong pakai kata “kamu” lucu banget Le, enggak cocok sama kamu!”
***
Aku terbangun ketika matahari sudah terbenam, hanya meninggalkan seberkas cahaya langit yang lemah, menanti tugasnya diganti oleh sang rembulan. Aku mengambil ponselku untuk memeriksa apakah ada pesan yang masuk, atau lebih tepatnya apakah ada pesan dari Rika yang masuk. Sayang, ponselku sedang dalam posisi mati. Dengan segera aku mencari kabel casnya dan meletakkannya di atas meja.
Di saat aku ingin kembali duduk di atas kasur karena kesadaranku belum seutuhnya pulih, terdengar suara ketukan pintu. Pasti Kenji, karena Gisel biasanya langsung masuk begitu saja. Benar saja, setelah kupersilahkan masuk, tampaklah kawanku yang satu itu dengan senyum yang seolah tak pernah bisa lepas dari wajahnya.
“Ada perlu apa Ken?” tanyaku sewaktu Kenji memasuki area privasiku ini.
“Tidak ada perlu apa-apa sih Le, ingin aja ngobrol di kamarmu.” jawabnya sambil mengamati tumpukan buku pelajaranku.
“Kita sudah hampir satu tahun kenal Ken, aku tahu ada hal yang membuatmu penasaran. Atau mungkin kamu sudah menarik kesimpulan dan ingin membuktikan asumsimu?”
“Hahaha, kamu benar-benar paham tentang aku ya Le.”
“Sama sepertimu yang juga benar-benar paham tentang diriku.”
“Kalau begitu, aku enggak perlu menjelaskan apa-apa lagi. Aku cuma ingin mengucapkan selamat.” Kenji mengatakan hal tersebut sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku hanya membalasnya dengan segaris senyum tipis yang belum tentu ia lihat.
“Berarti, kamu akan menemui ayahmu kan?” tanya Kenji lagi.
“Bahkan kau bisa menebak apa yang telah terjadi sampai sejauh itu?”
“Hahaha, aku hanya memilih semua kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi Le. Sesederhana itu.”
“Sederhana bagi jenius sepertimu Kenji, tidak bagi kami yang biasa-biasa saja.”
“Bukan itu Le permasalahannya. Yang jelas, aku lebih senang mengamati berbagai hal lebih cermat, seperti yang dilakukan oleh Sherlock Holmes.”
“Ya, terserah kau sajalah.”
“Jadi, kapan?” Kenji bertanya lagi.
“Mungkin setelah kenaikan kelas. Aku janji akan segera menghubungi paman. Aku harap kau mau menemaniku Kenji, aku jelas membutuhkan dirimu sebagai peredam emosiku.
“Tentu kawan, aku akan menemanimu. Toh pada hari itu aku telah berkenalan dengan paman dan ayahmu.”
“Terima kasih Kenji.”
“Malam ini aku makan di sini ya. Biar aku masakkan sesuatu yang istimewa untuk merayakan, apa ya namanya, sebuah hubungan baru antara dirimu dan seorang wanita manis berwajah imut yang berhasil melelehkan kerasnya hatimu, hahaha.”
“Emang kakak kenapa kak?” tanya Gisel yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Bukan urusan anak kecil.” jawabku ketus karena merasa malu. Bahkan aku memberi Kenji kode keras dengan tatapanku agar tidak mengungkit-ungkit kejadianku dengan Rika.
“Kakak nyebelin deh.” ujarnya sambil menjulurkan lidah.
“Sudah, mending Gisel sekarang bantu kakak buat nyiapin makan malam. Kita akan kerjasama untuk menciptakan makanan terenak untuk kakakmu!”
“Siap kak Kenji!” Gisel menjawab ajakan Kenji dengan bersemangat.
Aku memandangi mereka berdua dengan perasaan bahagia. Beruntunglah diriku sekarang dikelilingi oleh orang-orang yang begitu peduli denganku. Aku merasa bersyukur karena kejadian-kejadian menyakitkan yang terjadi di masa lalu telah terobati dengan peristiwa yang terjadi di masa kini. Aku begitu bahagia karena keputusanku untuk masuk ke sekolah ini, ke kelas akselerasi ini, adalah keputusan yang sangat tepat. Berbagai drama yang mewarnai hidupku benar-benar membawa manfaat besar bagiku.
Kenji telah menunjukkan persahabatan yang hangat, mengulurkan tangannya untuk menolong diriku yang telah terjatuh ke lubang kegelapan. Sica yang memberiku kesempatan untuk merasakan cinta kembali. Sarah menunjukkan bahwa kita bisa berubah kalau kita memang benar-benar menginginkannya. Rika mengajarkanku untuk belajar memaafkan dan berdamai dengan masa lalu. Bahkan sebagai bonus, Rika juga memberikan rasa sayang yang begitu menghangatkan dada.