Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 64 Nasehat dari Sarah
Hubunganku dengan Rika semakin memburuk. Aku yakin penyebabnya adalah Rachel yang kini setiap hari datang ke kelasku ketika istirahat untuk membawakanku bekal buatannya, termasuk pada hari Sabtu ini. Setiap Rachel datang ke kelas, Rika akan langsung keluar kelas dengan gestur yang jelas-jelas menunjukkan sikap gusar. Aku pun tak kuasa mengusir Rachel begitu saja karena teringat pembicaraan kami di perpustakaan dan segala kebaikan yang ia berikan.
“Kak Leon, hari ini aku bawakan menu spesial, sapi lada hitam ala Eropa. Aku nemu resepnya di buku dan kayaknya kak Leon bakalan suka, deh!” kata Rachel dengan berapi-api seolah aku adalah seorang juri masak yang harus menilai masakannya.
“Terima kasih,” jawabku singkat sambil menerima kotak bekal yang ia sodorkan ke depan mukaku. Kotak bekal yang ia berikan selalu sama, berwarna merah hati dengan empat sekat yang proporsional di dalamnya. Dari bobotnya, aku tahu bahwa ini bukan barang murah. Sebenarnya ingin sekali aku menolak pemberiannya ini, namun tidak tahu caranya.
“Mumpung hari Sabtu istirahatnya cukup panjang, hari ini aku makan di sini sama kakak, ya,” tanpa menunggu jawabanku, ia langsung mengeluarkan kotak makanannya yang berbentuk sama dengan yang ia berikan kepadaku.
“Wah, enak nih Leon punya koki pribadi sekarang,” terdengar suara bernada sinis dari belakang Rachel. Aku tahu itu adalah suara Sarah.
“Hehehe, iya nih kak. Kak Sarah mau coba makananku?”
“Enggak, terima kasih,” jawab Sarah datar dengan sorot mata yang mengarah lurus ke mataku. Tatapannya seolah mengirimkan pesan kamu itu ngapain sih. Aku menjadi salah tingkah dibuatnya, sehingga memutuskan untuk menyantap makanan yang ada di depanku. Rasa masakan Rachel memang lezat, tapi perasaanku mengatakan ada hal buruk yang akan terjadi sesaat lagi.
“Kamu tuh kenapa sih nempel banget sama Leon?” tanya Sarah dengan intonasi yang sangat kentara menahan emosi.
“Aku udah ngefans sama kak Leon sejak SD, kak. Dari dulu udah keren banget. Cuma aku dulu pemalu banget, jadi enggak berani kenalan, hehehe,” jawab Rachel dengan mempertahankan keceriaannya, walau aku tahu di dalam hatinya sudah mulai bergejolak.
“Kalau sekarang malu-maluin, ya,” balas Sarah dengan ketus. Teman-teman lain sudah merasakan atmosfer yang kurang enak dan memutuskan untuk keluar kelas agar tidak ikut campur masalah ini.
“Maksud kakak apa, ya?” Rachel masih berusaha tersenyum walau bibirnya terlihat bergetar. Aku yang berada di tengah-tengah situasi tegang ini masih tidak tahu harus berbuat apa.
“Mana ada cewek baik-baik yang sangat agresif cari muka di hadapan seorang cowok. Atau lo emang enggak punya harga diri, ya?” nampaknya kemarahan Sarah makin meninggi hingga ia keceplosan berkata lo yang sudah lama tidak ia pakai.
“Kak Sarah, aku datang ke sini baik-baik dan enggak ingin cari masalah. Tolong tarik ucapakan kakak barusan,” senyum telah lenyap sepenuhnya dari wajah Rachel. Ia kini telah berdiri dari kursi Juna yang dari tadi ia duduki.
“Ngapain gue tarik, emang gitu kenyataannya. Dan siapa bilang lo enggak cari masalah. Kemunculan lo di sini aja udah bikin masalah!” Sarah yang dari tadi menyilangkan kedua tangannya terlihat semakin tidak bisa mengendalikan dirinya.
“Kak Sarah enggak tahu apa-apa, jadi jangan sok tahu, ya!” Rachel masih bertahan di posisinya dengan tangan mengepal, seolah ingin menghantam wajah Sarah dengan sangat keras.
“Hei hei hei, ada apa ini? Kok nadanya pada tinggi semua?” terdengar suara lembut dari arah luar kelas, tentu saja dari Kenji.
“Aku kesel sama kak Sarah. Aku datang ke sini baik-baik malah dicaci-maki kayak gitu,” sahut Rachel seolah meminta perlindungan dari Kenji.
“Lo emang pantes dapetin itu semua.”
“Aku ulangin lagi ya kak, semua yang keluar dari mulut kak Sarah salah semua. Kak Sarah enggak tahu apa-apa, jadi jangan asal ngomong.”
“Sudah sudah, semua bisa dibicarakan baik-baik kok. Kalian berdua tenang dan duduk dulu. Kalau lagi emosi, langsung duduk biar cepat reda.”
Kalimat yang meluncur keluar dari mulut Kenji seolah memiliki sihir yang melunakkan hati orang yang mendengarkannya. Sarah dan Rachel sama-sama duduk walau mata mereka masih saling mengintai, seolah menanti waktu yang tepat untuk saling menerkam. Kenji menghampiri kami dengan wajah penuh senyumnya dan mulai mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sarah dan Rachel pun saling bersahutan seolah tak ada yang mau mengalah. Keduanya saling menyalahkan dan tidak ada tanda-tanda akan berdamai. Di saat perdebatan tengah berlangsung, Rika masuk ke dalam kelas. Tatapannya menunjukkan ketidakpedulian terhadap apa yang tengah terjadi.
“Ya udahlah kak, aku balik ke kelas dulu, udah mau masuk juga. Kotak bekalnya kak Leon bawa dulu aja, nanti hari Senin aku ambil. Bye bye kak!” kata Rachel dengan tetap berusaha memasang wajah ramah kepadaku. Aku menatap Kenji dengan tatapan minta tolong. Yang ditatap hanya tersenyum seperti biasa. Aku melihat ke arah Sarah. Ia sudah membalikkan badannya. Kuberanikan untuk melirik ke arah Rika. Ia sedang membuang mukanya ke arah kiri, sesuatu yang sangat sering ia lakukan akhir-akhir ini. Rentetan kejadian ini membuatku merasa menjadi seorang manusia bodoh yang tidak tahu apa-apa.
***
“Leon, aku mau bicara sama kamu,” kata Sarah ketika waktu pulang sekolah telah tiba.
“Bagaimana dengan Rika?” tanyaku ke Sarah mengingat selama ini mereka berdua selalu pulang bersama karena tinggal satu atap.
“Aku udah bilang ke dia untuk pulang duluan.”
Aku melirik ke bangku Kenji yang ternyata sudah kosong. Nampaknya ia sudah tahu Sarah akan berbicara denganku sehingga memutuskan untuk pulang duluan, mungkin menemani Gisel. Baiklah, aku rasa berbicara dengan Sarah akan banyak membantuku untuk membuat keputusan apa yang harus kulakukan.
“Kau ingin membicarakan Rika, bukan?” tanyaku secara langsung tanpa basa-basi.
“Benar, seperti biasa analisamu cukup jitu. Tapi kenapa kamu bisa terlihat begitu lemah di hadapan cewek itu? Harusnya logikamu jalan, dong,” jawab Sarah sambil duduk di kursi milik Rika yang ada di sebelahku. Raut wajahnya menggambarkan sikap gemas, jengkel, dan heran sekaligus. Tak perlu menjadi seorang jenius untuk mengetahui wanita yang dimaksud adalah Rachel.
“Entah, mungkin karena aku belum terbiasa menjalin hubungan dengan orang lain. Aku baru satu tahun punya teman, Sarah. Selama ini aku selalu sendirian,” jawabku lirih, terdengar seperti sebuah keputusasaan.
“Iya, aku berusaha memahami itu Leon. Rika sudah cerita ke aku banyak hal tentang kamu. Harusnya kamu bisa menjaga perasaan Rika, kan?”
“Maksudmu, dia cemburu karena aku dekat dengan Rachel?”
“Tentu aja Leon, apalagi kamu belum lama mengungkapkan perasaanmu ke Rika. Rika sakit hati lihat ada cewek lain yang baginya jauh lebih menarik dan lebih baik dekat denganmu. Aku tahu kamu enggak pacaran sama Rika, tapi aku enggak mau kamu nyakitin perasaan Rika kayak gini.”
“Aku… aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaan Rika, Sarah,” nada suara bicaraku makin lama makin lirih karena menyadari kesalahan yang sudah kuperbuat.
“Aku enggak tahu ini termasuk kelebihan atau kekurangan, tapi rasa tenggang rasamu terlalu besar Leon. Kamu enggak bisa membiarkan orang lain kesusahan.”
Aku menghela napas panjang, tak menyangka yang namanya hubungan dengan manusia bisa begitu rumit. Wajahku kuusap dengan kedua tangan untuk membantuku berpikir dengan lebih jernih. Aku tak menyangka Rika akan bisa begitu cemburu dengan Rachel. Tapi jika diingat-ingat, perlakuan Rachel ke diriku memang tidak wajar, bahkan bisa dibilang berlebihan.
“Di hari ketika adik-adik kelas kita datang ke sini, kamu kabur ke perpustakaan, kan? Rika sempat ingin menyusulmu. Ia harus melihat kamu sedang berpelukan dengan Rachel. Rika meminta merahasiakan hal ini, tapi aku enggak tahan buat ngomongin ini ke kamu.”
Ternyata prediksiku benar, Rika melihat ketika Rachel memelukku dari belakang. Apakah Rachel sengaja melakukan itu untuk memicu kecemburuan Rika?
“Aku koreksi sedikit, kami bukan berpelukan melainkan Rachel yang memelukku secara tiba-tiba dari belakang. Aku sangat terkejut waktu itu hingga tidak bisa memberikan respon apa-apa.”
“Apa bedanya Leon? Rika sakit hati lihat kalian seperti itu. Ketika kami pulang, ia nangis cukup lama.”
Aku memijat-mijat kepala bagian depan yang sebenarnya tidak sakit. Otak yang sering aku banggakan selama ini tidak banyak membantuku untuk mencari jalan keluar.
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu enggak bisa cuek ke Rachel? Toh, kamu dulu sering melakukannya.”
Aku memutuskan untuk menceritakan kisah Rachel kepada Sarah. Ia mendengarkan dengan saksama tanpa ada interupsi sekali pun. Hanya sekitar lima menit aku bercerita, lalu Sarah kembali berbicara.
“Berarti kamu berbuat seperti itu lebih karena kasihan dengan Rachel, bukan? Tapi apa kamu enggak lebih kasihan dengan Rika? Sudah satu minggu ini dia terlihat murung dan kamu juga sama sekali enggak berusaha untuk ngobrol dengan dia.”
“Sudah, hari Selasa kemarin sebelum…” aku tidak melanjutkan kalimatku.
“Sebelum Rachel datang, aku tahu. Tapi setelah itu kamu belum pernah mencoba lagi, kan?”
Aku menganggukkan kepala.
“Padahal aku kira kamu ini pemberani Leon, ternyata kamu juga punya sisi pengecut, ya.”
Mendengar kata pengecut disematkan ke diriku, emosiku seketika naik begitu saja. Tapi melihat wajah Sarah yang serius dan penuh perhatian, aku memutuskan untuk menahan diri.
“Kamu laki-laki, harusnya kamu bisa buat keputusan sendiri. Aku di sini cuma ingin yang terbaik buat kalian berdua. Aku juga enggak mau lihat Rika kayak gini terus. Aku enggak berharap apa-apa sama kamu, tapi tolong kamu pikirkan lagi matang-matang. Pada akhirnya, kamu harus memilih salah satu di antara Rika dan Rachel.”
Sarah bangkit dari kursinya. Nampaknya, ia sudah mengatakan semua isi kepalanya. Aku menyandarkan badan ke kursi dan menghela napas panjang lagi. Semoga Kenji ada di rumah, sehingga ada orang yang mampu membantuku membuat keputusan.
“Ingat Leon, kamu enggak bisa menyenangkan semua orang. Enggak akan bisa.”
Setelah berkata seperti itu, Sarah berjalan meninggalkan kelas dan membuatku sendirian di kelas dengan berbagai pikiran yang hinggap di kepala.
***
Untunglah Kenji benar-benar ada di rumahku. Seperti biasa, mereka berdua sedang terlibat diskusi pelajaran dengan seru. Gisel menyambutku dengan ceria seperti biasanya dan kubalas dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Kenji, bisa ke kamarku kalau sudah selesai mengajari Gisel? Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Aye aye kapten, 30 menit lagi, ya,” jawab Kenji dengan tak kalah riang dari Gisel. Dari matanya, aku tahu ia sudah menerka-nerka apa yang akan aku bicarakan dengannya.
Setelah itu, aku segera masuk ke dalam kamar dan langsung berbaring di atas kasur tanpa melepas seragam. Aku jadi teringat masa-masa ketika aku benar-benar sendirian. Apa yang ada di pikiranku hanyalah bagaimana caranya agar bisa sukses dan meraih prestasi di sekolah. Aku melakukan itu semua dengan niat balas dendam kepada orangtuaku yang sudah menelantarkan anaknya. Jika aku sukses, pasti mereka akan menyesal karena telah memperlakukanku dengan buruk. Sekarang, ada banyak sekali hal yang melintas di pikiranku. Teman, keluarga, cinta, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut sama sekali tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Untuk urusan waktu, Kenji memang juaranya. Tepat 30 menit setelah aku memintanya datang ke kamar, ia mengetuk pintu yang langsung kusambut dengan kata “masuk”.
“Gimana tadi ngobrolnya dengan Sarah? Lancar?” tanya Kenji setelah ia duduk di kursi belajarku.
Aku menjawabnya dengan berusaha bercerita seruntut dan selengkap mungkin. Untunglah aku diberkahi kemampuan daya ingat yang kuat, sehingga rasanya tak ada yang terlewat. Kenji mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendengar ceritaku.
“Jadi intinya, kamu bingung harus berbuat apa sekarang.” ujar Kenji seusai aku mengakhiri cerita. Aku hanya meresponnya dengan menganggukkan kepala.
“Perempuan itu makhluk yang kompleks, Leon. Kita sebagai laki-laki kadang susah memahami keinginan mereka. Itu sudah kodrat dari sananya. Tapi bukan berarti kita tidak bisa berusaha untuk memahami mereka. Perempuan itu cenderung mengandalkan perasaan, bukan logika. Jadi, cobalah gunakan perasaanmu untuk membuat keputusan. Apa yang kamu inginkan, apa yang Rika inginkan, apa yang ingin Rachel inginkan. Coba kamu renungkan baik-baik semua itu.
“Benar kata Sarah, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Keputusanmu bisa menyakiti pihak lain, namun menurutku itu adalah harga yang harus dibayar. Kamu harus bisa memilih, bukan karena Sarah ataupun aku, tapi karena keputusanmu sendiri.”
Sekali lagi aku menghela napas panjang, lantas menggumamkan terima kasih ke Kenji.
“Kamu pasti menyadari kalau aku terlalu banyak bicara dengan Rachel ketika ia kemari, bukan?”
Aku kembali menganggukan kepala. Hal tersebut memang sedikit menganggu pikiranku.
“Aku berusaha untuk mengumpulkan informasi terkait siapa Rachel. Bagaimana karakternya, bagaimana keluarganya, bagaimana pergaulannya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui hal tersebut, aku bisa memutuskan bagaimana harus menghadapinya.”
“Lantas, apa yang bisa kau simpulkan?”
“Rachel hanya terbuka kepada orang-orang yang ia percaya. Aku berhasil mendapatkannya. Kamu apalagi. Sayangnya, ia belum berhasil percaya dengan teman-teman kelasnya. Hal itulah yang membuatnya tidak memiliki teman dekat dari kelasnya. Aku menduga, ia menjadi korban bully ketika kecil sehingga menimbulkan trauma dan menjadi sering sendirian. Melihatmu yang juga sering sendiri membuatnya terobsesi denganmu. Oleh karena itu, ia berusaha membangun kepribadian yang lebih baik agar bisa menggapaimu. Ia menjadi lebih percaya diri, lebih berani, dan tidak takut mengekspresikan dirinya.”
Aku mendengarkan Kenji dengan baik. Segala yang ia ucapkan terdengar tepat. Kenji memang benar-benar seorang laki-laki yang diberkahi dengan kemampuan analisa jitu.
“Walaupun begitu, aku rasa aku tidak punya hak untuk ikut campur dalam masalahmu kali ini, Le. Masalah hati itu cukup privasi. Aku hanya bisa membantumu memberikan saran ataupun informasi yang mungkin berguna. Keputusan akhir tetap ada di tanganmu.”
Aku merebahkan tubuhku di kasur dan berusaha untuk mencerna semua nasihat yang telah diberikan Sarah dan Kenji. Akhir pekan ini harus kumanfaatkan untuk membuat keputusan agar hubunganku dengan Rika tidak semakin memburuk dengan tetap menjaga perasaan Rachel. Bisakah seperti itu?