Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 68 Bertemu dengan Ibu
Sudah tiga hari aku mengurung diri di kamar tanpa keluar sekalipun. Rasanya berat badanku lumayan turun, mungkin sekitar lima kilogram. Wajar saja, tiga hari tidak makan membuat lemak-lemak yang ada di dalam tubuh lenyap. Aroma kamarku benar-benar menyerupai kamar mayat karena selama itu pula tubuhku tidak bersentuhan dengan air dan sabun. Metabolisme tubuhku juga tidak bekerja secara normal sehingga aku tidak butuh ke kamar mandi untuk buang hajat. Luka di tanganku sudah mengering, luka yang sama dengan yang pernah dibuat oleh Rika. Sayang, aku tak merasakan sensasi yang menyenangkan sehingga aku tak meneruskannya. Terbesit pikiran untuk bunuh diri, namun aku mengurungkan niat itu entah karena apa.
Kondisi kamarku sudah hancur berantakan, semua barang berserakan tak karuan. Buku-buku pelajaran terbang ke sana ke mari. Kerapian meja belajar yang pernah dipuji oleh Kenji sudah tak bersisa. Kini, meja tersebut telah terbelah menjadi dua entah bagaimana aku melakukannya. Bahkan lemari pakaian pun sudah tumbang dan menghalangi pintu. Brankas rahasia milik ibu juga berkali-kali aku banting ke sana ke mari, membuat tembok dan lantai kamarku rusak sedemikian parah. Sialnya, brankas tersebut tetap utuh dan tidak mengeluarkan rahasia yang tersimpan di dalamnya.
Gedoran pintu yang hampir setiap jam muncul baik dari Gisel, Kenji, atau siapapun itu sama sekali tak kugubris. Terkadang mereka melakukannya melalui jendela yang terletak di dekat tempat tidurku, tapi tetap saja aku tidak memedulikannya. Berhari-hari aku terdiam di sudut kamar sambil memeluk lututku setelah melakukan berbagai kerusakan itu. Terkadang ada menit-menit aku tak sengaja terlelap walau hanya sejenak. Di waktu yang singkat itu, aku bermimpi buruk. Sama buruknya dengan kehidupan nyataku sekarang setelah mengetahui fakta yang diberitahukan oleh ayah, bukan, laki-laki itu, tiga hari yang lalu.
***
“Bu…bukan anak kandung?” kataku tergagap setelah mendengarkan pernyataan dari ayah, tiga hari lalu.
“Iya, itulah kenyataannya.”
“La…lalu siapa orangtuaku?” suaraku mulai bergetar, air mataku mulai menggenang.
Ayah menjawab dengan menunjuk salah satu wanita yang ada di dalam foto. Di sana, terlihat seorang wanita manis berkulit sawo matang dengan senyum yang memamerkan deretan giginya yang rapi. Dari foto lama itu, aku tahu dia adalah wanita yang ceria dan penuh dengan energi positif.
“Ratih Wicaksono adalah namanya. Ia juga merupakan salah satu aktivis di kampus. Ratih adalah ibu kandungmu. Ia menikah dengan laki-laki ini,” ayah menunjuk salah satu laki-laki yang ada di sebelah perempuan itu,”yang merupakan ayah kandungmu, Bambang Laksono.”
Laki-laki yang ditunjuk ayah itu memiliki tubuh yang tinggi tegap dan mata yang memancarkan optimisme berlebihan. Tangan kanannya terlihat merengkuh pundak wanita yang bernama Ratih. Jika diperhatikan secara saksama, wajahnya memang memiliki kemiripan denganku sehingga apa yang ayah katakan nampaknya adalah fakta yang sebenarnya.
“Ka…kalau gitu Gisel juga anak angkat?” tanya Gisel dengan tergagap, wajah mungilnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ini.
“Gisel anak kandung ayah. Butuh waktu bertahun-tahun agar kami memiliki anak kandung. Jujur, waktu itu ayah sedikit kecewa karena mengharapkan anak kandung laki-laki.”
“Lantas, kenapa aku harus hidup bersama kalian?” aku kembali bertanya karena masih belum benar-benar memahami situasi ini. Aku merasa seolah kecerdasan yang kumiliki tiba-tiba dicabut begitu saja.
“Semenjak menikah, ayah mulai melarang ibumu untuk aktif dengan berbagai kegiatan aktivisnya. Hal tersebut membuat ia jarang berkomunikasi dengan rekan-rekannya. Di tahun 1997 saat kamu masih berusia dua tahun, Ratih datang ke rumah dan bertemu dengan ibu. Ia ingin menitipkan dirimu yang masih belum tahu apa-apa. Ayah kandungmu, yang juga merupakan suaminya, telah lama hilang dan diduga diculik oleh rezim karena terlalu vokal. Ia ingin mencari suaminya dan membongkar semuanya. Setelah itu, kami tidak pernah melihat Ratih lagi untuk selamanya.
“Mengetahui hal tersebut, Dewi memutuskan untuk mengangkatmu sebagai anak meskipun ayah tak pernah benar-benar setuju dengan keputusan tersebut. Tapi Dewi bersikeras dan ayah pun terpaksa menerimamu sebagai anak. Sebenarnya ayah belum siap memberitahu kenyataan ini, tapi karena kamu memberi ayah foto ini, ayah merasa harus memberitahukannya sekarang.”
“Jadi, salah satu alasan ayah sering berbuat kasar ke aku adalah karena aku bukan anak kandung ayah?” tanyaku dengan sorot mata penuh kemarahan. Ayah menganggukkan kepalanya dengan perlahan tanpa berani melihat ke arahku.
Setelah kejadian itu, aku masuk ke dalam kamar dan semua menjadi serba gelap.
***
Aku buta waktu karena jam dindingku telah melayang entah ke mana. Tapi dari cahaya matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar, aku memperkirakan sekarang jam lima sore. Sekali lagi terdengar ketukan pintu dan suara gesekan gagang pintu dari luar sana, entah sudah yang ke berapa kalinya hari ini.
“Leon, ini Rika, aku bisa masuk?”
Suara Rika membuatku tersentak sedikit. Pasti Kenji yang membawanya ke mari dengan harapan bisa menarikku keluar dari sarang busuk ini.
“Leon tolong keluar, aku mohon.”
Badanku terasa kaku dan sakit semua ketika berusaha beranjak dari tempatku meratapi nasib. Aku berusaha melewati belantara benda yang berserakan di lantai. Setelah mencapai pintu yang masih terhalang lemari, aku menjawab ajakan Rika.
“Pulanglah.”
“Gimana aku bisa pulang kalau tahu kamu enggak masuk sekolah tiga hari Leon? Kenji memang udah berusaha nutup-nutupi dengan bilang kamu sakit, tapi tingkahnya mencurigakan sehingga aku yakin kamu pasti ada masalah.”
“Pulanglah Rika.”
“Kamu udah bantu aku keluar dari neraka itu, sekarang izinkan aku melakukan hal yang sama ke kamu, apapun itu.”
“Aku tak butuh bantuanmu, perempuan.” nada suaraku mulai mengandung kemarahan, merasa terganggu dengan kehadiran Rika.
“Aku enggak peduli kamu butuh atau enggak, aku cuma ingin nolong kamu.”
“Kau bisa bantu apa heh? Kau kira dirimu itu siapa? Pulang sana!” emosiku semakin tak terkontrol dan itu membuat mataku susah mengambil fokus. Sekelilingku mulai samar-samar. Rika mengambil jeda sejenak sebelum menjawab, mungkin merasa sedikit terkejut karena teriakanku yang sama sekali tak berperasaan.
“Aku Rika, Adriana Rika Kayana. Aku adalah perempuan yang beruntung karena bertemu denganmu. Aku adalah perempuan yang menyayangimu dengan sepenuh hati. Kenji belum cerita apa-apa ke aku, jadi aku sendiri juga enggak tahu bisa bantu apa. Tapi tolong kasih aku kesempatan.”
Aku tidak memberikan respon apa-apa setelah itu, karena kesadaranku lenyap dengan sempurna. Aku berharap, benar-benar berharap, kesadaranku tak akan pernah pulih untuk selamanya.
***
Doaku tidak terkabul. Aku tersadar dalam keadaan berdiri dan mengenakan pakaian putih polos seperti pasien rumah sakit. Tubuhku terlihat normal, tak terlihat bekas-bekas luka sayatan di tangan. Aku memperhatikan sekelilingku. Semua serba putih. Tak nampak ada segaris cakrawala pun di tempat ini. Di mana aku? Apakah aku sudah mati? Apakah aku sedang berada di ruang tunggu untuk menantikan masa penghakiman? Dari pada berdiam diri, aku memutuskan untuk berjalan tanpa arah dan berharap menemukan secercah petunjuk.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, aku melihat ada sebuah siluet seorang wanita dari kejauhan. Aku pun segera melangkahkan kaki menuju tempat ia berdiri. Ketika jarak kami tersisa lima meter, aku berhenti. Aku bisa melihat wanita ini memiliki rambut sebahu dengan postur tubuh yang sedang. Rambutnya sedikit bergelombang dan berwarna hitam pekat. Dari jarak ini, aku bisa mengetahui siapa dia.
“Ibu.”
Wanita tersebut menoleh dan sedikit terkejut melihat kehadiranku di sana. Ia segera melempar senyum manis, senyum yang dulu sering ia gunakan untuk menenangkan aku dan Gisel. Selama beberapa detik kami hanya saling pandang dalam diam, sebelum aku memutuskan untuk mulai berbicara.
“Kau bukan ibu kandungku.”
“Ah, akhirnya kamu mengetahuinya ya, Leon. Pasti ayahmu yang memberitahukan. Apakah ia sudah pulang ke rumah?”
“Dia juga bukan ayah kandungku.”
“Tentu saja Leon, kami hanya orangtua angkatmu. Tapi, apakah kamu tidak menganggap kami sebagai orangtuamu?”
Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Tanganku kukepalkan erat-erat karena tidak tahu harus bagaimana meladeni wanita yang ada di hadapanku. Ia memang bukan ibu kandungku, tapi kebaikannya selama ini membayang di pelupuk mataku.
“Kamu pasti capek, ayo sini duduk sebelah ibu.” kata wanita itu sambil memosisikan dirinya duduk di bawah dengan posisi memiringkan kaki.
“Oh, kamu enggak mau panggil ibu ya? Ya udah, sini duduk sebelah tante. Tante teman baik ibumu, loh. Kami sudah bersama-sama sejak SMP dan cocok satu sama lain.” lanjutnya melihat aku yang sama sekali tak beranjak dari posisiku berdiri. Pada akhirnya aku luluh dan mengambil posisi duduk bersila di sebelahnya. Di ruang putih yang penuh dengan kehampaan ini, entah mengapa aku bisa merasakan adanya kehangatan.
“Tante minta maaf kalau sudah berbohong selama bertahun-tahun dalam kehidupanmu. Tante sebenarnya sudah berjanji sama diri sendiri kalau akan memberitahu kenyataan ini kalau tante merasa kamu sudah siap. Sayang, tante harus meninggalkan kalian terlebih dahulu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi pada hidupku?” pada akhirnya aku mengeluarkan suara.
“Ratih, ibu kandungmu, adalah wanita yang hebat. Ia tak pernah gentar melawan ketidakadilan. Apalagi, ayah kandungmu hilang sehingga ia harus melakukan pencarian yang membuatnya juga ikut hilang. Berbeda dengan tante yang mudah tunduk perintah suami. Kalau suaminya bener ya enggak apa-apa, lah dia? Tapi salah tante juga sih, dia jadi susah dapat pekerjaan. Ujung-ujungnya semua salah tante.”
“Apa yang kalian lakukan hingga diburu oleh rezim?”
“Nanti kamu juga akan tahu pada waktunya. Tante enggak boleh banyak kasih petunjuk ke kamu yang masih hidup. Istilahnya, melanggar hukum langit.”
Aku mendengarkan begitu saja kalimat-kalimat yang diucapkan wanita ini. Suasana canggung sangat terasa walaupun ia berusaha untuk tetap terlihat ceria. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini.
“Gisel sehat?” tanya wanita itu tiba-tiba.
“Sehat, Gisel sekarang sudah kelas enam SD setelah dapat rekomendasi. Gisel adik yang hebat…” aku langsung terdiam karena menyadari Gisel, adik yang kusayangi, bukanlah adik kandungku. Aku hanyalah kakak angkat baginya. Hal ini membuatku sedih dan membuatku mengeluarkan air mata. Wanita itu berusaha menenangkan diriku dengan membelai kepalaku dengan lembut, sesuatu yang dulu juga sering ia lakukan ketika aku menangis.
“Kamu sudah melewati banyak cobaan hidup Leon, mengetahui fakta mengejutkan ini juga salah satunya. Tante yakin kamu bisa melewati semua ini.”
Aku menggumamkan terima kasih dan mengelap ingus yang mengalir melalui lubang hidung. Secara alamiah, aku menyandarkan kepala ke bahu wanita itu. Ketenangan langsung menjalar begitu saja ke tubuhku.
“Meskipun kamu cuma anak angkat, tante selalu berusaha menyayangimu sepenuh hati. Tante sama sekali tidak pernah membeda-bedakan kamu dengan Gisel. Tante benar-benar sayang sama kamu.”
“Sudahlah jangan gunakan tante, ibu adalah ibu. Di dalam kehidupanku, aku hanya mengenal satu ibu. Menemukan fakta bahwa aku memiliki ibu lain tidak akan membuatku melupakan semua kebaikanmu dan tidak menganggapmu sebagai ibu. Maaf aku tadi sudah mengatakan kalimat yang menyakitkan.”
Wanita itu sempat berhenti membelai kepalaku, lalu kembali melanjutkannya. Selanjutnya kami sama-sama berdiam diri, menikmati momen di alam yang entah di mana ini. Setelah cukup lama, ia menghentikan belaiannya dan beranjak dari tempatnya.
“Terima kasih Leon karena mau menerima tante sebagai ibumu. Hal itu sangat melegakan. Sebentar lagi kamu akan kembali ke duniamu. Percayalah, kamu bisa melewati badai ujian ini.”
“Tak perlu berterima kasih, itu kewajibanku sebagai anak.”
“Kamu memaafkan ibu, nak? Memaafkan karena telah membuatmu hidup dengan penuh kebohongan selama ini?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, aku yakin semua memang harus terjadi seperti ini. Aku sempat marah ketika mengetahui fakta itu, tapi sekarang aku sudah menerimanya. Aku akan melanjutkan hidupku dengan baik. Aku akan menjaga Gisel dengan baik.”
Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, hanya senyum manis yang menghiasi bibirnya. Air matanya tumpah dengan lembut membasahi pipinya yang merah. Lantas, ibu mulai memudar dari hadapanku.
“Kenapa ibu memutuskan untuk bunuh diri di hari itu?” kataku tiba-tiba karena menyadari mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menanyakan pertanyaan tersebut.
Tempat serba putih ini juga mulai lenyap dengan perlahan. Tubuhku juga mulai lenyap secara perlahan. Aku menjadi sedikit panik, namun berusaha untuk tetap melihat ke arah ibu dan menantikan jawabannya. Di saat hanya bagian kepalanya yang tersisa, aku mendengar jawabannya.
“Ibu tidak pernah bunuh diri.”