Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 67 Ayah Bercerita
Suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Akhirnya mereka datang juga. Aku merasa kebingungan harus berbuat apa, sehingga memutuskan hanya duduk di ruang tamu seperti yang dari tadi aku lakukan. Melihat ini, Gisel memutuskan untuk menyambut paman Anton dan ayah, sedangkan Kenji tetap berada di dekatku.
“Tenangkan dirimu, Le. Yakinlah bahwa semuanya baik-baik saja,” ujar Kenji singkat.
Aku tak memberikan respon apa-apa. Mataku tetap memandang lurus ke depan dengan awas. Aku bisa melihat bagaimana Gisel menyambut paman dan ayah seperti biasa seolah tidak pernah ada sesuatu yang terjadi. Paman pun berusaha terlihat biasa saja, sedangkan ayah sangat kaku dan seperti bingung harus berbuat apa. Melihat kehadirannya di sini saja sudah membuat emosiku teraduk-aduk sedemikian rupa.
“Assalamualaikum,” salam paman ketika memasuki rumah. Melihat aku yang diam saja, Kenji memutuskan untuk menjawab salam tersebut dan menyambut mereka dan mempersilakan duduk. Setelah sedikit basa-basi, Kenji berkata akan membuatkan minum terlebih dahulu. Aku heran dengan tindakan Kenji tersebut. Mengapa ia justru meninggalkan aku di saat seperti ini?
“Leon, kamu baik-baik saja nak?” tanya paman, mungkin karena merasa tidak sabar dengan sikapku yang dari tadi hanya diam.
“Maaf paman, aku sedang berusaha setengah mati untuk menahan emosi. Jadi, maafkanlah keponakanmu ini yang kurang sopan.”
“Iya iya paman paham. Kita ngobrol-ngobrol santai saja. Jadi, gimana sekolahnya Gisel?”
Di ruang tamu rumahku saat ini ada empat orang. Akan tetapi, aku dan ayah justru hanya saling diam tanpa bersuara sedikit pun. Paman dan Gisel yang berusaha mencairkan suasana pun lama-lama kehilangan topik untuk dibicarakan. Selang beberapa menit kemudian, Kenji kembali bergabung dengan membawa senampan minuman. Melihat situasi yang serba canggung tersebut, Kenji mencoba untuk membuka percakapan lain.
“Sebelumnya saya minta izin untuk berada di sini karena permintaan Leon. Jika om-om sekalian kurang berkenan dengan kehadiran saya di sini, saya akan pamit,” katanya dengan berusaha seramah mungkin.
“Ah, enggak apa-apa kok. Kamu kan juga sudah dianggap sebagai saudara sendiri sama Leon,” jawab paman Anton secara diplomatis.
“Lagipula, kamu juga harus di sini,” pada akhirnya, ayah bersuara untuk pertama kali.
“Apa maksudmu?” tanyaku ketus karena terkejut mendengar kalimat ayah.
“Beberapa hal yang ingin ayah sampaikan ke kamu ada kaitannya dengan Kenji, termasuk orangtuanya. Jadi ayah pikir, memang sudah seharusnya Kenji berada di sini.”
Aku merasakan tanganku kembali bergetar dengan hebat. Pernyataan tersebut semakin memperkuat dugaan bahwa orangtuaku dan orangtua Kenji memiliki sebuah koneksi yang tidak kami ketahui. Gisel menyadari hal ini sehingga ia berusaha memegangi tanganku untuk menenangkan diriku. Ayahku melihat kami berdua, sepasang kakak-adik yang ia telantarkan begitu saja. Tersirat sedikit penyesalan muncul dari wajahnya yang mulai dimakan usia. Ia menghela napas begitu dalam dan mulai bercerita.
“Ayah tahu Leon, mungkin sampai kapan pun kamu tidak akan pernah memaafkan ayah. Terlalu banyak dosa dan kesalahan yang ayah perbuat ke kamu dan adikmu. Tapi ayah tidak minta untuk dimaafkan. Ayah hanya ingin bercerita tentang semuanya sebelum terlambat. Ayah tidak ingin memiliki penyesalan berat lainnya.
“Ayah kenal ibumu sewaktu kuliah dan kami berbeda tiga tahun. Ketika ibumu menjadi mahasiswa baru, ayah ikut mengospeknya. Sejak awal ibumu sudah menarik perhatian ayah, sehingga ketika ospek ayah sering berpura-pura galak di hadapannya demi mendapatkan perhatiannya. Setelah masa ospek selesai, ayah pun berusaha untuk mendekatinya. Tak mudah untuk mendapatkan perhatian ibumu, apalagi ayahmu ini dikenal sebagai salah satu playboy di kampus. Itu memang benar, tapi ibumu berbeda. Ayah merasa ibu akan menjadi wanita sempurna yang akan mengubah hidup ayah. Rasanya tak akan ada wanita lain yang bisa menjadi pendamping ayah.
“Ayah lulus dua tahun kemudian dan belum berhasil mendapatkan ibumu. Akan tetapi, ayah melihat ibumu ketika wisuda. Ternyata ia sengaja hadir karena tahu setelah ini kami akan susah untuk bertemu. Ayah pun menghampirinya dan mengatakan ingin melamarnya secara terus terang. Ibu berkata bahwa untuk sekarang ia belum bisa menerima ayah, ia ingin fokus di kampus terlebih dahulu. Ayah menjadi semangat sehingga memutuskan untuk membangun karir terlebih dahulu sebelum kembali untuk melamar ibumu.
“Sebagai sarjana lulusan teknik dengan nilai cum laude, ayah bisa mendapatkan pekerjaan sebagai insinyur dengan mudah. Bayangan agar bisa melamar ibumu menjadi motivasi ayah untuk bekerja keras sedemikian rupa. Sifat playboy sudah lama ayah tinggalkan meskipun banyak wanita yang mulai mendekati ayah. Perlahan tapi pasti, ayah mulai bisa menabung untuk persiapan pernikahan nanti. Pada akhirnya di hari ibumu lulus, ayah menepati janji untuk kembali kepadanya dan melamarnya. Kali ini, ibumu luluh dan menerima lamaran ayah. Waktu itu ayah dari ibumu, yang berarti kakekmu, telah meninggal dunia sejak lama. Ibumu adalah anak tunggal, jadi ketika prosesi pernikahan, ia diwalikan oleh kakak dari nenekmu. Keduanya telah meninggal sekarang.
“Pernikahan yang ayah perkirakan akan membuat kami berdua bahagia, ternyata menjadi pemicu malapetaka. Perlu kamu ketahui Leon, ibumu sewaktu kuliah sangat aktif menjadi aktivis yang menentang rezim Orde Baru yang telah berkuasa puluhan tahun. Meskipun anak teknik, ibumu bergabung dengan aktivis-aktivis lain yang kebanyakan berasal dari jurusan sospol. Mereka sering berusaha membela hak-hak kaum terpinggirkan yang sering diperlakukan semena-mena oleh pemerintah. Hal ini membuat ibumu dan beberapa temannya ditandai dan sering diawasi.
“Rezim selalu berusaha untuk menekan dan membungkam perlawanan yang dilakukan oleh ibu dan teman-temannya. Ayah sejak dulu cenderung apatis dan tidak peduli, sehingga sama sekali tidak terlibat. Sialnya, bos tempat kerja ayah ternyata merupakan rekanan dari rezim dan mengetahui bahwa istri ayah adalah lawannya. Karena itu, tiba-tiba ayah mendapatkan surat pemecatan tanpa alasan yang jelas. Tidak cukup di situ, nampaknya ia juga memperingatkan sejawatnya untuk tidak menerima ayah bekerja. Akibatnya, ayah menjadi susah mendapatkan pekerjaan baru dan lama menganggur. Paman Anton mengetahui kondisi ini sehingga ia yang sukses meneruskan bisnis keluarga di usia muda berusaha membantu kondisi ekonomi keluarga kita semampunya. Walaupun begitu, ayah tetap berusaha mencari pekerjaan lain, kebanyakan serabutan, yang upahnya tidak seberapa.
“Frustasi dengan kondisi, ayah menjadi orang yang sangat mudah dikendalikan oleh emosi. Tak jarang Ayah melarikan diri dengan menenggak minum-minuman keras yang semakin memperburuk keadaan. Ayah jadi sering bersikap kasar ke ibumu selama bertahun-tahun seperti yang sering kamu saksikan sendiri waktu kecil. Kelahiran Gisel sempat membuat hubungan kami membaik, namun itu tidak bertahan lama. Ayah semakin mudah uring-uringan dan sensitif. Ayah pada akhirnya menyerah untuk mencari pekerjaan dan bergantung pemberikan pamanmu. Hal inilah yang membuat ayah menjadi sangat keras ke kamu. Ayah minta maaf untuk itu.”
Bibir ayah terlihat bergetar, penyesalannya terlihat tulus. Gisel yang dari tadi memegangiku mulai menangis sesenggukan. Paman Anton dan Kenji hanya diam mendengarkan tanpa tertarik untuk menginterupsinya. Sial, muncul sedikit empati dari dalam diriku. Tidak boleh, aku tidak boleh memberi belas kasihan sedikitpun ke laki-laki ini.
“Di saat masa-masa susah itu, ayah bertemu dengan seorang wanita cantik. Ia merupakan seorang wanita karir yang merasa kesepian. Anehnya, ia tertarik dengan kepribadian dan fisik ayah, sedangkan ayah tertarik dengan hartanya. Semenjak itu, kami memiliki hubungan gelap.”
Kaca di mejaku langsung retak karena hantaman pukulanku. Perih yang dengan cepat menjalar tak seberapa dibandingkan perihnya hatiku mendengarkan pengakuan selingkuh yang diceritakan ayah. Semua orang yang ada di ruangan tersebut kaget dengan aksi spontanku.
“Leon, kita masuk ke dalam dulu. Om, kami izin untuk masuk sebentar.” kata Kenji sembari berusaha mengajakku ke dalam. Aku menurutinya begitu saja. Gisel pun mengekor di belakang.
“Kakak pasti sakit kan tangannya? Sini Gisel obati.” kata Gisel yang sudah membawa kotak obat ke kamarku. Kenji terlihat menutupi wajahnya dan tak berani memandang ke arahku. Mungkin ia sendiri merasa syok dengan berbagai cerita yang ia dengar dari ayah.
“Tenangkan dirimu Leon. Aku tahu ini sangat berat untukmu. Tapi biarkanlah ayahmu bercerita hingga tuntas. Jangan sampai kamu melukai diri sendiri seperti tadi.”
“Maaf Kenji, aku benar-benar di luar kendali.”
“Kakak jangan marah, Gisel takut kakak kayak dulu lagi.” kata Gisel yang mulai menangis walaupun tangannya masih bergerak aktif untuk membalut lukaku. Sebagai jawaban, aku memegang kepala Gisel dan mencium kepalanya. Mereka benar, aku harus bisa lebih mengendalikan emosiku untuk mengerti semuanya. Aku harus bisa sedikit bersabar.
Setelah Gisel selesai mengobati tanganku, kami bertiga kembali ke ruang tamu. Terlihat paman dan ayah masih di tempatnya semula tanpa mengeluarkan satu kata pun. Kenji berkata kepada ayah untuk melanjutkan lagi ceritanya.
“Maaf Leon, maaf Gisel, tapi ayah pikir kalian harus tahu keseluruhan ceritanya.”
Aku hanya menganggukkan kepala singkat tanpa memandang ke arahnya. Ayah pun melanjutkan kembali ceritanya.
“Semenjak itu, ayah jadi jarang pulang karena sering menemani wanita itu di perjalanan bisnisnya. Ibumu belum tahu hal ini, karena ayah hanya bilang ingin pergi ke daerah lain untuk mendapatkan pekerjaan. Walaupun begitu, ayah tetap memberikan uang kiriman Anton untuk ibumu walaupun lama kelamaan nominalnya makin mengecil. Alasannya adalah harga diri. Ayah sering dibelikan hadiah oleh wanita itu, sehingga ayah merasa sesekali harus memberikannya hadiah juga. Demi itu, kalianlah yang ayah korbankan.
“Hingga akhirnya ayah memutuskan untuk selamanya meninggalkan rumah, di hari ketika Gisel dikeluarkan dari sekolah untuk ketiga kalinya. Waktu itu, ayah benar-benar malu memiliki anak seperti Gisel, walau sekarang ayah sadar kalau Gisel pandai luar biasa dari cerita Anton. Ayah pun meninggalkan rumah dan mengatakan akan menikah dengan wanita itu. Sebenarnya kami tak pernah menikah karena nampaknya ia tipikal orang yang tidak suka dengan komitmen. Ayah pun tidak terlalu mempermasalahkannya selama hidup ayah bisa enak. Kami sering berpindah-pindah tempat tinggal bahkan hingga ke luar negeri. Karena itu, ayah tidak tahu kalau ibumu…”
Ayah tak sanggup meneruskan kalimatnya. Air matanya menetes dan ia mulai terisak. Paman yang duduk di sebelahnya berusaha menenangkan saudaranya itu. Aku tetap diam dan tidak memberikan respon apa-apa.
“Ayah baru mengetahui kabar tersebut sekitar satu setengah tahun kemudian, ketika Anton pada akhirnya berhasil mengontak ayah. Mendengar kematian ibumu membuat ayah sadar atas kesalahan besarnya. Ayah pun memutuskan untuk meninggalkan wanita itu dan pergi ke tempat Anton. Waktu itu Anton menyarankan ayah untuk segera bertemu dengan kalian, namun ayah tak sanggup untuk bertemu dengan kalian. Ayah hanya bisa mengetahui kabar kalian dari cerita Anton. Karena tak sanggup lagi menanggung beban rasa bersalah, ayah memutuskan untuk memberanikan diri bertemu dengan kalian beberapa waktu yang lalu.
“Itulah cerita ayah, cerita tentang laki-laki yang sudah membuat hidup kalian penuh dengan penderitaan dan kesusahan. Sampai kapanpun, ayah tidak akan meminta kalian memaafkan ayah. Ayah tahu dosa ayah terlalu besar. Ayah pantas dibenci, pantas dihina.”
Hening menghampiri kami sejenak. Aku benar-benar tak tahu harus merespon seperti apa. Apakah aku harus memaafkannya dengan mudah, seperti Rika memaafkan kedua orangtuanya yang kejam? Aku belum bisa berlapang dada sepertinya, belum.
“Lantas, apa hubungan antara ibu dan ibunya Kenji?” tanyaku pada akhirnya memecah keheningan.
“Mereka berdua sama-sama aktivis dan cukup dekat. Ibu Kenji adalah wanita yang luar biasa, yang sayangnya harus meninggal di usia muda. Ayah juga sempat mengenal dengan ayah Kenji walau tak terlalu dekat. Ayah ingat, kalau Kenji memiliki kakak yang..,” ayah sengaja menggantungkan kalimatnya karena merasa tak enak.
“Yang mengalami kelainan mental om,” jawab Kenji dengan ramah.
“Apakah mereka masih hidup?” tanya ayah.
“Sayangnya sudah meninggal semua om, sekarang saya tinggal sendirian.”
Mendengar jawaban Kenji, aku jadi teringat sesuatu.
“Paman Anton, bisakah paman membantu Kenji?”
“Membantu apa?” Paman Anton bertanya. Aku pun menceritakan bagaimana kejadian ayah Kenji yang harus mengalami kecelakaan ketika harus mengantarkan anaknya ke rumah sakit dengan menggunakan mobil milik tetangganya.
“Ah, jangan. Enggak usah om, saya masih bisa mengatasinya,” wajah Kenji menjadi sedikit panik mendengar permintaanku yang tiba-tiba.
“Aku mohon paman, Kenji setiap pagi sudah harus berjibaku dengan pekerjaannya demi ganti rugi tersebut. Aku yakin paman bisa membantunya.”
“Leon, aku masih sanggup membayarnya. Lagipula, tetanggaku juga tidak sering menuntut kok. Ia bilang semampuku saja bayar ganrti ruginya.”
“Kenji,” pamanku pada akhirnya berbicara, “izinkanlah om untuk membantu kamu, hitung-hitung sebagai ungkapan terima kasih karena selama ini sudah membantu Leon dan Gisel. Om mohon terimalah bantuan dari om.”
Kenji nampak kehabisan kata-kata, sesuatu yang sangat jarang terjadi pada dirinya. Ia pun menggumamkan terima kasih atas kebaikan yang telah diberikan oleh paman Anton.
“Kebaikan ibumu benar-benar menurun ke kamu Kenji. Om sangat berterima kasih atas segala bantuan yang telah kamu berikan selama ini,” kata ayah yang dari tadi hanya diam dan memperhatikan Kenji.
“Sama-sama om, senang bisa menjadi bagian keluarga Leon dan Gisel,” jawab Kenji yang sudah kembali ceria. Setelah itu, aku teringat akan foto ibu bersama teman-teman kuliahnya termasuk ibu Kenji. Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil foto itu dan memberikannya ke ayah untuk menanyakan apakah ada di antara orang-orang di foto itu yang ayah kenal. Ketika melihat foto tersebut, wajah ayah langsung berubah pucat pasti. Paman Anton pun begitu.
“Ada apa? Ada yang salah dengan foto itu?” tanyaku dengan nada tinggi karena entah mengapa jantungku tiba-tiba berdebar cepat.
“Leon, ada satu fakta yang harus kamu ketahui.” jawab ayah dengan suara yang sangat lirih. Ia tak berani melihat ke arahku. Tangannya gemetar hebat memegang foto tersebut.
“Apa?”
“Kamu bukan anak kandung ayah.”